Padang (ANTARA News) - Sumatera Barat setahun lalu, porak poranda, setelah diguncang gempa 7,9 SR diikuti tanah longsor, pada 30 September 2009.
Hari itu, bumi berguncang hebat dan awan gelap menutupi cakrawala diikuti hujan lebat hingga Kamis dini harinya.
Sehari setelah itu daerah-daerah terkena gempa bagai kota mati, porak poranda dalam dingin menusuk tulang karena hujan deras tiada henti, listrik padam, saluran komunikasi terputus dan mirisnya ratusan tubuh manusia masih tertimba bangunan atau tanah serta belum bisa diselamatkan dan ditemukan.
Warga yang selamat juga belum bisa tenang, kekhawatiran
belumlah surut, bahkan banyak yang belum tahu keadaan saudara dan keluarganya karena terputusnya saluran komunikasi.
Di malam yang dingin dalam guyuran hujan dan gelap gulita tanpa aliran listrik, banyak warga tidur di bawah tenda-tenda darurat dari plastik karena rumahnya rusak atau roboh.
Hingga pagi datang dan cahaya matahari mulai menyinari daerah yang porak poranda ini, berangsur-angsur warga memulai kehidupan dalam suasana tidak normal, mungkin hanya segelintir yang bisa mandi dan gosok gigi serta sarapan pagi dari sisa bahan makanan yang masih ada.
Hari berangsur siang dan gambaran kehancuran makin tampak, ratusan ribu bangunan rumah, perkantoran, sarana prasarana umum, sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, pariwisata nampak rusak dan banyak yang roboh rata dengan tanah.
Rasa panik belum hilang, kegalauan hati warga bertambah dengan sikap sejumlah oknum yang mencari keuntungan pribadi di tengah duka.
Untuk mendapatkan kebutuhan pokok, warga yang sebagian masih berduka disuguhi lonjakan harga gila-gilaan. Air mineral kemasan gelas yang biasa Rp500 per buah melambung menjadi Rp2.000 hingga Rp3.000. Rokok biasanya Rp10 ribu per bungkus naik menjadi Rp20.000 hingga Rp25.000 ribu.
Kenaikan harga terparah adalah bahan bakar minyak (BBM) yang selain mahal juga sulit didapatkan. Dalam kondisi ini banyak muncul pedagang eceran yang menjual bensin dengan harga tak wajar, sedangkan membeli ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) harus antri berjam-jam.
Oknum pedagang eceran mematok harga bensin hingga Rp40 ribu per liter. Padahal selain untuk transportasi, BBM sangat dibutuhkan untuk menghidupkan mesin genset karena listrik PLN padam total.
Kondisi harga-harga yang melambung semakin menambah beban masyarakat saat belum pulih dari kepanikan pascagempa pada sore hari sebelumnya.
Bantuan datang
Gempa 7,9 diikut tanah longsor di Sumbar dalam waktu singkat tersebar beritanya baik dalam maupun luar negeri. Pemerintah Indonesia juga bertindak untuk secepat mungkin memberikan bantuan kepada Sumbar serta dari luar negeri, dengan tujuan utama mencari para korban yang belum ditemukan.
Bantuan sipil maupupun militer dalam dan luar negeri berdatangan ke Sumbar untuk terlibat dalam tahap tanggap darurat gempa Sumbar yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
Musibah ini juga menjadi berita utama media dalam dan luar negeri, diikuti kedatangan ratusan jurnalis Indonesia dan mancanegara ke Sumbar untuk meliput dan mengirim pesan tragedi kemanusiaan yang melanda rakyat Sumbar.
Duka di bumi Ranah Minang ini tidak saja menyentuh hati masyarakat, pemerintah dan pihak lain di Indonesia tetapi juga memunculkan solidaritas internasional membantu meringankan derita para korban.
Tangis, jeritan, darah, derita dan nyawa warga Ranah Minang terdengar jauh menembus wilayah nasional hingga ke dunia internasional. Bantuan Indonesia dan dunia internasional datang susul menyusul untuk dalam masa tanggap darurat.
Sehari pascagempa, puluhan hingga ratusan anggota tim SAR luar negeri berdatangan ke dengan peralatan lengkap dan ekor anjing pelacak untuk membantu upaya pencarian para korban.
Bandara Internasional Minangkabau (BIM) didarati ratusan pesawat membawa ratusan tim SAR asing dan lembaga internasional lainnya yang juga membawa bantuan logsitik darurat ke Sumbar.
Lembaga internasional antara lain, IOM-OIM, Hope Indonesia, JICA, AusAID Australia, UNFPA, HK Logistic, US Consul General Medan, USAID, European Commision, Mahkota Medical Centre Hospital Malaysia, IHH Humanitarian AID Turkey, Church Word Service (CWS) dan UNOCHO.
Badan dunia PBB melalui lembaganya UNDAC (United Nations Disaster Assessment and Coordination) dan UN-OSOCC (United Nation On-site Organization Coordination Center) langsung mengkoordinasikan kehadiran ratusan tim SAR dan lembaga kemanusiaan internasional itu.
