kita butuh edukasi untuk merubah mindset

Jakarta (ANTARA) - Penanganan kesehatan jangan hanya terfokus pada penanganan COVID-19 tetapi juga persoalan kesehatan lainnya seperti permasalahan gizi dan tingginya angka stunting, kata Ketua TP PKK Provinsi Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil.

“Berbicara tentang sektor kesehatan masih tingginya permasalahan gizi dan tingginya stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan, saya khawatir fokus kita ke pandemi. Untuk itu penanganan stunting menjadi hal yang perlu dipersiapkan lebih matang untuk stunting ini karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa dilupakan atau tidak optimal,” ujarnya, dalam webinar di Jakarta, Rabu.

Dia menambahkan jangan sampai tidak ada lagi posyandu dikarenakan khawatir terjadinya penularan virus COVID-19. Ada beberapa posyandu belum tutup yaitu posyandu keliling walaupun tidak optimal karena kondisi PPKM darurat Jawa-Bali.

Ia mengatakan, Pemerintah berkomitmen zero new stunting pada 2023 sehingga perlu dukungan semua pihak.

Dia mengakui, saat ini masih banyak anak stunting yang disembunyikan karena ada stigma di masyarakat bahwa stunting hanya berlaku di masyarakat yang ekonominya rendah atau di pedesaan saja,

Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik RSCM, Prof DR Dr Damayanti R Sjarif SpA (K), mengatakan tata laksana stunting disesuaikan dengan penyebabnya.

“Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko penyakit tidak menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dan lainnya) di usia dewasa. Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa,” kata Damayanti.

Baca juga: BKKBN libatkan asosiasi profesor bahas solusi stunting di Indonesia
Baca juga: Kerja sama Kemenkes-GAIN bentuk generasi peduli gizi

Ia mengungkapkan, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin, namun penurunan kecerdasan itu masih mungkin dikoreksi sebelum usia dua tahun.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90 persen, tetapi jika pada usia dua tahun tinggi badan masih di bawah minus dua simpang baku maka akan sulit mengejar ketinggalan tersebut, bahkan jika masih berada di bawah minus tiga simpang baku berisiko memerlukan pendidikan khusus.

“WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan,” kata Damayanti.

Baca juga: BKKBN: Perjuangan otonomi tubuh turunkan kematian ibu hingga stunting
Baca juga: Gubes UR: Ibu bahagia bisa cegah anaknya terhindar dari stunting

Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, namun dibutuhkan kolaborasi multipihak.

“Paling penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk merubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye 'Bersama Cegah Stunting', kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting Danone Indonesia untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan,” kata Vera.

Sejak 2019, Danone Indonesia bersama Pemprov Jabar telah melakukan kolaborasi dalam upaya penanganan stunting pada 14 kabupaten /kota prioritas di provinsi Jawa Barat. Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi.

Baca juga: Menko PMK: Pemda bisa saling berbagi pengalaman atasi stunting
Baca juga: Menkes: KB pilar pertama cegah kematian ibu dan stunting

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021