New York (ANTARA) - Para ahli penyakit menular menimbang perlunya vaksin booster (penguat) berbasis mRNA Pfizer/BioNTech atau Moderna untuk orang Amerika yang menerima vaksin satu dosis Johnson & Johnson karena meningkatnya prevalensi varian Delta yang lebih menular.
Beberapa ahli mengatakan mereka telah melakukannya sendiri, bahkan tanpa data yang dipublikasikan tentang apakah menggabungkan dua vaksin yang berbeda aman dan efektif atau mendapat dukungan dari regulator kesehatan AS. Kanada dan beberapa negara Eropa sudah mengizinkan orang untuk mendapatkan dua suntikan vaksin COVID-19 yang berbeda.
Perdebatan berpusat pada kekhawatiran tentang seberapa protektif suntikan J&J terhadap varian Delta yang pertama kali terdeteksi di India dan sekarang beredar luas di banyak negara. Delta, yang juga dikaitkan dengan penyakit yang lebih parah, dapat dengan cepat menjadi versi virus yang dominan di Amerika Serikat, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Rochelle Walensky telah memperingatkan.
Tidak ada data substansial yang menunjukkan seberapa protektif vaksin J&J terhadap varian baru. Namun, penelitian di Inggris menunjukkan bahwa dua dosis vaksin Pfizer/BioNTech atau AstraZeneca secara signifikan lebih protektif terhadap varian itu daripada satu dosis.
Andy Slavitt, mantan penasihat pandemi senior untuk Presiden AS Joe Biden, mengemukakan gagasan itu minggu ini di podcastnya. Setidaknya setengah lusin pakar penyakit menular terkemuka mengatakan regulator AS perlu mengatasi masalah ini dalam waktu singkat.
"Tidak ada keraguan bahwa orang yang menerima vaksin J&J kurang terlindungi dari penyakit," dibandingkan mereka yang mendapatkan dua dosis suntikan lainnya, kata profesor Stanford Dr. Michael Lin. "Dari prinsip mengambil langkah mudah untuk mencegah hasil yang sangat buruk, ini benar-benar tidak perlu dipikirkan."
CDC tidak merekomendasikan vaksin penguat itu, dan penasihat badan tersebut mengatakan pada pertemuan publik minggu ini belum ada bukti signifikan dari penurunan perlindungan dari vaksin.
Jason Gallagher, seorang ahli penyakit menular di Sekolah Farmasi Universitas Temple, baru-baru ini menerima dosis Pfizer di klinik vaksin Philadelphia di mana dia telah memberikan suntikan. Dia mendapat vaksin J&J dalam uji klinis pada November.
Gallagher mengatakan dia prihatin dengan data Inggris yang menunjukkan kemanjuran yang lebih rendah terhadap varian Delta untuk orang yang menerima satu dosis vaksin.
"Sementara situasinya menjadi jauh lebih baik di AS, varian Delta yang menyebar ... dan sangat cepat mengambil alih di AS terlihat sedikit lebih mengkhawatirkan dalam hal infeksi terobosan dengan vaksin dosis tunggal," katanya. . "Jadi saya mengambil risiko."
Kasus, rawat inap, dan kematian menurun drastis di Amerika Serikat dengan 56% populasi orang dewasa divaksin lengkap.
J&J mengatakan sedang menguji apakah respons imun dari vaksinnya mampu menetralkan varian Delta di laboratorium, tetapi belum ada data yang tersedia.
Kedua vaksin mRNA menunjukkan tingkat kemanjuran sekitar 95% dalam uji coba besar di AS, sementara vaksin J&J 66% efektif dalam mencegah COVID-19 sedang hingga berat secara global ketika varian yang lebih menular beredar.
Angela Rasmussen, seorang peneliti di Universitas Saskatchewan's Vaccine and Infectious Disease Organization, mengatakan di Twitter bahwa dia telah mendapatkan dosis vaksin Pfizer minggu ini setelah menerima J&J pada bulan April.
Rasmussen, yang menolak untuk diwawancarai, mendorong orang Amerika yang menerima vaksin J&J untuk berkonsultasi dengan dokter mereka tentang kemungkinan suntikan kedua.
"Jika Anda tinggal di komunitas dengan vaksinasi rendah secara keseluruhan, saya sarankan Anda sangat mempertimbangkan untuk melakukannya," cuitnya.
Pakar vaksin Dr. Peter Hotez dari Baylor College of Medicine dalam sebuah cuitan mengatakan menambahkan dosis J&J kedua atau salah satu vaksin mRNA mungkin memberikan perlindungan yang lebih luas, "tetapi kami membutuhkan data dan panduan CDC-FDA."
Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID) sedang menjalankan uji coba untuk menentukan perlunya meningkatkan semua suntikan yang saat ini diizinkan dengan dosis lain vaksin Moderna. Ilmuwan NIAID Dr. John Beigel mengatakan kepada Reuters bahwa badan tersebut berharap memiliki data itu pada September untuk membantu menginformasikan keputusan regulator tentang vaksin-vaksin penguat.
Selama jumlah kasus tetap rendah di Amerika Serikat, penerima J&J harus menunggu lebih banyak data, katanya.
Jika infeksi dan rawat inap yang didorong oleh varian Delta meningkat secara signifikan, katanya, "maka keputusan mungkin perlu dibuat dengan tidak adanya data. Tapi saat ini, saya pikir tepat bahwa mereka harus menunggu."
Sumber: Reuters
Baca juga: FDA AS tambah peringatan soal peradangan jantung pada Pfizer, Moderna
Baca juga: Anggota tim Uganda yang tiba di Tokyo membawa varian Delta
Baca juga: Antibodi dari vaksin COVID China kurang efektif melawan varian Delta
Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021