Terlambat karena kita terdiri dari kepulauan-kepulauan kecil
Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengemukakan pendekatan secara kualitatif lebih efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan.
"Realita sosial itu tidak semudah diangkakan. Masalah kemiskinan kalaupun angkanya sudah sedikit tidak akan semudah itu mengatasinya. Justru makin kecil angka kemiskinan, daya ungkitnya lebih kuat. Kalau dalam istilah ekonomi dibutuhkan Capital Output Ratio (COR) yang lebih besar," ujarnya saat memberikan kuliah umum kepada Peserta PPRA LXII dan PPSA XXII tahun 2021 Lemhannas melalui daring yang dipantau dari Jakarta, Rabu.
Muhadjir mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Berbagai stimulus bantuan sosial juga telah disalurkan untuk mencegah munculnya keluarga miskin baru di tengah pandemi COVID-19.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan tidak bisa dilihat hanya berdasarkan angka statistik. Akan tetapi, perlu tindakan nyata di lapangan untuk benar-benar mengetahui persoalan yang dihadapi.
Muhadjir mencontohkan di daerah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur membutuhkan COR yang lebih berat dibandingkan dengan daerah lain untuk bisa memperoleh hasil yang sama. Hal tersebut lantaran banyak sekali masalah yang harus diselesaikan.
Sama dengan masalah kemiskinan dan stunting, angka yang semakin berkurang merupakan indikator untuk lebih fokus memberikan perhatian dengan upaya-upaya yang lebih besar dalam mengatasinya, kata Muhadjir.
"Ibarat nasi, itu adalah sisa-sisa keraknya sehingga akan sulit dibersihkan. Itulah problem kita, terutama kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan di negara kita itu bukan hanya tentang kemiskinan kultural atau struktural, tapi juga ada kemiskinan spasial. Kemiskinan yang diakibatkan karena lokasi itu yang daya ungkitnya lebih sulit," katanya.
Baca juga: Menko PMK: Beras PKH untuk bantu warga saat pandemi COVID-19
Baca juga: Menko PMK: Akan ada perbaikan 20 juta nama dalam data terpadu
Kemiskinan kultural, katanya, bisa diatasi dengan perubahan perilaku, sedangkan kemiskinan struktural diatur dengan tindakan-tindakan yang bersifat struktural seperti mengubah Surat Keputusan (SK).
"Tapi yang spasial ini sulitnya bukan main karena kita terlambat dibandingkan negara-negara lain karena kita terdiri dari kepulauan-kepulauan kecil. Jadi kalau ada orang miskin meskipun hanya 50 di pulau terpencil itu akan lebih sulit dan membutuhkan COR lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah yang lebih mudah dijangkau," katanya.
Menurut Muhadjir, kebijakan yang ada saat ini belum benar-benar menyentuh atau selaras dengan realita yang ada di lapangan, di antaranya kebijakan yang hanya mengacu pada data kuantitatif.
"Pendekatan kualitatif meskipun mungkin tidak dapat menarik kesimpulan secara pasti, namun dengan melihat persoalan satu kasus secara mendalam akan mampu merepresentasi kasus-kasus lain yang mungkin terjadi di tempat lain," katanya.
Muhadjir mencontohkan, saat ini banyak rumah sakit yang mengeluhkan kekurangan oksigen. Dengan meninjau langsung salah satu lokasi produksi oksigen yang ada di Tanah Air, Menko PMK dapat menarik kesimpulan masalah yang dihadapi di lapangan serta melaporkan kepada presiden dan kemudian langsung dicarikan solusi.
"Tapi kalau pendekatannya kuantitatif kita tidak akan benar-benar tahu karena perhitungannya juga dari atas meja. Kalau hitungan kebutuhan oksigennya sekian dan ketersediaan sekian artinya cukup, padahal di lapangan kenyataannya orang-orang masih sangat kekurangan oksigen," katanya.
Baca juga: Menko PMK: PKH bansos paling efektif entaskan kemiskinan
Baca juga: Menko PMK: Penyaluran bansos paling lambat pekan kedua Juli 2021
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021