Semarang (ANTARA) - Perubahan Ketiga Inmendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat COVID-2019 di Wilayah Jawa dan Bali, 3—20 Juli 2021, menunjukkan Pemerintah responsif karena tidak lagi menutup sementara tempat ibadah.
Sebelumnya, dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 15/2021 Huruf g disebutkan bahwa tempat ibadah (masjid, musala, gereja, pura, vihara, dan klenteng serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah) ditutup sementara.
Meskipun tidak ada frasa "ditutup sementara", dalam Inmendagri No. 19/2021 tentang Perubahan Ketiga Inmendagri No. 15/2021 Huruf g, tempat ibadah dan tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah tetap tidak mengadakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjemaah selama masa penerapan PPKM darurat dan mengoptimalkan pelaksanaan ibadah di rumah.
Dalam Perubahan Ketiga Inmendagri No. 15/2021 Huruf k, pelaksanaan resepsi pernikahan ditiadakan selama penerapan PPKM darurat. Sebelumnya, resepsi pernikahan diperbolehkan dengan jumlah yang hadir maksimal 30 orang.
Meski kala itu tidak ada larangan, dalam pesta harus menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat dan tidak menerapkan makan di tempat resepsi, penyediaan makanan hanya diperbolehkan dalam tempat tertutup dan untuk dibawa pulang.
Pada hari pertama PPKM darurat, Sabtu (3/7), Lurah Pancoran Mas berinisial S malah menggelar resepsi pernikahan anaknya di Gang H. Syuair, RT01/RW02 Kelurahan Mampang, Kota Depok, Jawa Barat.
Meski menurut pengakuannya dihadiri 30 orang keluarga inti atau sesuai dengan Inmendagri No. 15/2021 Huruf k, S tetap dicopot dari jabatannya sebagai lurah melalui Surat Keputusan Wali Kota Depok Nomor 862/KEP-1721/BKPSDM/2021 tertanggal 8 Juli 2021 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Berupa Pembebasan dari Jabatan atas Nama Saudara S.
Sebelumnya, S ditetapkan sebagai tersangka yang ditandai dengan diserahkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari penyidik Satreskrim Polres Metro Depok kepada Kejaksaan Negeri Kota Depok pada hari Selasa (6/7).
S dijerat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 212 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 14 UU Wabah Penyakit Menular disebutkan:
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000,00.
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp500 ribu.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Selanjutnya, dalam Pasal 212 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 216 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.
(3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat 2 tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.
Tidak hanya S yang terkena sanksi, delapan personel Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta dipecat oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo pada hari Jumat (9/7) karena kedapatan nongkrong di warung kopi saat PPKM darurat.
Pelanggaran personel Dishub DKI tersebut karena mereka berkerumun, makan, dan minum di warung kopi kawasan Patal Senayan saat PPKM darurat yang memberlakukan larangan makan dan minum di warung makan atau restoran.
Pemecatan ini diketahui berawal dari beredar potongan video berdurasi 44 detik di media sosial yang memperlihatkan sejumlah petugas Dishub sedang nongkrong di warung kopi. Berdasarkan narasi perekam, petugas Dishub DKI itu nongkrong di atas pukul 21.00 WIB.
Inmendagri Berubah-ubah
Sebelum PPKM darurat ini diberlakukan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Inmendagri No. 15/2021 tentang PPKM Darurat COVID-19 di Wilayah Jawa dan Bali. Instruksi pada tanggal 2 Juli 2021 ini ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota di wilayah Jawa dan Bali.
Pada tanggal yang sama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menandatangani Inmendagri No. 16/2021 tentang Perubahan Inmendagri No. 15/2021.
Selanjutnya, pada tanggal 8 Juli 2021, Kemendagri melakukan perubahan kembali melalui Inmendagri No. 18/2021 tentang Perubahan Kedua Inmendagri No. 15/2021. Instruksi menteri yang berlaku mulai 9 hingga 20 Juli 2021 ini mengubah pada diktum ketiga: Huruf c angka 1) dan angka 3).
Selang sehari, 9 Juli 2021, ada perubahan lagi melalui Inmendagri No. 19/2021. Instruksi menteri ini berlaku pada hari Jumat (10/7) sampai dengan 20 Juli 2021.
Pada perubahan pertama (Inmendagri No. 16/2021) ada penambahan pasal bagi gubernur, bupati, dan wali kota yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Semula dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah ada perubahan (Inmendagri No. 16/2021), Pasal 67 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, instruksi menteri ini wajib ditindaklanjuti oleh kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, di tujuh provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Bali.
Sebagai contoh Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menindaklanjuti Inmendagri tersebut melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 379 /Kpts/013/2021 tentang PPKM Darurat COVID-19 di Jawa Timur.
Sementara itu, untuk pelaku usaha, restoran, pusat perbelanjaan, transportasi umum sebagaimana dimaksud dalam diktum ketiga Huruf c, Huruf d, Huruf e, dan Huruf j yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Inmendagri No. 15/2021 dikenai sanksi administratif sampai dengan penutupan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang dapat dikenai sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan: KUHP Pasal 212 sampai dengan Pasal 218; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah; serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Jika merujuk pada Inmendagri tersebut, perlu ada peraturan daerah (perda) terkait dengan pengendalian wabah penyakit menular. Sebagai contoh Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memiliki Perda No. 5/2021 tentang Perubahan atas Perda Provinsi Jawa Barat No. 13/2018 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat.
Gegara pembeli makan di tempat, seorang pengusaha bubur di Kota Tasikmalaya divonis hakim dengan putusan denda Rp5 juta atau subsider 5 hari kurungan penjara pada hari Selasa (6/7) karena terbukti melanggar Pasal 34 Ayat (1) juncto Pasal 21 I Ayat (2) huruf f dan g Perda Provinsi Jabar No. 5/2021.
Selain peraturan perundang-undangan tersebut, dalam Inmendagri No. 16/2021 disebutkan pula UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan tidak saja memuat ketentuan pidana, tetapi juga tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak di wilayah karantina selama karantina wilayah berlangsung (Pasal 55). Apalagi, setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (Pasal 7).
Bahkan, setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina (Pasal 8).
Jika ketentuan itu dipenuhi oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, kemungkinan pedagang tidak akan nekat berjualan pada masa PPKM darurat. Bahkan, mereka juga tidak perlu main kucing-kucingan dengan petugas agar tidak terkena razia.
Copyright © ANTARA 2021