Menurut data UNDAC, tercatat 130 tim SAR dan lembaga kemanusian internasional dari puluhan negara datang untuk memberikan bantuan kemanusian pada masa tanggap darurat dan penanggulangan bencana gempa Sumbar.
Tim SAR internasional bekerja sama dengan Tim SAR gabungan Indonesia, TNI, Polri dan masyarakat bahu-membahu mencari dan berusaha menyelamatkan korban-korban yang terperangkap teruntuhan gedung dan tanah longsor.
Usaha keras tak kenal lelah dalam kerangka solidaritas internasional dan Indonesia dapat menyelamatkan sejumlah warga yang sempat terperangkap puing-puing puluhan jam dalam kondisi masih hidup.
Berbagai persoalan pascagempa secara bertahap diselesaikan termasuk pengadaan kebutuhan bahan pokok dan harga-harga yang coba ditekan dengan datangnya bantuan dari banyak pihak.
Kelangkaan BBM cepat diatasi Pertamina dengan menurunkan petugas dan fasilitasnya secara besar-besaran, begitu pula PLN terus memperbaiki jaringan listrik dan perusahaan telepon seluler berusaha secepatnya memulihkan akses komunikasi.
Pemerintah juga menyalurkan bantuan dana lauk pauk bagi warga untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Ribuan rumah darurat didirikan oleh sejumlah LSM, pihak asing dan pemerintah untuk menampung warga yang sebelumnya tinggal di tenda darurat.
Banyak kemajuan dicapai dalam masa tanggap darurat gempa Sumbar dan dinilai cukup berhasil, seperti penilaian Lembaga dunia di bawah naungan PBB, UNDAC (United Nations Disaster Assessment and Coordination) yang memuji tindakan Indonesia melaksanakan tahapan evakuasi korban dalam masa tanggap darurat pascagempa Sumbar.
UNDAC menilai Indonesia sudah mampu dalam mengatasi bencana di Sumbar, kata Winston Chang, team leader UNDAC.
Menurut dia, baiknya upaya dilakukan sehingga banyak teknologi yang siapkan UNDAC belum sempat digunakan untuk evakuasi dan pencarian korban gempa. "Luar biasa apa yang dilakukan masyarakat Indonesia pada penanggulangan bencana Sumbar. Semua sistem berjalan baik dan tidak ada kendala di lapangan," katanya.
Kerja sama lembaga-lembaga internasional dengan pihak Indonesia juga berjalan baik, komitmen tanggap darurat dan bekerja selama 24 jam benar-benar dilakukan dalam tahap evakuasi.
Sebulan setelah pelaksanaan masa tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, total kerugian material akibat gempa diikuti tanah longsor di Sumbar itu ditaksir mencapai Rp21,58 triliun.
Kerugian terbesar dialami akibat kerusakan perumahan milik masyarakat yang mencapai 74 persen dari total Rp21,58 triliun. Kerugian tersebut berdasarkan hasil verifikasi final yang menyebutkan sebanyak 249.833 unit rumah milik masyarakat rusak akibat gempa dan tanah longsor.
Kategori kerusakan terdiri dari 114.797 unit rusak berat atau roboh rata dengan tanah, 67.198 unit rusak sedang dan 67.838 unit rusak ringan.
Kerugian terbesar dialami karena kerusakan pada komponen bidang ekonomi produktif mencapai 11 persen, lalu komponen sosial tujuh persen dan komponen infrastruktur lima persen.
Kerusakan lainnya yang menimbulkan kerugian adalah pada komponen lintas sektor terutama pada kantor pemerintahan yang mencapai kerugian tiga persen dari total Rp21,58 triliun tersebut, tambahnya.
Sementara itu, jumlah korban jiwa meninggal dunia di seluruh Sumbar tercatat 1.195 orang, terdiri dari 983 orang ditemukan jasadnya dan teridentifikasi serta 212 orang hilang tak ditemukan.
Sumbar kini
Kini, setahun pascagempa, Sumbar nampak terus membaik. Kehidupan masyarakat berangsur membaik dan kondisi daerah mulai normal.
Di Padang kehidupan sebagai kota besar telah terlihat. Kemacetan lalu lintas dan lalu lalang mobil baru berkilat telah kembali menjadi pandangan biasa.
Kegiatan pendidikan berjalan pulih termasuk perdagangan meski pasar tradisional Pasar Raya masih belum dibangun kembali.
Memang banyak gedung-gedung di pusat kota masih nampak puing-puing setelah satu tahun roboh karena gempa, tapi upaya pembersihan telah nampak dilakukan.
Akan tetapi, kondisi normal belum terwujud di bidang pemulihan bidang pemukiman masyarakat yang upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dengan bantuan dana dari pemerintah pusat berjalan lambat.
Satu tahun upaya pemulihan bidang pemukiman masyarakat memang telah dilakukan, namun di lapangan kebutuhan utama para korban untuk membangun kembali tempat tinggalnya seperti "jauh panggang dari api".
