Pertemuan yang diselenggarakan untuk pertama kalinya itu diharapkan dapat menghasilkan sinergi dan penguatan kelembagaan dari berbagai lembaga zakat internasional, termasuk di Indonesia.
Berkaitan dengan hal itu, bagaimana dengan potensi zakat di Indonesia dan mampukah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini. Bagaimana kiprah lembaga zakat di Indonesia dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat dari para muzaki (pembayar zakat).
Untuk mengetahui jawabannya, pewarta ANTARA (PA) mewawancarai pengamat zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) yang juga Wali Amanah Dompet Dhuafa Erie Sudewo (ES) di Yogyakarta, Kamis (30/9) malam.
PA: Apa pengertian zakat menurut Anda?
ES: Zakat berasal dari bahasa Arab, yang artinya sebuah kewajiban yang dibebankan atau ditujukan kepada kaum muslimin dan muslimat yang sudah mampu untuk berzakat. Mampu berzakat ada dua segi, yakni haul dan nisab. Haul itu masanya satu tahun dan nisab adalah besarannya, yang umum dipakai adalah 85 gram emas. Jika seorang Muslim mempunyai penghasilan atau keuntungan yang selama setahun setara dengan 85 gram emas, maka wajib berzakat. Jika seorang muslim mampu untuk berzakat tetapi tidak menunaikannya berarti dia menanggung utang.
PA: Berapa besar potensi zakat di Indonesia?
ES: Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta jiwa, 80 persennya muslim atau 180 juta orang. Muslim sebanyak itu kita bagi dua, yakni kaya dan miskin, yang masing-masing berjumlah 90 juta orang. Untuk menghitung yang miskin didasarkan atas jiwa, sedangkan untuk yang kaya berdasarkan kepala keluarga. Misalnya, setiap kepala keluarga terdiri atas lima anggota keluarga, maka 90 juta dibagi lima menjadi 18 juta kepala keluarga. Namun demikian, kemampuan mereka tentu tidak sama, dan yang menjadi persoalan adalah berapa dari angka itu yang bersedia menjadi pembayar zakat (muzaki). Berkaitan dengan hal itu, zakat dipilah atas tiga potensi, yakni terendah, progresif, dan ideal. Potensi terendah adalah membayar zakat Rp50 ribu per bulan. Jika muzaki dihitung hanya 10 persen dari 18 juta kepala keluarga akan terhimpun Rp90 miliar per bulan atau Rp1,08 triliun per tahun. Potensi progresif dengan membayar zakat Rp100 ribu per bulan akan terhimpun Rp180 miliar per bulan atau Rp21,6 triliun per tahun. Potensi ideal adalah membayar zakat Rp150 ribu per bulan akan terhimpun Rp270 miliar per bulan atau Rp32,4 triliun per tahun.
PA: Potensi zakat sebesar itu apakah mampu menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia?
ES: Zakat belum mampu menjadi solusi masalah kemiskinan di negeri ini. Jika kita melihat zakat secara "an sich` kita langsung menjalankannya, maka kita hanya bicara sebagai "social worker". Kita hanya mengelola sebatas zakat itu saja. Padahal, kemiskinan itu rentetannya luar buasa, dan yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kemiskinan itu merupakan sebuah produk dari lingkungan kita. Itu yang dikatakan kemiskinan struktural, yang merupakan hasil kebijakan negara, ekspansi bisnis, dan tidak mau tahunya masyarakat. Jika kemiskinan struktural, maka kita harus bicara tentang kebijakan, tetapi jika penanganan zakat dengan sosial, maka harus menggunakan pendekatan moralis. Dalam hal ini, tidak mungkin kebijakan struktural dilawan dengan pendekatan sosial, tetapi harus dengan kebijakan pula. Mengatasi masalah kemiskinan hanya dengan zakat itu tidak bisa karena Nabi Muhammad SAW mengatakan kemiskinan itu karena kita tidak mempunyai satu-dua biji kurma, tetapi kemiskinan adalah ketidakmampuan mengelola sumber daya. Di Indonesia sumber dayanya melimpah ruah tetapi tidak bisa menyejahterakan rakyatnya. Jika kemudian zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan itu jelas tidak bisa dan tidak logis. Jika dalam istilah aljabar, kemiskinan itu seperti deret ukur. Penaggulangannya jika hanya dengan zakat tidak bisa, karena akan selalu tertinggal. Penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan kebijakan.
