Jakarta (ANTARA News) - Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 2010 kali ini ditandai dengan peristiwa untuk kedua kalinya seorang mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (AL) menjadi Panglima TNI, setelah Laksamana TNI Agus Suhartono tanggal 1 Oktober 2010 dilantik oleh Presiden RI.
Kemudian, Laksamana TNI Agus Suhartono pada 2 Oktober 2010 melakukan serah terima jabatan (sertijab) dengan pendahulunya, Jenderal TNI Djoko Santoso dalam suatu upacara kemiliteran di Markas Besar TNI Cilangkap.
Laksamana TNI Agus Suhartono dalam sejarah TNI sejak 1945 menjadi mantan Kepala Staf TNI AL kedua yang kemudian menjabat sebagai Panglima TNI. Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto (kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden/Watimpres) adalah mantan Kepala Staf TNI AL pertama yang dipromosikan sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Wiranto (dari TNI Angkatan Darat).
Jabatan Panglima TNI semasa Laksamana TNI Widodo AS kemudian beralih ke mantan Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Endriartono Sutarto. Kemudian Jenderal TNI Endriartono Sutarto menyerahterimakan jabatan Panglima TNI kepada penggantinya mantan Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Djoko Suyanto (kini Menko Polhukam). Marsekal TNI Djoko Suyanto menyerahkan tongkat komando Panglima TNI kepada Jenderal TNI Djoko Santoso.
Dengan pergantian para Panglima TNI tersebut, maka semua mantan Kepala Staf di tiga Angkatan TNI telah memperoleh giliran menjabat sebagai Panglima TNI mengubah tradisi sejarah pergantian para Panglima TNI/ABRI sebelumnya yang selalu dijabat oleh mantan Kepala Staf TNI AD atau selalu berasal dari matra darat.
Pergantian Panglima TNI yang dijabat bergantian oleh para mantan Kepala Staf Angkatan di TNI menunjukkan bahwa tidak adalah masalah prinsipal dari ketiga matra darat, udara dan laut ini untuk menjadi Panglima TNI.
Laksamana TNI Agus Suhartono adalah lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) XXIV tahun 1978. Ia tercatat sebagai lulusan terbaik kedua (2) AAL 1978. Sedangkan pemegang Adhimakayasa atau lulusan AAL 1978 terbaik atau nomor satu adalah Laksamana Muda Sumartono yang kini menjabat sebagai Komandan Kobangdiklat TNI AL.
Lulusan AAL 1978 terbaik ketiga (3) kini menjadi Kepala Staf TNI AL, yaitu Laksamana Madya Soeparno. Mengapa justru lulusan terbaik nomor satu AAL 1978 tidak menjadi Kepala Staf TNI AL, nampaknya dengan alasan kesatuan Laksamana Muda TNI Sumartono yang tidak pernah beralih kesatuan sejak lulus AAL sebagai Penerbang TNI AL (Penerbal).
Padahal, ketika Laksda TNI Sumartono berpangkat Mayor, ada peluang untuk beralih kesatuan dari Penerbang dan Pelaut. Laksamana TNI Tedjo Edi, Kepala Staf TNI AL yang digantikan Laksamana Agus Suhartono, sebelumnya juga Penerbang TNI AL yang kemudian pindah kesatuan menjadi Pelaut.
Di lingkup TNI AD, lulusan terbaik nomor satu Akademi Militer (Akmil) Darat 1978 adalah Letjen TNI Budiman yang saat ini menjadi Komandan Komando Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan (Dan Kobangdiklat) TNI AD. Di AAU 1978 lulusan terbaik nomor satu gugur dalam tugas, sedangkan lulusan terbaik kedua AAU 1978 salah satu pejabat di Mabes TNI AU.
Dan, lulusan Akpol 1978 terbaik pertama adalah Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Nanan Sukarna, yang kini menjadi Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Irwasum Mabes Polri).
Pergantian Panglima TNI dari masa ke masa berjalan secara alamiah dan mulus, tidak membawa dampak atau mempengaruhi dinamika serta kinerja organiasi semua matra TNI karena TNI telah memiliki sistem dan kepemimpinan yang baku dan tertata.
Sejak Undang-Undang (UU) memungkinkan perwira tinggi aktif dan mantan kepala staf angkatan TNI dari ketiga matra darat, laut dan udara secara bergantian menjabat sebagai Panglima TNI sebenarnya telah terjadi perubahan yang penting di dalam tubuh organisasi TNI. Jika ada pendapat publik yang mengatatakan TNI belum melakukan reformasi, maka pendapat tersebut agaknya salah atau kurang tepat.