Besarnya kerugian masyarakat membuat penyaluran bantuan untuk membangun kembali tempat tinggal yang rusak menjadi isu penting dalam proses pemulihan Sumbar.
Dari realisasi bantuan untuk membangun kembali rumah yang rusak, menurut Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstuksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, Oktavianus, Pemda Sumbar baru menerima dana bantuan sebanyak Rp313,9 miliar dari pemerintah pusat.
Sedangkan kebutuhan dana total untuk melaksanakan aksi rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah mencapai Rp4,61 triliun, tambahnya.
Dana yang telah diterima tersebut adalah untuk bantuan tahap I yang dianggarkan pemerintah pusat pada 2009 untuk "pilot project" (percontohan) aksi rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan pada 2010.
Dana proyek percontohan tersebut dibagi secara proposional di tujuh daerah kabupaten/kota yang terkena dampak gempa 7,9 SR diikuti tanah longsor yang melanda Sumbar 30 September 2009 dimana untuk perbaikan rumah masyarakat yang rusak berat dan rusak sedang dialokasikan Rp114,5 miliar.
Saat ini telah dibangun kembali 7.636 unit rumah warga yang rusak dari total 249.833 unit rumah warga yang rusak dalam bencana itu, dengan rincian di Kabupaten Padang Pariaman 3.575 unit, Kota Padang (2.200), Kota Pariaman dan Kabupaten agam masing-masing 725 unit, Kabupaten Pasaman (220) dan Kabupaten Pesisir Selatan (175).
Lalu, di Kabupaten Solok (136) dan Padang Panjang serta Kabupaten Pasaman Barat masing-masing 37 unit, di Kabupaten Tanah Datar dibangun 25 unit, Kota Solok (4) dan di Kabupaten Mentawai (3).
Kondisi rumah percontohan yang dibangun kembali itu dengan rincian, 6.185 unit rusak berat dan 1.451 unit rusak sedang, kata Oktavianus.
Sementara itu, untuk rehabilitasi tahap II direncanakan sebanyak 143.270 unit rumah yang rusak berat dan sedang akan dibangun kembali, terdiri dari 54.545 unit yang rusak berat dan 143.270 unit rusak sedang tersebar pada 14 kabupaten/kota.
Rehabilitasi dan rekonstruksi Sumbar tahap II membutuhkan dana lebih dari Rp2,47 triliun dan Pemerintah daerah Sumbar akan menerima bantuan dana awalnya untuk tahap I sebanyak Rp350 miliar dari pemerintah pusat.
Total dana tahap II sekitar Rp2,47 miliar dan yang telah ditandatangani MoU-nya dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rp350 miliar, sedangkan sisanya direncanakan turun Oktober 2010, katanya.
Melihat kondisi di lapangan dimana rumah yang dibangun kembali jauh lebih kecil jumlahnya dari yang rusak, menunjukan pemulihan perumahan masyarakat pascagempa Sumbar berjalan lambat.
Lambatnya proses pencairan dana bantuan untuk pemulihan pemukiman masyarakat, dinilai Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Indonesia Patra Rina Dewi antara lain karena penetapan status bencana daerah pada gempa Sumbar.
Kogami tidak mengetahui persis kenapa gempa Sumbar 30 September 2009 ditetapkan berstatus bencana daerah oleh pemerintah pusat, padahal dilihat dampak ditimbulkannya, maka seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional, sehingga penanganannya dilakukan langsung pemerintah pusat termasuk anggaran dialokasikan dalam APBN, katanya.
Sebaliknya, dengan ditetapkan sebagai bencana daerah, penanganan musibah ini dilakukan pemerintah daerah dan untuk pembiayaan harus diajukan ke pusat serta pencairannya melalui birokrasi yang panjang.
Padahal untuk pemulihan yang cepat dibutuhkan realisasi bantuan dana yang cepat pula, terutama untuk membantu korban membangun kembali tempat tinggalnya yang rusak akibat gempa atau tanah longsor, ujarnya.
Dengan birokrasi panjang, pencairan dana bantuan yang juga dari pihak asing menjadi lambat, sehingga masyarakat korban gempa juga harus menunggu dalam waktu yang tidak pasti.
Dalam kondisi ini nampak jelas upaya pemulihan tempat tinggal masyarakat yang rusak akibat gempa berlangsung lambat, terlihat dari jumlah rumah yang telah dibangun kembali dengan bantuan pusat dan asing melalui pemerintah daerah masih sedikit, tambahnya.
Guna mempercepat perumahan warga, menurut dia, diperlukan kebijakan lebih berpihak kepada para korban, seperti mengurangi rangkaian birokasi pencairan dana bantuan dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusat diharpkan dapat memperbaharui sistem pencairan dana bantuan bencana, dengan harapan bantuan bagi korban cepat terealisasi dan rumah yang rusak dapat cepat dibangun lagi, tambah Patra Rina Dewi.
(H014/T010)
Oleh Hendra Agusta
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010