Purwokerto (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai rumusan Pasal 235 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mempertegas ancaman pidana penghinaan lambang/bendera negara.

"Kalau (penghinaan) terhadap lambang-lambang atau bendera negara, saya sepakat itu dimasukkan dalam RUU KUHP. Jadi semua yang dirumuskan dalam RUU KUHP itu untuk menunjukkan bahwa yang namanya lambang atau bendera negara harus dihormati dan ditempatkan pada tempat yang benar," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Ia mengakui ancaman pidana penghinaan lambang/bendera negara sebenarnya telah masuk dalam KUHP yang masih berlaku saat ini meskipun tidak dijelaskan secara rinci bentuk penghinaannya.

Pemerintah selanjutnya membentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standarisasi, dan ketertiban di dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Oleh karena itu, Hibnu sepakat jika ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan bendera atau lambang negara juga diatur dalam RUU KUHP.

Baca juga: Pakar: Pasang bendera ketika bangun rumah jangan dipidana
Baca juga: Pakar: Mengibarkan bendera kusam tak perlu diatur dalam RUU KUHP
Baca juga: Eva: Pasal penodaan bendera negara jangan sumbat nasionalisme seniman

Dalam hal ini, Pasal 234 RUU KUHP menyebutkan, "Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."

Sementara dalam Pasal 235 RUU KUHP disebutkan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II bagi setiap orang yang; a. memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; b. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apapun pada bendera negara; atau d. memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara."

"Jangan sampai lambang-lambang negara mendapatkan tempat yang kurang baik, yang cenderung ada suatu pelecehan, ada suatu penghinaan, dan sebagainya. Makanya pasal itu untuk mempertegas itu (ancaman pidana terhadap penodaan/penghinaan bendera negara)," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.

Disinggung mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 235 huruf b RUU KUHP, dia mengatakan suatu perbuatan pidana itu ada niatan untuk melanggar hukum.

Dengan demikian, kata dia, tidak masalah jika perbuatan mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam itu dilakukan tanpa adanya niatan untuk melanggar hukum.

"Itu harus dipahami dalam teori ilmu hukum. Dalam arti kesengajaan, bendera sudah robek, kusut, kusam, atau luntur itu penghinaan. Tetapi kalau yang tidak tahu (adanya ancaman pidana), ya teori hukumnya tidak kena karena ketidaktahuannya kok," katanya.

Ia mengatakan, untuk mengetahui apakah seseorang tahu atau tidak tahu tentang tindak pidana tersebut bisa diketahui dalam tataran pembuktian.

"Itu (Pasal 235 Huruf b RUU KUHP) betul bisa dipakai sepanjang ada suatu niatan sebagai bentuk penghinaan lambang/bendera negara. Jadi, teori kesadaran harus tahu, sadar bahwa itu kusut, ya enggak usah dinaikkan," katanya.

Menurut dia, hal itu juga berlaku terhadap bendera negara-negara sahabat. "Kita juga harus hormati negara-negara sahabat," katanya menegaskan.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021