Istilah kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship mungkin masih terbatas diperbincangkan. Tapi, manfaatnya sudah bisa dirasakan dan keberadaannya sudah kasat mata.
Mungkin anda pernah mendengar mengenai Mohammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang melayani kaum miskin dalam bantuan modal usaha di Bangladesh sana. Peraih Nobel Perdamaian 2006 ini berhasil menyalurkan kredit mikro kepada sekitar delapan juta nasabah warga miskin di 80 ribu desa.
Kesuksesan ini telah meruntuhkan keangkeran lembaga perbankan selama ini, yang biasanya sangat curiga sebelum menyalurkan modal kepada masyarakat. Mau mengajukan pinjaman, terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi, soal gajilah, soal asetlah, ini-itu dan tetek-bengek lainnya. Jadi, lembaga perbankan formal itu, belum-belum sudah beranggapan nasabah takkan bisa mengembalikan pinjamannya.
Tapi Yunus tidak. Ia memulainya dengan kepercayaan. Bahkan, Yunus melalui Grameen Bank-nya yang menghampiri masyarakat untuk menggulirkan modal usaha. Dan ternyata, dia berhasil. Memecahkan masalah kemiskinan di Bangladesh dengan mendorong masyarakat miskin untuk mewujudkan kemandiriannya.
Saya jadi teringat perkataan Erie Sudewo, pemenang Social Enterpreneur of The Year 2009 dari Ernst & Young bahwa upaya mengatasi seribu keluarga miskin, berarti telah menumbuhkan seribu kekuatan baru, itulah kekuatan sesungguhnya suatu bangsa. Bisa dibayangkan, berapa kekeuatan yang bisa dibangun di negeri ini?
Apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang sukses sebagai seorang wirausaha sosial? Prinsipnya memang, seorang wirausaha sosial tidak puas hanya memberi “ikan” atau “kail” semata dalam usaha perbaikannya. Tidak juga puas setelah mengajarkan masyarakat bagaimana cara “memancing ikan” yang baik dan benar. Tidak itu saja. Tetapi, Ia akan terus memantau, sampai “industri perikanan” mengalami kemajuan dan perbaikan. Luar biasa bukan?
Karena itu, menjadi seorang wirausaha sosial, memang harus mampu mengenali kemandegan dalam kehidupan masyarakatnya. Selalu saja ada kemandegan; kemiskinan, pengangguran, penyakit atau kebodohan.
Setelah itu, ia harus berinisiatif dan menyediakan jalan keluar atas kemandegan itu. caranya, jeli melihat peluang untuk dijadikan solusi, mampu memetakan masalah, mencarikan solusi, lalu menyosialisasikan jalan keluarnya dan meyakinkan seluruh lapisan masyarakat untuk berani melakukan perubahan.
Gregory Dees, seorang profesor di Stanford University dan pakar di bidang kewirausahaan sosial pernah mengatakan bahwa kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat luar biasa dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Intinya, memang tak melulu duit. Tetapi dampak perubahan yang diharapkan dari bisnis yang dilakukan untuk perbaikan umat.
Dari kasus perubahan yang dilakukan Yunus Grameen Bank-nya, kita bisa melihat dampak besar yang dilakukan seorang wirausaha sosial. Di Indonesia, hal serupa juga telah dilakukan oleh lembaga amil zakat, seperti Dompet Dhuafa, dalam program pemberdayaannya. Tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, kewirausahaan sosial juga lintas-bidang: pendidikan, bahkan kesehatan masyarakat.
Ada dua garis yang bersinggungan dan kemudian bisa melahirkan perubahan besar bagi umat. Yakni antara kewirausahaan sosial dengan dasyatnya manfaat zakat. Berbagai persoalan keumatan yang besar, sebagaimana yang disebut kemandegan, sudah jelas terbentang.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk berzakat kian membaik. Sementara lembaga amil zakat dan elemen masyarakat lainnya sudah dan akan terus menelurkan program pemberdayaannya.
Bila potensi zakat dikawinkan dengan gigihnya seorang wirausaha sosial, lalu, apa lagi yang ditunggu? (***)
*)Tim Penulis Dompet Dhuafa
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010