Johannesburg (ANTARA News) - Stadion Soccer City di Johannesburg, Jumat, seperti akan pecah oleh gemuruh suara terompet vuvuzela yang ditiup secara serentak sekitar 84.000 penonton saat Siphiwe Tshabalala mencetak gol untuk tuan rumah Afrika Selatan.

Gol pada menit ke-55 itu membuat Afrika Selatan untuk sementara unggul lebih dulu 1-0 menghadapi Meksiko pada pertandingan pertama Piala Dunia 2010, meski kemudian Rafael Marquez membuyarkan impian tuan rumah pada menit ke-79.

Suara gemuruh tersebut berasal dari vuvuzela, terompet khas pendukung sepak bola Afrika Selatan.

Terompet dari plastik dengan panjang sekitar satu meter dan mengeluarkan suara memekakkan telinga itu, menjadi semacam simbol bagi sepak bola negeri itu.

Meski berbentuk terompet, vuvuzela tidak sepenuhnya berarti sebuah alat musik yang tentunya akan mengeluarkan suara enak didengar, tapi malah sebaliknya.

Bisa dibayangkan jika puluhan ribu penonton di stadion secara serentak meniup vuvuzela yang mengeluarkan suara mirip gajah. Yang jelas suara tersebut lama-lama seperti berubah menjadi suara kawanan lebah yang sedang mengamuk. Apalagi bila terjadi gol, maka suasana benar-benar seperti menjadi tidak terkendali.

Menggunakan vuvuzela memerlukan fleksibilitas mulut dan tentu saja kekuatan paru-paru untuk meniupnya, meski tidak diperlukan teknik yang rumit. Para penonton yang baru untuk pertama kali ke Afsel memerlukan praktek singkat sebelum menyaksikan pertandingan, karena kalau belum mahir, suara yang dihasilkan bisa jadi terdengar aneh dibanding dengan suara sekitar.

Seorang pedagang vuvuzela di sekitar Stadion Soccer City, tertawa terbahak-bahak ketika ANTARA terbatuk-batuk saat mencoba meniup terompet tersebut.

Untuk memudahkan cara penggunaan, perusahaan produsen vuvuzela, Boogieblast pun merasa perlu untuk memberikan tip ringan: Posisikan bibir Anda di dalam ujung terompet agar mengeluarkan suara menggelegar. Saat meniup, bibir harus dibiarkan bergetar agar mengeluarkan suara. Tiuplah sekuat-kuatnya agar mengeluarkan suara yang keras.

Pada zaman dulu, vuvuzela yang terbuat dari tanduk disebut ixilongo di isiXhosa, mhalambala di Tshivenda yang ditiup untuk mengumpulkan warga di desa-desa Afrika.

Terompet ini menjadi makin populer pada pertandingan sepakbola mulai pada akhir 1990-an. Masincedane Sport, sebuah perusahaan olahraga melihat peluang bisnis dengan memproduksi vuvuzela secara massal pada 2001.

Dengan bahan plastik, vuvuzela diproduksi dengan berbagai warna. Warna hitam atau putih digunakan oleh pendukung klub Orlando Pirates, sementara kuning untuk Kaizer Chiefs dan demikian seterusnya.

Asal kata ?vuvuzela? itu sendiri sampai sekarang masih dalam perdebatan. Ada yang mengatakan berasal dari kata ?isiZulu? yang berarti ?membuat gaduh?. Tapi ada pula yang mengatakan kata `slang? dari ?shower? (mandi), yang berarti mengguyur orang dengan musik.

Sejak pengumuman pada 15 Mei 2004 bahwa Afrika Selatan ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010, vuvuzela semakin populer dan hari itu sekitar 20.000 vuvuzela langsung terjual habis di pedagang kaki lima.

Tapi tidak semua orang menyukai vuvuzela karena suara berisik yang ditimbulkan. Beberapa warga Johannesburg yang ditemui menjelang pertandingan pembukaan antara Afsel dan Meksiko mengatakan bahwa mereka lebih memilih untuk menonton pertandingan di rumah melalui televisi karena berada di antara ribuan suara terompet yang memekakkan telinga baginya seperti berada di neraka.

