Kita harus mengambil kesempatan segera untuk melindungi Anak dari bahaya dan dampak zat adiktif rokokJakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) meminta revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif segera disahkan guna melindungi masyarakat konsumen Indonesia.
Ketua YLKI Tulus Abadi menegaskan urgensi merevisi PP 109/2012 tersebut didorong keprihatinan tentang perlunya perbaikan baik dari sisi substansi maupun implementasinya.
“Ada sejumlah poin dalam PP 109/2012 yang sudah tidak mengakomodir dinamika permasalahan produk tembakau atau rokok yang berkembang saat ini,” kata Tulus dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Permasalahan pertama, persoalan rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan telah menjadi fenomena di kalangan remaja dan anak muda, dimana industri rokok multi nasional getol mengampanyekan rokok elektronik sebagai rokok yang aman, dibandingkan rokok konvensional.
Kemudian persoalan iklan rokok di ranah media digital yang sangat marak. Walaupun konten dari iklan tersebut tidak menampilkan rokok/bungkus rokok atau orang merokok, tetapi dari sisi waktu tayangnya tidak ada pembatasan.
Ketiga, PP 109/2012 hanya mengatur besar peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (PHW) sebesar 40 persen pada bungkus, bagian belakang dan bagian depan. Tetapi fakta di lapangan PHW banyak tertutup oleh pita cukai, sehingga pesan bahaya rokok kepada konsumen tidak sampai.
Selain itu, PP 109/2012 memandatkan bahwa pemerintah daerah wajib membuat regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tetapi faktanya sampai saat ini baru 52 persen Pemerintah Daerah mempunyai regulasi tentang KTR.
Berdasarkan empat poin permasalahan diatas, YLKI Bersama LPKSM daerah sebagai lembaga yang peduli terhadap isu perlindungan konsumen di Indonesia, meminta pemerintah untuk segera merevisi PP 109 Tahun 2012 untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kepentingan masyarakat konsumen Indonesia.
“Hal ini selaras dengan rencana pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, di mana disebutkan itikad Pemerintah untuk menaikkan cukai tembakau dan rokok, serta menyelenggarakan berbagai program guna menurunkan prevalensi merokok di kalangan remaja dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen,” ujar Tulus.
Selain YLKI, Aliansi Perlindungan Anak Untuk Darurat Perokok Anak, yang terdiri dari 37 lembaga dan organisasi di seluruh Indonesia juga meminta segera pengesahkan revisi PP 109/2012 yang akan mengatur pelarangan total iklan promosi rokok, perluasan peringatan kesehatan bergambar pada kemasan dari 40 persen menjadi 90 persen, serta pengaturan rokok elektronik dan rokok dengan pemanasan.
Juru bicara Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak, Azhar Zaini mengatakan meskipun proses revisi PP tersebut seharusnya dilakukan dalam kurun satu tahun sejak 3 Mei 2018, hingga saat ini penyelesaiannya terus tertunda.
Padahal saat ini ada 3,2 juta anak usia 10 -18 tahun menjadi perokok aktif karena lemahnya regulasi.
Bappenas bahkan memprediksi jika tidak ada kebijakan yang kuat dan komitmen dari seluruh sektor terkait untuk melindungi anak, perokok anak akan meningkat menjadi 15,7 juta pada 2030.
“Tentunya kita tidak berharap anak-anak ini akan menjadi beban bonus demografi karena adiksi rokok yang mempengaruhi keluarga dan masa depannya,” ujar dia.
Dia mengatakan sejatinya revisi PP 109/2012 yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok akan sangat membantu penguatan pengendalian COVID-19.
"Kita harus mengambil kesempatan segera untuk melindungi Anak dari bahaya dan dampak zat adiktif rokok. Penyelamatan masa depan bangsa harus diletakkan pada prioritas tertinggi dibandingkan kepentingan lainnya. Revisi PP 109/2012 menjadi sangat urgen ditengah semakin tingginya prevalensi perokok pemula,” ujar Azhar menegaskan.
Baca juga: Menpora dukung Kemenkes soal larangan sponsor rokok dalam olahraga
Baca juga: Edukasi cegah perokok anak harus konsisten
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2021