Sekarang kita hidup pada masa yang jauh dari Nabi dan para sahabat, meski agama yang kita anut sama, yakni Islam. Pilar-pilarnya juga sama tetapi nilai pemaknaannya yang sangat berbeda.
Esensi keberagamaan untuk menjunjung tinggi martabat dan kemerdekaan manusia telah dipahami keliru dan melenceng dari yang seharusnya. Tragedi kemanusiaan entah karena kelaparan, karena tindak kekerasan dan kebrutalan, bahkan gara-gara berebut sembako dan uang sedekah menjadi pemandangan memilukan sekaligus memalukan.
Itu semua adalah bukti bahwa keberagamaan kita telah kehilangan esensinya. Ini juga yang menjadi sebab mengapa umat Islam di mana pun gagal menjadi umat terbaik, "khairu umat" yang bermartabat.
Dalam konteks kita ber-idul fitri yang berarti kembali menjadi orang-orang bersih dan suci lewat latihan beribadah satu bulan penuh, kita dituntut memiliki kasalehan ritual maupun kesalehan sosial.
Kesalehan ritual bisa dilakukan dengan pembudayaan shalat berjamaah, yang merupakan gerakan memperkokoh tali silaturrahim. Sedangkan kesalehan sosial bisa melalui jendela-jendela yang diajarkan Islam untuk mendidik umat mengembangkan kepedulian sosial lebih tinggi sehingga kesenjangan sosial ekonomi bisa diatasi.
Orang-orang di luar Islam yang mengagumi kebesaran kitab suci Alquran seringkali merasa aneh terhadap sikap umat Islam, mengapa di masjid sering hilang motor, telepon genggam, laptop, bahkan sandal. Padahal masjid itu tempat suci. Mengapa juga umat Islam malas, padahal banyak ayat mengecam siapa saja yang mengabaikan waktu.
Tolong menolong memang dianjurkan Islam sebagai wujud solidaritas, tetapi apa yang terjadi? Sedekah kita seringkali menjatuhkan martabat manusia bahkan mengorbankan kehormatan Muslim saat pembagian kupon sembako gratis tidak dikelola secara baik. Apalagi sembako yang dibagikan oleh penganut agama lain, sungguh menjadi pemandangan ironis betapa lemahnya kehormatan umat.
Ingat Nabi segera bertindak saat seorang pemuda datang meminta uluran tangan. Nabi tidak membiarkan ada umatnya menengadahkan tangan sebab itu bukan gambaran masyarakat berbudaya dan terhormat.
Satu satunya barang milik pemuda itu dilelang agar bisa membeli kapak jelek yang diperbaiki sendiri oleh tangan nabi. Kapak inilah yang akhirnya menyelamatkan sang pemuda dari kehinaan yakni menempatkan tangannya di bawah.
Nabi juga mengingatkan bahwa yang termasuk manusia termulia adalah orang-orang susah yang tidak mempertontonkan kesusahannya. Kemuliaan serupa tentu dimiliki orang berada yang tidak memamerkan keberadaannya, meskipun melalui jalan kebaikan seperti atas nama membagikan zakat atau yang sejenisnya.
Lihat pula bagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab ketika malam-malam ia datangi sendiri secara diam-diam rumah para warga yang kesusahan. Ia kirimkan langsung apa yang menjadi haknya para kaum lemah.
Umar menjaga martabat mereka hingga tidak perlu menghinakan diri menjadi tangannya di bawah, karena hal ini akan merusak jati diri dan perasaan yang bersangkutan dan merusak pemandangan umum apalagi disorot televisi.
Aneh yang terjadi di masyarakat kita justru menjadi tontonan harian. Di mana letak kesuksesan pengendalian diri dalam hubungan kemanusiaan. Fenomena-fenomena ini rasanya telah menjadi bukti bahwa ada yang salah dalam pembelajaran agama selama ini. Sehingga terasa ada jarak antara gagasan ideal Islam dengan realitas kehidupan nyata.
Apa yang salah dari pola pembinaan dan perawatan sikap beragama kita? Seolah bangsa Indonesia tercinta ini makin terjauh dari petunjuk Alquran, meskipun di sana-sini keramaian tempat-tempat ibadah makin marak. Tetapi itu hanya seremonial belum yang esensial.
Sesuai hakikat idul fitri sebagai hari kembalinya kesadaran manusia pada fitrah kemanusiaannya, fitrah kemanusiaan kita adalah beriman bertauhid. Tauhid tidak hanya dipahami esanya Tuhan. Tauhid juga berarti satunya kehidupan dunia dan akhirat, satunya kehidupan manusia tanpa membedakan suku, ras agama maupun adat dan bahasa.
Rasullah bersabda, "Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, pasti makhluk yang ada di langit akan menyayangimu."
Ibadah puasa yang akan kita selesaikan nanti ditutup dengan kewajiban membayar zakat fitrah yang harus dibayar sebelum shalat Id. Ini mengandung sebuah tata krama dan etika bahwa kita harus mendahulukan hak kaum lemah, sebelum berdzikir kepada Allah.
Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam surat al-Ala ayat 14-15, "Qad aflaha man tazakka wa dzakarasma rabbihi fa shalla." Artinya : Sungguh berbahagia orang yang telah membersihkan diri dengan membayar zakat, lalu menyebut nama Tuhannya, dan kemudian mengerjakan shalat.
Ajaran tersebut sangat jelas menekankan pentingnya ketertiban hidup baik tertib ritual maupun tertib sosial. Melalui hidup tertib itu kenyamanan, keamanan dan kedamaian akan terwujud dengan mudah. Maka Id bagi orang berpuasa harus makin memantapkan kita meneladani sifat-sifat Allah dan nabi yang Agung.
Nabi tampil sebagai advokasi kaum lemah, tampil dengan kelembutan bukan hanya terhadap manusia tetapi juga terhadap binatang dan benda-benda mati. Oleh karena itu rangkaian Id, harus dilanjutkan dengan silaturrahim yaitu kesediaan memberi dan meminta maaf, sehingga tali persaudaraan yang renggang kembali menguat dan kokoh.
*) Ketua Program Pascasarjana Pemikiran Agama pada Universitas Islam Jakarta.
(A008/T010)
Pewarta: Prof Dr Aziz Fachrurrozi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010