"Ledek janggrung atau ledek tayub ini harus ada dalam setiap rangkaian tradisi `bersih desa` pada setiap tahunnya," kata anggota Panitia `Bersih Desa` atau Rasulan Desa Karangrejek Susiono, di Gunung Kidul.
Ia mengatakan ledek janggrung ditampilkan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia keselamatan dan keberhasilan dalam usaha pertanian.
"Pelaksanaan tradisi rasulan dengan menanggap Ledek Janggrung secara rutin kami lakukan setiap Senin Kliwon di musim kemarau setelah masa panen selesai," katanya.
Menurut dia, pementasan ledek janggrung sudah dilakukan secara turun temurun, dan tidak dapat digantikan dengan kesenian tradisional lainnya.
"Ledek janggrung harus ada dalam setiap acara Rasulan desa, dan kalau pun panitia terkendala dana, maka yang diutamakan adalah Ledek tersebut untuk tetap digelar, bukan wayang kulit maupun ketoprak dan karnaval gunungan. Sebab, pesan dari leluhur, tanpa ada Ledek Janggrung, maka pelaksanaan rasulan dianggap tidak sah," katanya.
Sementara itu, ketua rombongan Ledek Janggrung Suripto mengatakan dirinya membentuk dan menekuni kelompok kesenian tradisional ledek janggrung sudah sejak 1945, dan sempat mengalami masa kejayaan sekitar 1960.
"Ledek janggrung pada awalnya hanya terdiri dari lima orang, penabuh gamelan terdiri atas empat orang, dan satu orang janggrung (penari atau ledek). Namun, saat ini sudah saya ubah menjadi tujuh personel, penabuh gamelan enam orang, dan satu orang janggrung," katanya.
Ia mengatakan saat ini gamelan yang selalu mengiringi tarian janggrung terdiri atas sebuah kendang, satu set demung, dua set saron, satu gong, satu kempul, dan satu set bonang.
"Gamelan awalnya hanya terdiri atas kendang, bonang satu set, kenong satu set, dan sebuah gong, sehingga hanya perlu empat penabuh, ini berbeda dengan yang ada saat ini," katanya.
Menurut dia, pesanan pementasan saat ini hanya untuk acara-acara tradisional semacam tradisi "bersih
desa", sedangkan untuk tanggapan hajatan atau syukuran, sudah jarang diterima. "Pada masa kejayaan Ledek Janggrung, penghasilan yang kami peroleh bisa dijadikan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, sekarang sudah tidak bisa lagi, sehingga teman-teman kembali mengandalkan dari usaha pertanian sebagai mata pencaharian pokok."
Susiono mengatakan setiap satu kali pementasan mendapat upah antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta.
"Upah yang kami terima untuk acara `bersih desa` ini sebesar Rp1,5 juta yang akan dibagikan ke para anggota penabuh serta janggrung, yang biasanya masih ada uang `sawer` dari penonton," katanya.
Menurut dia, untuk `bersih desa`, banyak warga masyarakat yang `nyawer` dengan cara meminta berkah untuk anak-anaknya yang masih kecil, dengan meminta dibedaki dengan bedak yang digunakan Janggrung.
"Janggrung kami hanya satu, dan saat ini sudah berusia enam puluhan bernama Sini Pamrusi. Rencananya memang akan merekrut Janggrung yang masih muda, namun sampai sekarang belum dapat," katanya.
Sementara itu, janggrung ledek, Sini Pramusi (65) mengatakan sudah sejak 1945 berprofesi sebagai penari Ledek yang menjadi profesi turun-temurun. "Saya sudah mulai menari Janggrung sejak usia 12 tahun sampai sekarang," katanya.
Menurut dia, profesi Janggrung merupakan profesi yang diperoleh secara turun temurun dari generasi sebumnya. "Saya merupakan gerenasi Janggrung yang keempat, dan untuk saat ini belum ada yang bisa mewarisi, karena anak perempuan saya masih sekolah, dan rencana mewariskan profesi penari Janggrung sebenarnya juga sudah ada, namun waktunya belum bisa saya tentukan," katanya. (ANT-160/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010