Jakarta (ANTARA) - Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan perbaikan dalam percepatan penanganan COVID-19 yang saat ini kasusnya melonjak tajam, kata epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono dalam diskusi metode dan hasil penelitian Prevalensi Antibodi Positif SARS CoV-2 di DKI Jakarta, Selasa (13/7).
Menurut Pandu, pemerintah DKI Jakarta sudah melakukan tes yang sangat masif dibandingkan daerah lain, namun masih diperlukan upaya untuk mendeteksi lebih banyak orang yang membawa virus COVID-19.
Sehingga, dikatakan Pandu, pemerintah DKI Jakarta harus fokus kepada orang-orang yang bergejala dan melakukan tracing dengan cepat.
"Dengan demikian kita bisa mendapatkan banyak sekali kasus yang memang harus isolasi sehingga memutus penularan," ujarnya.
Pandu menambahkan, perbaikan dalam percepatan penanganan COVID-19 ini perlu dilakukan karena DKI Jakarta merupakan wilayah terbuka sehingga sangat sulit untuk mencapai herd immunity atau kekebalan komunal.
"Kalau kita berhasil (tracing) 50 persen hanya penduduk DKI, tetap tidak bisa mencapai herd immunity karena yang paling penting itu orang-orang yang beraktivitas di Jakarta. Kan sebagian besar bukan penduduk DKI yang sehari-hari, jadi ada yang dari daerah penyangga yaitu Jabodetabek dan provinsi lain," jelas Pandu.
Baca juga: Pakar: mayoritas yang terinfeksi COVID-19 tapi tidak terdeteksi
Baca juga: Akademisi: Akselerasi vaksinasi butuh kerja sama masyarakat
Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Alexander K. Ginting mengapresiasi kerja keras tim FKM UI dalam melakukan penelitian ini sehingga pihaknya dapat melihat pola transmisi infeksi dari sisi lain.
"Hanya ada beberapa catatan, survei dilakukan Maret 2021, setahun setelah diumumkan (kasus pertama COVID-19) oleh Presiden Jokowi. Bulan Maret kita sudah menjalani vaksinasi dan dalam mengendalikan pandemi ini Indonesia sudah punya instrumen, yang panjang itu PSBB, kemudian ada PPKM 1, PPKM 2, PPKM mikro,” ujar Alexander.
Meski demikian Alexander mengatakan, penelitian ini dapat membuka mata mengenai opsi penerapan 3T (Testing, Tracing, Treatment) oleh pemerintah dengan model baru menurut tanggal onset atau tanggal pertama kali terinfeksi.
"PPKM Darurat ini kan berdasarkan kasus aktif baru di hari tersebut yang mana infeksinya sudah terjadi beberapa hari lalu," ujarnya.
"Selayaknya penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan semangat semua pihak termasuk masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dalam menerapkan prosedur kesehatan serta pelaksanaan 3T, khususnya bagaimana PPKM Darurat ini bisa memberikan kontribusi untuk segera menanggulangi pandemi," kata Alexander.
Sebelumnya, FKM UI bersama Dinas Kesehatan Provinsi, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan CDC Indonesia melakukan penelitian dan menemukan bahwa 44,5 persen penduduk DKI Jakarta yang berusia lebih dari 1 tahun sudah pernah terpapar COVID-19, 41 persen di antaranya adalah laki-laki dan 47,9 persen adalah perempuan. Temuan ini jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan.
Dalam penelitian prevalensi antibodi ini, ditemukan juga bahwa infeksi menyebar hampir merata di setiap kelompok umur, terbanyak pada usia 30-49 tahun. Kemudian, Jakarta Pusat menjadi wilayah terbanyak yang penduduknya terinfeksi COVID-19.
Dari yang pernah terinfeksi itu, sebagian besar penduduk terutama yang berusia muda tidak mengalami gejala dan anak-anak menjadi kelompok terbesar yang tidak terdeteksi atau tidak pernah didiagnosis positif COVID-19 padahal dalam tubuhnya sudah ditemukan antibodi.
Baca juga: Epidemiolog setuju sertifikat vaksin jadi syarat wajib perjalanan
Baca juga: Epidemiolog sarankan jangan ajak anak berbelanja saat pandemi
Baca juga: Epidemiolog: Tingkatkan cakupan vaksinasi antisipasi lonjakan kasus
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021