Palu (ANTARA News) - "Rono Dangeeee...Rono Dangeeee...," teriak Ahmad Yani, seorang penjual ikan keliling dari perumahan ke perumahan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Yani tidak sendiri. Banyak pedagag serupa berkeliling saban hari, pagi hingga siang. Mereka umumnya ibu-ibu. Mereka berjalan kaki, memikul ember atau bakul berisi lempengan "rono dange". Ada juga yang menjualnya dengan "rono" mentah dan jenis ikan lainnya.

Para penjual itu menelusuri jalan-jalan di sejumlah kompleks perumahan dalam dan luar kota Palu. Tak kenal waktu, di bulan Ramadhan pun mereka tetap menjual meski melawan terik matahari.

"Rono dange" adalah ciri khas kuliner masyarakat Kaili yang merupakan perantau di Palu. "Rono dange" adalah ikan teri yang dibungkus daun pisang lalu dipanggang.

"Rono" dan "dange", adalah dua suku kata dari bahasa Kaili. "Rono" artinya ikan teri. "Dange" artinya sagu panggang. Disebut "rono dange" karena ikan yang dibungkus daun pisang itu dipanggang di atas tungku seperti halnya memanggang sagu.

Selain "rono dange", kuliner ini juga disebut "rono tapa" atau teri panggang. Tapi masyarakat lebih mengenalnya dengan "rono dange".

"Rono dange" melahirkan aroma dan rasa yang khas ikan teri karena selain di panggang dalam daun pisang, ikannya juga tidak mendapat perlakuan apapun sehingga bebas dari bumbu masakan.

"Isinya murni ikan teri. Saya biasanya hanya menambah sedikit garam lalu dipanggang," kata Yani, seorang penjual keliling dari Desa Kabonga, kurang lebih 30 kilometer arah utara kota Palu.

"Rono dange" sebesar telapak tangan orang dewasa biasanya dijual Rp5.000 per tiga bungkus. Yani menjualnya, Rp5.000 per empat bungkus. Untuk mendapatkan rasa yang lebih, konsumen biasanya menambahi jeruk nipis dan cabe kecil.

"Bagus juga digoreng ditambah bumbu yang lain," kata Yani.

"Rono dange" bisa bertahan hingga dua hari. Jika sudah dingin, boleh dipanggang kembali sekadar memanaskan saja.

"Tapi rasanya tidak seenak saat sebelum dipanaskan," kata ibu Wati, seorang ibu rumah tangga.

Buah Trampil Ibu-ibu
"Rono dange" masih sangat kental di masyarakat Palu khususnya masyarakat Kaili. Hampir sepanjang pesisir pantai Palu dan Donggala memproduksi "rono dange", tetapi basis "rono dange" atau "rono tapa" paling banyak di jumpai di wilayah pesisir pantai barat, Kabupaten Donggala.

Sebarannya mulai dari Tawaeli, Toaya, Enu bahkan sampai di Lero. Produk paling dikenal dan banyak dijual pedagang keliling berasal dari Lero.

"Rono dange" banyak menyedot tenaga kerja dari ibu-ibu rumah tangga nelayan. Saat suami dan anak-anak mereka pergi melaut, ibu-ibu rumah tanggalah yang menyiapkan diri mengurus dan mengolah "rono dange" itu.

Menurut Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Sulteng, sarana pengolahan "rono dange" masih amat sederhana, dimana dalam satu unit rumah pengasapan biasanya terdiri dari dua tungku pengasapan.

Rumah pengasapan yang dibuat pun sangat sederhana. Tanpa dinding dan hanya beratap rumbia. Sementara tungku hanya terbuat dari batu dan besi berbentuk lembaran (plat).

Dari rumah pengasapan yang sederhana inilah keluar produk "rono dange" atau "rono tapa" yang sangat digemari oleh hampir semua masyarakat Kaili di Sulteng maupun masyarakat Kaili yang berada di perantauan.
(A055/A038)

Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010