Johannesburg (ANTARA News) - Setelah beberapa hari berada di Johanesburg, ANTARA dan beberapa wartawan Indonesia lainnya mulai mengalami dan merasakan sendiri kengerian berada di kawasan hitam kota itu.
Kejadian tersebut sebenarnya diawali secara tidak sengaja ketika ANTARA lewat di Hillbrow, sebuah kawasan yang baru kemudian diketahui ternyata salah satu tempat paling ditakuti dan berbahaya. Di kawasan inilah, para pendatang yang tersesat, apalagi kalau berjalan seorang diri, menjadi sasaran empuk pemerasan.
Kawasan tersebut terletak tidak jauh dari Stadion Ellis Park dan sebuah menara perusahaan telekomunikasi gedung apartemen Ponte City menjadi penanda.
Di kawasan itulah, kami tersesat ketika hendak pulang ke penginapan saat pertandingan Argentina dan Nigeria masih berlangsung. Kami memutuskan untuk pulang meski pertandingan belum usai agar terhindar dari kemacetan.
Tapi kami harus melewati daerah tersebut karena Mariam Gillan, pemilik rumah tempat kami menginap, dengan senang hati bersedia menjemput ke Ellis Park.
Tapi berhubung jalan-jalan yang berada di komplek stadion tersebut ditutup, tidak ada jalan lain kecuali melewati Hillbrow untuk menuju tempat dimana Mariam sudah menunggu dengan mobil Audi-nya.
Karena tidak mengetahui posisi jalan End Street dimana Mariam menunggu, maka kami bertanya kepada seorang polisi yang berjaga dan polisi berkulit hitam dengan perawakan tinggi besar itu pun menunjuk ke arah Hillbrow.
Pada awalnya tidak ada perasaan apa-apa ketika kami memasuki kawasan tersebut, tapi suasana menyeramkan mulai terasa saat kami seperti orang aneh diantara mereka yang semuanya berkulit hitam, di bawah tatapan mata yang tidak bersahabat.
Hampir satu jam kami harus berputar-putar di kawasan Hillbrow untuk mencari jalan End Street meski telah berkali-kali bertanya kepada polisi. Orang asing yang sedang kebingunan dan bertanya kepada polisi tampaknya menarik perhatian beberapa pemuda kulit hitam yang berada di jalan.
Pemuda yang kelihatan mabuk tersebut menghampiri kami yang berhenti saat Gunarso, rekan dari Suara Merdeka Semarang yang hendak membeli buah. Tanpa basa-basi ia meminta uang kembalian sebesar 10 rand (Rp12.000). Karena tidak ingin ada masalah, Gunarso pun merelakan uang tersebut.
Saat melanjutkan perjalanan, di jalanan terlihat anak-anak muda yang semuanya berkulit hitam sedang berjudi dengan beralaskan kardus, sementara yang lain tampak sedang teler.
Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu dari mereka menunjuk ke arah kami sambil berteriak "Chinese.... Chinese...." Seperti yang pernah dinasehati oleh warga Indonesia yang sudah lama tinggal di Johannesburg, kami tidak mau meladeni dan terus berjalan.
Pertandingan Argentina vs Nigeria ternyata telah menjadi penyelamat kami karena perhatian sebagian besar pemuda yang ada di kawasan tersebut tertuju kepada pertandigan, sehingga tidak ada yang menanggapi teriakan rekannya kepada kami.
Mariam, wanita paruh baya yang menjemput kami, tampak kaget mendengar cerita tersebut dan meminta agar kami tidak pergi ke kawasan berbahaya karena tidak ada yang bisa menjadi keselamatan.
"Saya saja yang orang sini tidak berani masuk ke kawasan ini. Berbahaya, nanti Anda bisa jadi sasaran kejahatan," kata Mariam yang mengaku tidak berani keluar mobil dan selalu mengunci pintu saat menunggu kami datang.
Mariam mengatakan bahwa ia ikut khawatir setelah mendengar berita media lokal bahwa beberapa wartawan peliput Piala Dunia 2010 dari Spanyol, Portugal dan China, menjadi sasaran perampokan. Kamera, laptop, dan sejumlah uang mereka dilarikan perampok yang menggunakan senjata.
Tingkat kejahatan yang tinggi merupakan salah masalah yang dihadapi oleh panitia Piala Dunia 2010. Berdasarkan statistik, rata-rata terjadi 50 kasus pembunuhan, atau nyawa melayang hanya gara-gara uang sebesar 100 rand (Rp120.000).
"Mereka tidak ingin ada saksi. Maka meski pun perampok tersebut hanya mendapat 100 rand, korban pun dihabisi," kata Kemal Yasser, pria Afrika Selatan keturunan Albania yang mengaku selalu membawa pistol setiap kali keluar rumah.
(T.a032/T009/S026)
Pewarta: Oleh Atman Ahdiat
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010