Oleh karena, perwira tinggi aktif dari ketiga matra TNI dimungkinkan untuk secara bergantian menjadi Panglima TNI sebenarnya mengekspresikan gambaran reformasi yang terjadi dalam tubuh organisasi TNI. Hal semacam ini belum pernah terjadi dalam sejarah dan tradisi TNI pra era reformasi.
Pergantian Panglima TNI silih berganti dari para Panglima TNI yang berasal dari matra udara diserahterimakan ke Panglima TNI yang berasal dari matra darat, dan Panglima TNI yang berasal dari matra darat kemudian menyerah terimakan jabatan Panglima TNI kepada Panglima TNI yang berasal dari matra laut.
Tetapi, ada suatu substansi atau hal yang nampaknya belum menjadi prioritas perhatian siapapun Panglima TNI apakah dari matra darat, laut atau udara, bahkan muncul kesan agak “terabaikan” meskipun di negara lain atau negara tetangga Indonesia soal “Perang Informasi” merupakan suatu hal dan fenomena penting yang perlu mendapat perhatian dan prioritas.
Jika pihak Pusat Penerangan(Puspen) TNI melakukan audit komunikasi atau analisa isi informasi dengan mempertanyakan, maka siapakah Panglima TNI atau Kepala Staf Angkatan yang pernah dan sering berbicara tentang Perang Informasi? Mungkin agak sulit untuk memperoleh jawaban dari audit komunikaasi atau analisa isi informasi ini, bahkan mungkin tidak akan diperoleh jawabnya sama sekali.
Adalah Jenderal TNI Try Sutrisno, semasa ia menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang sering dalam arahan terbatas operasi Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI menyebutkan signifikan-nya peranng informasi bagi ABRI (kini TNI).
Try Sutrisno, yang kemudian menjadi Wakil Presiden RI 1992-1997, menilai informasi pemberitaan luar negeri sering mendiskreditkan TNI. Oleh karena itu, ia melancarkan apa yang disebut oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) era Brigjen TNI Nurhadi Purwosaputro sebagai “ofensif informasi”.
Secara lebih luas dan terbuka Jenderal TNI R. Hartono memberikan pernyataan resmi dan terbuka tentang fenomena perang informasi ketika ia ditunjuk untuk menjadi Menteri Penerangan pada kabinet Soeharto. R. Hartono justru kurang mengungkap soal perang informasi semasa menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) pada era Orde Baru.
Kemudian, Jenderal TNI Tyasno Sudarto semasa menjadi Kasad mulai mencoba mensosialisasikan, pentahapan dan program Perang Informasi secara lebih rinci tapi masih pada lingkup yang amat terbatas. Kemudian, semasa Brigjen Hotma Panjaitan menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) yang mencoba menyiapkan perangkat perang informasi.
Secara komprehensif, substansi dan pengenalan yang berkaitan dengan perang informasi sudah masuk dalam lingkup TNI, meskipun baru pada program pendidikan reguler dan sekolah staf fungsional TNI AL tahun 2001, program Kursus Kepala Penerangan Sekolah Komando TNI AS (Suskapen-Seskoad) 2005, dan Kursus Atase Pertahanan (Sus Athan) BAIS TNI 2006, serta di lingkup jajaran perwira Korem Wilayah Timur Kodam Jaya dan Sintel Korps Marinir pada era wal tahun 2000-an.
Salah satu agenda kerja Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono adalah menetapkan kebijakan pimpinan TNI yang beraitan dengan doktrin, konsep dan program serta strategi Perang Informasi. Bahkan bukan hanya itu saja, Laksamana Tni Agus Suhartono sebagai Panglima TNI yang baru harus berani merintis dan mematok rambu serta terminologi Perang Informasi termasuk membentuk atau mengadakan “mesin-mesin perang informasi”.
Panglima TNI memerlukan semacam Tim Khusus Perang Informasi dengan mengikutsertakan tenaga ahli yang bukan hanya berasal dari kalangan perguruan tinggi yang terbiasa merumuskan naskah akademik suatu rancangan undang-undang (RUU), dan memrlukan juga kalangan praktisi berpengetahuan dan berpengalaman bagi perumusan program Perang Informasi TNI yang harus disusun secara komprehensif, sistematis, obyektif dan terukur, serta dapat diverifikasi.
