Sementara (QS. 23 : 19) untuk mengkonsumsi makanan nabati, (QS. 23 : 21) mengkonsumsi daging hewan ternak berikut air susunya, sedangkan ( QS. 16 : 69) memerintahkan mengkonsumsi madu sebagai pengobatan.
Makanan yang seimbang artinya sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak terlalu berlebihan (tabdzir) atau berkekurangan, tidak melampaui batas yang wajar.
Firman Allah SWT Al ‘Araaf : 31 “Hai anak Adam, pakailah-pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berlebihan”.
Ayat ini memerintahkan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman secara seimbang. Perintah ini, juga dijelaskan oleh sabda Nabi, yang menganjurkan hendaknya manusia mengkonsumsi makanan dan minuman sesuai kebutuhan.
Aman artinya tidak menyebabkan penyakit, dengan kata lain aman secara duniawi dan ukhrawi. Keamanan pangan (food safety) ini secara implisit dinyatakan dalam Al Maidah : 88 “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”.
Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan dalam konteks ketakwaan dan merangkaikan perintah konsumsi makanan dengan perintah takwa.
Rangkaian yang mengharuskan manusia untuk tetap dalam koridor ketakwaan pada saat menjalankan perintah konsumsi makanan. Supaya manusia berupaya menghindari makanan yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman.
Siksaan yang dialami manusia merupakan balasan terhadap pelanggarannya pada hukum-hukum Allah SWT.
Siksaan Allah di akhirat kelak dikarenakan keingkaran manusia terhadap hukum – hukum syari’at. Sedangkan siksaan Allah SWT di dunia diakibatkan oleh pelanggaran manusia terhadap hukum-hukum Allah yang berlaku di alam ini.
Bahwa pangan termasuk, hukum-hukum Tuhan di dunia ini, misalnya, ditunjukkan oleh “siapa yang mengkonsumsi makanan yang mengandung penyakit atau kotor, maka yang bersangkutan akan menderita sakit”. Penyakit dalam hal ini merupakan siksaan Allah SWT di dunia.
Perintah bertakwa dalam ayat di atas mengharuskan manusia agar hanya memproduksi dan atau mengkonsumsi makanan yang tidak menimbulkan penyakit, atau yang dapat memberikan rasa aman duniawi dan ukhrawi.
Dalam kaitan ini, penggalan ayat 4, surat An Nisaa, mengingatkan agar manusia mengkonsumsi makanan dengan sedap lagi baik akibatnya. Sementara itu, dewasa ini kita menyaksikan semakin menggejalanya penyakit modern yang besar kemungkinan diakibatkan oleh ketidakamanan pangan, ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan pemenuhan, atau ketidakseimbangan komposisi gizi makanan.
Mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban sangat erat kaitannya dengan masalah iman dan takwa. Keterkaitan ini telah Allah SWT tegaskan dalam Al-Qur’an, surat Al – Maaidah, ayat 88.
Penggalan pertama ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban yang telah Allah SWT sediakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Sementara penggalan kedua dari ayat ini mengingatkan agar orang-orang beriman berhati-hati dan waspada dalam memilih makanan yang hendak dikonsumsinya, dan selalu berupaya meraih karunia Allah SWT pada saat mengkonsumsinya. Ayat di atas menekankan kecuali substansi materi makanan harus halalan thayyiban juga segi kehalalan dalam mendapatkannya.
Selanjutnya firman Allah SWT dalam (QS 2 : 172) menganjurkan manusia untuk mengkonsumsi makanan yang thayyib dan merealisasikan rasa syukur. Ayat ini menegaskan bahwa mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban merupakan implementasi rasa syukur manusia kepada Allah SWT.
Rasa syukur ini lahir dari dua hal, pertama, kesadaran untuk bersyukur kepada Allah SWT yang mengkaruniakan kemampuan psikis dan fisik sehingga manusia sanggup berusaha mendapatkan bahan pangan.
Kedua, kesadaran untuk bersyukur kepada Allah SWT yang telah menyediakan beraneka ragam bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan vital manusia agar tetap hidup di dunia ini.
Bila dihubungkan dengan (QS 2 : 173), yang mengharamkan konsumsi beberapa bahan pangan tertentu, maka makna halalan thayyiban dititik beratkan pada substansi materi atau dzat makanan itu sendiri.
Sementara itu, firman-Nya dalam (QS. 2 : 168) yang memerintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban diiringi dengan larangan-Nya mengikuti langkah – langkah syetan.
Karena itu, manusia harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pendekatan diri yang kontinyu ini disebut taqwa. Ayat itu, diperjelas oleh sabda Nabi Muhammad SAW, mengenai ditolaknya doa seseorang karena yang bersangkutan mengkonsumsi makanan yang haram.
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa kehalalan atau keharaman pangan berkaitan erat dengan keimanan. Penghalalan atau pengharaman merupakan hak prerogatif Allah SWT dan manusia harus menerimanya secara imani.
Begitu pula mengenai kemanfaatan atau kemudharatan makanan yang dihalalkan atau diharamkan. Konsekuensinya, penentuan status hukum halal – haram, atau syubhat, mesti mengacu kepada Al-Quran dan sunnah Rasul.
Berbeda dari halalan, aspek thayyiban sepatutnya melalui pertimbangan rasio dengan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui upaya seperti ini manusia dapat mengetahui dan membedakan antara makanan yang menguntungkan atau merugikan kesehatan jasmani dan ruhani.
Ini bisa saja bersifat khusus dan relatif, Misal karena mengidap suatu penyakit seseorang dilarang mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Bila sudah sembuh, yang bersangkutan diperbolehkan mengkonsumsi makanan tersebut.
(LPPOM MUI)
Artikel ini dipersembahkan oleh LPPOM MUI
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010