PA: Apakah mekanisme pengumpulan zakat selama ini sudah maksimal?
ES: Belum maksimal, tetapi kesadaran orang kaya Muslim untuk berzakat semakin baik. Perkembangan itu merupakan hal yang bagus. Kita berharap sebetulnya di setiap daerah muncul lembaga-lembaga zakat yang profesional sehingga bisa memberikan layanan yang terbaik.
PA: Apakah selama ini sebagian besar umat Islam telah menyalurkan zakatnya melalui lembaga zakat?
ES: Sebagian besar dari mereka tampaknya masih menyalurkan zakatnya secara langsung atau pribadi, tidak melalui lembaga zakat, atau mungkin masih banyak pula yang belum berzakat. Zakat yang terhimpun oleh seluruh lembaga zakat di Indonesia menurut data terakhir 2009/2010 tercatat sekitar Rp1 triliun lebih. Jika dibandingkan dengan potensi zakat yang ada itu belum seberapa.
PA: Faktor apa saja yang menyebabkan fenomena tersebut?
ES: Penyebabnya banyak faktor, di antaranya perilaku yang buruk, banyak umat Islam yang tidak yakin bahwa zakat itu wajib. Sebagian dari mereka masih mengatakan berzakat itu harus ikhlas, jika tidak ikhlas maka tidak berpahala, sehingga percuma dan tidak perlu dilakukan. Padahal, zakat itu wajib sama seperti shalat. Jika sedekah memang harus ikhlas, tetapi zakat itu wajib, apakah ikhlas atau tidak, zakat wajib ditunaikan oleh umat Islam yang mampu. Faktor lainnya adalah kikir. Mereka sebetulnya mengetahui bahwa zakat itu wajib, tetapi tidak mau mengeluarkannya. Faktor selanjutnya adalah mengeluarkan zakat secara langsung. Mereka sudah tahu dan sadar bahwa zakat itu wajib tetapi mengeluarkannya secara langsung karena belum semua daerah mempunyai lembaga zakat. Ada juga yang sudah tahu dan sadar kemudian menyalurkan zakatnya melalui lembaga zakat. Ada pula faktor lain, misalnya, zakat sudah disalurkan ke lembaga zakat tetapi lembaga tersebut tidak cakap mengelolanya.
PA: Bagaimana upaya lembaga zakat untuk meningkatkan kepercayaan umat Islam menyalurkan zakat melalui lembaga tersebut?
ES: Lembaga zakat harus membuat program yang baik. Program yang baik adalah zakat itu ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar penerima zakat (mustahik) agar mereka bisa sujud senormal muzaki. Hal itu berkaitan dengan mengembalikan manusia untuk menyembah Allah SWT sesuai dengan prinsip rukun Islam. Jika mereka tidak diminta untuk menyembah dan hanya diberi uang itu hanya akan mengatasi kemiskinan tetapi tidak memperbaiki perilakunya. Jika tidak sujud kepada Allah SWT, maka ketika mereka lepas dari kemiskinan dikhawatirkan akan muncul orang jahat yang baru. Oleh karena itu, lembaga zakat harus mempunyai program yang baik untuk memberdayakan mustahik, misalnya jika membuat program pendidikan harus baik konsep, materi, kurikulum, dan tenaga pengajar, sehingga berkualitas. Begitu pula dengan program ekonomi harus bisa mengatasi persoalan mustahik. Dengan demikian, muzaki akan senang melihat semua itu dan menyalurkan zakatnya melalui lembaga zakat. (B015/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010