"PCR kumur ini merupakan metode pengambilan sampel yang tadinya swab (dicolok), sekarang dengan kumur. Tetapi pemeriksaan tetap memakai PCR yang selama ini dipakai," kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Siti Nadia mengatakan metode penelusuran kasus COVID-19 di tengah masyarakat masih menggunakan metode tes cepat antigen sebab bisa langsung diperiksa dan didapatkan hasilnya dalam waktu singkat.
"Kalau penelusuran kasus lebih mudah menggunakan rapid test antigen karena bisa langsung diperiksa dan mendapatkan hasil," katanya.
Metode pelacakan kasus secara kumur, kata Siti Nadia, masih membutuhkan waktu panjang sebab sampel dari hasil kumur harus diperiksa laboratorium. "Kalau PCR kumur ini harus dikirim lagi sampelnya. Saya kira jadi tidak praktis karena ini masih bersifat PCR," katanya.
Secara terpisah, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengaku belum mengetahui prinsip kerja maupun akurasi yang dihasilkan dari produk Bio Farma Nusantic tersebut.
"Terus terang saya belum pernah membaca hasil penelitiannya," ujarnya.
Bio Farma dikabarkan sedang memproduksi alat uji pendeteksi COVID-19 yang diberi nama BioSaliva dengan kapasitas produksi mencapai 40.000 unit per bulan.
"Untuk produk baru kami BioSaliva, kami baru akan memproduksi sekitar 40.000 per bulan," ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir.
Honesti menambahkan produk BioSaliva memungkinkan pengetesan PCR tidak dilakukan melalui nasofaring dan hidung, tetapi melalui berkumur atau gargle yang membuat pengetesan lebih nyaman dibandingkan tes usap swab PCR/antigen.
Sementara itu, promosi pemanfaatan PCR kumur tersebut mulai beredar di sejumlah media sosial, salah satunya akun Instagram @gsilab.id.
Pemanfaatan alat tersebut dibanderol seharga Rp799 ribu per pengguna selama masa promosi berlangsung.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021