Mengapa hal ini harus dilakukan seorang Panglima TNI? Oleh karena, salah satu bentuk perang dunia mendatang menurut James Adams yang di tahun 1998 disebutnya adalah perang informasi.
Rapid Assessment yang dilakukan Lembaga Kajian Informasi sebelum berlangsungnya Latihan Gabungan (Latgab) Penanggulangan Teror Indonesia dan Malaysia dengan sandi “Darsasa -Darat Angkasa Samudera- 7AB/2010” yang digelar di Selat Malaka 30 Maret-10 April 2010 yang memperoleh klarifikasi dari pihak Puspen TNI yang bunyinya: Puspen TNI benar dilibatkan/terlibat dalam kegiatan Latgab Darsasa 7AB/2010 Indonesia-Malaysia Pelibatan Puspen TNI dalam Latgab Darsasa Indonesia-Malaysia adalah untuk mendokumentaiskan latgab tersebut saja.
Klarifikasi tertulis melalui jaringan web Puspen TNI ini memberikan gambaran informasi bahwa baik TNI maupun Tentara Diraja Malaysia dalam Latgab Darsasa 7AB 2010 ini sama sekali tidak membuat skenario atau segmen latgab khusus tentang Perang Informasi.
Kekosongan program siaran radio di kawasan perbatasan dengan negara tetangga Indonesia termasuk di daerah terpencil dan pulau-pulau terluar saat ini telah di layani dengan program siaran khusus RRI di kawasan perbatasan dan daerah terpencil/terluar.
Bagaimanapun TNI harus rela belajar dari keberhasilan Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) yang telah berada di garis terdepan melibatkan diri sebagai pelaku aktif Perang Informasi. RRI berhasil mengoperasikan empat belas (14) studio produksi di kawasan perbatasan yang bertetangga dengan wilayah negara lain, yaitu Skow, Oksibil, Boven Digul, Kaimana, Entikong, Malinau, Nunukan, Longbagu, Putusibau, Batam, Sabang, Sampang, Takengon dan Atambua.
Studio Produksi LPP RRI di Tahuna, Sangir Talaud malahan telah naik status menjadi Stasiun Penyiaran. RRI memiliki kebijakan siaran di perbatasan yang menjadi sasaran Perang Informasi RRI yaitu konsep “Sabuk Pengaman Informasi” yang dilonatrakan Direktur Utama (Dirut) LPP RRI, Parni Hadi.
Banyak hal yang bisa dilakukan oleh TNI/Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono untuk merumuskan kebijakan utama Perang Informasi TNI dengan melibatkan RRI dan Kemenkominfo.
Tugas Panglima TNI bukan hanya menangani program anti terorisme-gerakan bawah tanah, penguatan intelijen, pengamanan fisik wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, peningkatan alat utama sistem pertahanan (alutsista), reformasi TNI dan penjabaran Revolution in Military Affairs (RAM), tetapi juga mempersiapkan dan membentuk "mesin-mesin perang informasi", serta sistim tehnologi komunikasi militer TNI dan jaringan komunikasi sebagai kekuatan militer baru TNI.
Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Pertahanan (Pushumas Kemenhan) bersama jajaran Puspen TNI, dan Kadispen TNI AD, AL dan AU harus mampu merumuskan program Perang Informasi TNI secara paripurna, karena tugas dan fungsi semua jajaran komunikasi, kehumasan dan penerangan tersebut di masa mendatang sudah bukan terbatas pada kegiatan komunikasi kehumasan mainstream ala Ivy Lee pada era 1906.
Salah satu tantangan besar bagi Panglima TNI yang baru 2010 ini adalah merumuskan Kebijakan dan spektrum komunikasi perang informasi TNI pada damai, apalagi masa perang.
Jika RRI saja mampu membuat “Sabuk Pengaman Informasi”, maka mengapa TNI tidak bisa? Ini bisa menjadi sinergi. Ini juga fakta sekaligus tantangannya. (*)
*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010
Menurut saya siaran RRI di daerah perbatasan, jangan hanya dipahami sebagai \'perang informasi\' (spt berbalas pantun saja), namun harus menjadi bagian integral dari \"perang pembangunan\".
Biarlah direksi baru RRI, membuktikannya....semoga.