Anita, seorang perempuan kulit putih pendukung tuan rumah yang ditemui di komplek Soccer City, sengaja membawa alat menutup kuping yang biasa digunakan atlet menembak.

Orkestra Vuvuzela

Pedro Espi-Sanchis, seorang guru musik di Cape Town, mempunyai pandangan yang berbeda mengenai vuvuzela. Menurut dia, vuvuzela adalah sebuah instrument yang bila digunakan secara benar, bisa dengan mudah memainkan peran seperti flute, violin atau cello.

Menurut Espi-Sanchis, vuvuzela adalah "alat musik Afrika Selatan yang membanggakan" karena akarnya berada dari musik tradisional lokal. Alat tersebut sebenarnya diperkenalkan sejak 30 tahun lalu oleh Andrew Tracey, etnomusikologis terkenal Afrika Selatan.

Sebagai penggemar sepakbola, Espi-Sanchis mempunyai harapan terbentuknya semaca orkestra vuvuzela setelah menyadari bahwa penonton sepakbola sebenarnya bisa dikoordinir untuk membentuk kelompok orkestra.

"Saya lihat yang terjadi sekarang, vuvuzela yang ditiup penonton hanya asal berisik dan sama sekali tidak ada seninya. Vuvuzela perlu dimainkan menurut irama secara bersama-sama karena mempunyai kekuatan yang luar biasa," katanya.

Pada 2006, Espi-Sanchis dan Thandi Swarbooi, kepala sebuah grup musik Afrika Selatan, meluncurkan orkestra vuvuzela sebagai bagian dari organisasi musik Moya yang berbasis di Cape Town.

Grup dengan anggota utama tujuh orang, dengan Espi ?Sanchis sebagai konduktor dan solois peniup flut lekgodilo, serta enam orang lainnya yang masing-masing memainkan vuvuzela, maka orkestra itu pun untuk pertama kalinya tampil di muka umum pada acara Karnival Johannesburg pada Desember 2006 lalu.

Sementara penampilan mereka pada event sepakbola terjadi pada November 2007 di Ellis Park, yaitu pada turnamen Nelson Mandela Challenge yang mempermukan tuan rumah Bafana Bafana dengan AS.

Espi-Sanchis kemudian menemukan pendukung sepakbola lokal untuk ikut dalam orkestra vuvuzela, yaitu pendukung klub Bloemfontein yang bermarkas di propinsi Free State. "Pada November 2007, kami mengajar 60 orang pendukung untuk memainkan tujuh lagu hanya dalam lima hari," kata Espi-Sanchis.

"Setiap enam orang musisi kami bertanggung jawab untuk sepuluh pendukung dan mereka mengajari bagian masing-masing. Pendukung Celtic juga mengajari kami lagu-lagu mereka yang luar biasa dan kami bersama-sama mendukung Bafana Bafana di turnamen Mandela Challenge. Kami semua menari mengikuti orkestra vuvuzela," katanya.

"Sekarang kami ingin mempersembahkan sesuatu bagi pendukung tim nasional. Musik vuvuzela bisa dipelajari dengan sangat cepat. Kami ingin menggunakan pendukung Celtic sebagai model bagi pendukung sepakbola nasional," katanya menambahkan.

Terlepas dari apakah ambisi Espi-Sanchis tersebut bisa direalisasikan, vuvuzela telah menjelma menjadi bagian tidak terpisahkan dari pesta sepakbola Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.

Bisa dipastikan bahwa ratusan ribu penonton Piala Dunia yang berbagai belahan dunia, akan pulang ke negeri mereka dengan sebuah vuvuzela di dalam bagasi mereka, dan mungkin juga sisa-sisa suara berisik di telinga (*)

(A032/dari berbagai sumber/R009)


Pewarta: Oleh Atman Ahdiat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010