Organisasi-organisasi nirlaba termasuk social enterprise adalah organisasi yang tengah berjuang mencapai tujuan-tujuan idealisme sosial dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, dalam merekrut personil sudah seharusnya mengedepankan personil yang memiliki jiwa pejuang, rela berkorban dan memiliki spirit perjuangan.
Hal ini sangat diperlukan terutama pada fase-fase awal saat sebuah organisasi baru merangkak dan belum terlihat mapan, saat organisasi masih memiliki keterbatasan baik sarana prasarana maupun fasilitas lainnya.
Dengan berpedoman pada pola perekrutan yang demikian, maka orang-orang yang bisa bertahan lama di organisasi tersebut adalah orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi dengan keterlibatan serius dalam mengembangkan organisasi itu. Tidak hanya semata-mata mencari penghasilan, melainkan lebih dari itu.
Keterlibatan orang tersebut dipahami sebagai bagian dari jalan perjuangan yang harus ditempuh dalam mencapai idealisme, termasuk berkontribusi dalam kehidupan secara luas. Hal seperti inilah yang harus menjadi prioritas.
Untuk mendapatkan personil yang memiliki sifat semacam itu memang tidak mudah, tetapi paling tidak bisa melakukan identifikasi dengan merekrut orang-orang yang memiliki latar belakang organisasi, para pegiat kepeminatan sosial pada masa sekolah maupun kuliah.
Orang-orang semacam itu sudah terbiasa bersentuhan dengan masyarakat serta memiliki idealisme perjuangan yang tinggi. Setidaknya mereka memiliki kesamaan frekwensi dan karakter dengan organisasi social enterprise.
Kendati demikian, perlu juga diingat bahwa organisasi juga tidak bisa hanya mengandalkan orang-orang yang memiliki idealisme an sich. Ketika organisasi mengalami fase berikutnya, maka idealisme tersebut harus diikuti dengan kemampuan orang-orang yang memiliki keterampilan atau skill spesifik.
Kelompok kedua ini sudah mulai bergerak dalam ranah profesional. Artinya dia akan menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan objektif dengan standar profesionalitas yang dimilikinya.
Meskipun jumlah mereka minoritas tetapi eksistesi mereka sangat diperlukan tatkala organisasi hendak menggapai kemajuan dan tumbuh menjadi besar. Merekalah yang akan menjalankan sistem baku sebagai organisasi modern nantinya.
Baik kelompok idealis dan kelompok profesional, keduanya harus berjalan padu. Jangan sampai salah satu kelompok mendominasi lainnya. Sehingga jalan organisasi akan mengalami ketimpangan.
Jika hanya didominasi para aktivis idealis, maka dia hanya akan bergerak pada wilayah gerakan tanpa bisa menciptakan panduan sistem yang baku secara terukur. Sebaliknya, jika hanya dimonopoli oleh kelompok profesional saja, maka organisasi menjadi tidak memiliki ruh. Mereka hanya akan melakukan pekerjaan yang dibebankan tanpa memiliki visi dan kerangka capaian-capaian yang besar.
Tentu saja, organisasi akan sangat beruntung, jika memiliki personil yang memiliki jiwa idealisme besar sekaligus kemampuan profesional yang tinggi. Kombinasi keunggulan dua sisi yang berbeda ini, manakala melekat pada setiap personil pengelola organisasi akan menjadi sebuah kekuatan luar biasa.
Tugas para pemimpin adalah mencetak manusia-manusia yang memiliki kekuatan pada kedua sisi tersebut.
Perjalanan kehidupan seorang manusia harus dilihat sebagai proses panjang. Sekurang-kurangnya selama masa usia produktif atau dengan batasan sederhana adalah sampai masa pensiun. Inilah yang biasanya dijadikan pertimbangan di dunia bisnis / perusahaan. Namun hal itu, sepertinya tidak berlaku dalam dunia social enterprice.
Dalam organisasi social enterprise pemahaman seperti itu harus dikikis. Karena hubungan personil dengan organisasinya bisa menembus dan melewati batasan konvensional di atas.
Jika di dunia bisnis, mereka yang sudah pensiun sudah tidak ada lagi ikatan dengan perusahaannya, tidak demikian dengan di organisasi social enterprice. Mereka yang sudah pensiun akan terus menjadi agen meskipun secara formal tak lagi memiliki kaitan.
Dari pemikiran seperti itu maka organisasi harus menyiapkan jalur masa depan bagi orang-orang tersebut melalui pengembangan-pengembangan diri sehingga bisa menempati level-level yang lebih tinggi lagi dengan cara menyediakan organisasi-organisasi baru sehingga mereka selalu merasa tertantang.
Jadi, pengembangan sebuah organisasi social enterprise bukan saja berbentuk vertikal tetapi juga horizontal. Kalau perlu mereka didorong menempati pos-pos di luar organisasi untuk kepentingan publik yang lebih luas dalam berbagai aspek. Sehingga bisa memiliki kiprah besar. Semua itu harus disiapkan dengan serius, tidak bisa dibiarkan seperti air mengalir saja.
Inilah yang menjadi perhatian di Dompet Dhuafa. Di Dompet Dhuafa, praktik seperti itu coba dikembangkan. Caranya adalah dengan membuat lembaga atau perusahaan baru. Lembaga atau perusahaan ini dipimpin oleh personil yang sudah memiliki kiprah di level middle atau top leader.
Mereka ditempatkan pada unit-unit baru yang dimiliki DD, seperti Lembaga Pengembangan Insani, DD Travel, LKC, Institut Kemandirian, DD Consulting, dan lainnya. Kalau itu belum cukup, masih ada jalan lain yang bisa digunakan untuk mengatasinya, yaitu dengan cara mendorong mereka menjadi pengamat, pakar, konsultan, tokoh publik atau menempati posisi strategis di masyarakat. (***)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010