Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi menyebut mereka dengan kecenderungan mudah cemas sehingga terbiasa untuk mengambil keputusan secara emosional punya probabilitas melakukan pembelian yang impulsif atau panic buying.

"Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan secara emosional, akhirnya otak emosional dia bekerja sehingga sangat cepat, tidak punya pertimbangan matang, sangat impulsif, sehingga saat melihat orang lain (baik itu foto maupun video) belanja barang tertentu yang banyak dia mulai panik," ujar dia kepada ANTARA, Selasa.

Tanpa sadar, pikiran emosionalnya yang mengambil keputusan sehingga dia bersikap impulsif membeli barang-barang yang menurut dia dibutuhkan.

Baca juga: Menuju keadaan darurat, Jepang ingatkan warganya tidak memborong

Baca juga: FAO sebut "panic buying", karantina wilayah bisa picu inflasi pangan

Kegagalan orang berdamai dengan kondisi tak pasti juga bisa menyebabkan kecemasan dan berujung panic buying. Pada keadaan cemas, orang akan lebih mudah menyerap hal-hal yang sifatnya negatif. Mengapa? Awalnya dia sangat takut untuk mengalami hal negatif, tetapi karena dia berpikir irasional, akhirnya malah mengikuti hal negatif.

Orang itu sudah merasa frustasi, semakin merasakan ketidakpastian di masa depan, sehingga ambang stresnya menjadi lebih rendah. Dia juga tidak lagi toleran dengan sekitarnya dan tak jarang mengalami gangguan kecemasan. Akibatnya, dia bisa sangat mengkhawatirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terlalu dipikirkan.

Pada mereka yang mudah cemas, ada kecenderungan mengalami kecemasan yang sifatnya antisipatif. Dia berusaha preventif agar tidak mengalami hal buruk dan berusaha mengendalikan situasi agar sesuai dengan ekspektasinya.

Sisi buruknya untuk orang lain, panic buying bisa menular. Pada kondisi seseorang yang sangat takut, kemudian melihat orang baik itu secara langsung ataupun melalui media foto dan video melakukan hal tertentu, dia bisa sangat emosional mempersepsikan hal tersebut, lalu ikut takut.

Akhirnya, karena otaknya lebih mengutamakan sisi emosional dibanding logis dan dia membeli banyak barang yang bisa saja bukan kebutuhan utama dia.

Orang memborong susu steril bergambar beruang, sehingga produknya menjadi langka dan dibanderol dengan harga lebih mahal dari biasanya, kelangkaan tabung oksigen dan vitamin-vitamin untuk meningkatkan imunitas tubuh menjadi contoh nyatanya.

"Orang yang panik begini irasional, tidak masuk akal. Tetapi semakin dia menunjukkan aksi panic buying itu, membuat orang di sekitarnya jadi ikut terbawa merasakan kepanikan itu," kata Tala.

Di sisi lain, kondisi mentalitas kelompok atau lingkungan juga bisa menjadi penyebab orang panic buying. Orang bisa menafsirkan sebuah kondisi berbahaya, menakutkan, mengkhawatirkan, penuh ketidakpastian dari reaksi orang di sekelilingnya.

"Otomatis dia jadi ikut seperti orang yang dia lihat," ujar Tala.

Media ikut berperan

Informasi yang beredar di media, termasuk media sosial mempengaruhi terjadinya panic buying.

Tala menganalisis, beredar video susu beruang diborong orang salah satunya karena informasi susu itu bisa menyembuhkan COVID-19 viral. Orang yang dalam kondisi cemas kemudian melihat informasi tersebut secara otomatis terpengaruhi sehingga dia bersikap impulsif.

"Dorongan impulsif ini pada dasarnya karena dorongan emosional yang membuat dia ikut membeli atau memborong susu beruang ini, padahal sebelumnya dia bahkan enggak suka. Media sosial ini sangat besar pengaruhnya, karena kita bisa mengakses banyak informasi di situ mau yang valid atau tidak," kata Tala.

Sementara pada kasus tabung oksigen yang langka, Tala mencontohkan, adanya informasi yang menganjurkan orang-orang menyediakan tabung oksigen portabel di rumahnya, mendorong orang membeli produk itu.

"Di satu sisi bagus untuk preventif. Tetapi di sisi lain, sekarang jadi habis-habisan. Kalaupun ada barangnya, harganya sudah enggak masuk akal. Sama hal seperti gelombang pertama kemarin, desinfektan, masker dan hand sanitizer menjadi barang langka. Sekalinya ada harganya tidak masuk akal," tutur dia.

Agar hal serupa ini tak terjadi lagi, Tala menyarankan orang yang cenderung mudah cemas melakukan diet media sosial untuk menjaga kewarasan mental sekaligus fisiknya. Saat seseorang terbiasa cemas, panik, maka ini bisa menganggu fisiknya, mulai dari kualitas tidur terganggu, pikiran jadi lebih rumit, interaksi dengan orang lain menjadi lebih buruk dan suasana hati memburuk.

"Coba diet media sosial karena pengaruhnya besar sekalli. Apalagi sekarang tidak hanya media sosial, kita melihat televisi saja isinya berita hal sama," demikian pesan Tala.

Baca juga: Panic buying setelah setahun lebih pandemi COVID-19, apa sebabnya?

Baca juga: Dirut Pertamina: Masyarakat tidak perlu "panic buying," stok BBM aman

Baca juga: Pengamat: Jaga distribusi barang agar tidak terjadi "panic buying"

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021