Jakarta (ANTARA) - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyarankan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) fokus pada aturan pelarangan karena untuk pengendalian peredaran sudah diatur melalui aturan cukai.
"Kalau pengendalian ada instrumen cukai minuman beralkohol namun dampak negatif perekonomian masih terjadi sehingga kenapa perlu dilakukan pelarangan secara total," kata Bhima dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait RUU Minol di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
RDPU tersebut mengundang perwakilan PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dan Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GENAM).
Dia menjelaskan berdasarkan studi Montarat Thavorncharoensap tahun 2009 yang melakukan 20 riset di 12 negara menyebutkan beban ekonomi dari peredaran minol adalah 0,45-5,44 persen dari PDB tiap tahun.
Baca juga: Anggota DPR sarankan RUU Larangan Minuman Beralkohol fokus pengaturan
Menurut dia, PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp15.434,2 triliun jika dikalikan 1,66 persen (angka beban Amerika Serikat dari peredaran minol), maka kerugian Indonesia dari peredaran minol adalah Rp256 triliun.
"Kalau mau ambil garis tengah bisa menggunakan angka yang dipakai di AS yaitu 1,66 persen. PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp15.434,2 triliun, jika dikalikan 1,66 persen maka hasilnya adalah Rp256 triliun itu kerugian ekonomi Indonesia dari minuman beralkohol," ujarnya.
Bhima mengatakan, jika menggunakan angka 0,45 persen maka kerugian ekonomi Indonesia dari minol adalah Rp69,4 triliun dan angka itu lebih tinggi dari pendapatan negara dari cukai sebesar Rp7,14 triliun pertahun.
Dalam RDPU tersebut, Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GENAM) Fahira Idris mengatakan di berbagai negara penegakan aturan terkait produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol sudah diatur secara tegas dan jelas dengan berbagai perangkat peraturan.
Namun, menurut dia, peredaran minol di Indonesia masih diperbolehkan dikonsumsi oleh siapa dan kapan saja tanpa aturan waktu.
Baca juga: Baleg DPR: Judul RUU Minol masih tetap sesuai Prolegnas 2021
"Pengawasan dan penegakan hukum terkait produksi, distribusi, dan konsumsi alkohol masih sangat kritis dan perlu ditingkatkan," katanya.
Dia menilai selama ini perangkat aturan untuk mengatur secara tegas peredaran minol di Indonesia belum memadai sehingga RUU Minol sangat diharapkan hadir di tengah masyarakat.
Fahira menilai banyak pihak yang belum paham RUU Minol karena ada ketakutan berlebihan sehingga menolak padahal RUU tersebut cukup akomodatif karena semuanya telah sangat tegas dan jelas diatur.
"Misalnya di Pasal 7 disebutkan tiap orang dilarang konsumsi minuman beralkohol golongan A, B, dan C yaitu minol tradisional maupun racikan. Namun di Pasal 8 disebutkan bahwa semua larangan itu tidak berlaku untuk kepentingan terbatas yaitu adat ritual keagamaan, wisatawan, dan farmasi sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan," ujarnya.
Dia menilai RUU Minol meminta siapa saja yang terlibat dalam produksi, distribusi, dan konsumsi minol untuk lebih bertanggung jawab. Fahira mencontohkan, produsen minol harus memiliki tanggung jawab sosial atas produksinya tidak dikonsumsi sembarangan orang khususnya anak-anak.
Baca juga: Ketua Baleg DPR usulkan perubahan judul RUU Minuman Beralkohol
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021