Frankfurt (ANTARA) - Para peneliti di Universitas Oxford pada Kamis (24/6) mengatakan telah mengembangkan sebuah metode untuk memprediksi kemanjuran vaksin COVID-19 baru berdasarkan tes darah, berpotensi membuka jalan pintas uji klinis besar-besaran yang semakin sulit dilakukan.
Para peneliti melihat konsentrasi berbagai antibodi penangkal virus dalam darah partisipan uji coba setelah mereka menerima vaksin yang dikembangkan oleh AstraZeneca dan Universitas Oxford, yang kini dikenal sebagai Vaxzevria.
Dengan melihat partisipan mana yang kemudian mengalami gejala COVID-19 dan yang tidak, para peneliti menemukan sebuah metode yang diharapkan akan memprediksi seberapa kuat vaksin lainnya, berdasarkan pembacaan darah itu.
"Data tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kemanjuran vaksin baru di mana uji coba kemanjuran yang lebih besar tidak dapat dilakukan," katanya dalam dokumen mereka, yang diunggah pada Kamis dan diajukan untuk tinjauan sejawat untuk publikasi selanjutnya dalam jurnal ilmiah.
Para peneliti Oxford memperingatkan bahwa lebih banyak tugas yang dibutuhkan untuk memvalidasi model mereka untuk banyak varian COVID-19 lebih menular yang mengkhawatirkan.
"Ada kebutuhan yang mendesak untuk menambah pasokan vaksin dunia, namun pengembangan dan persetujuan vaksin baru membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kami berharap bahwa pemanfaatan korelasi antara produsen dan regulator dapat mempercepat proses tersebut," kata Andrew Pollard, Direktur Grup Vaksin Oxford sekaligus investigator utama dalam Uji Coba Vaksin Oxford.
Para peneliti dan regulator di seluruh dunia sedang mengupayakan tolok ukur semacam itu, yang dikenal sebagai korelasi perlindungan atau titik akhir pengganti - yang memungkinkan penundaan dalam perlombaan pengembangan vaksin memberikan bukti kemanjuran tanpa harus melakukan uji coba dengan puluhan ribu partisipan.
Uji coba massal itu sejauh ini bergantung pada partisipan untuk tertular penyakit tersebut dalam kehidupan normal mereka guna memberi hasil kemanjuran vaksin. Hal itu menjadi sebuah tantangan yang lebih besar di mana cakupan vaksinasi sudah tinggi dan virusnya tidak menyebar luas.
Uji klinis tradisional juga mengharuskan banyak partisipan mendapatkan plasebo sebagai perbandingan terhadap mereka yang menerima vaksin eksperimental, sehingga memunculkan dilema etis di mana vaksin yang disetujui tersedia.
Baca juga: Universitas Oxford eksplorasi ivermectin sebagai pengobatan COVID
Baca juga: AstraZeneca-Oxford telah edarkan 400 juta dosis vaksin ke 165 negara
Sumber: Reuters
Penerjemah: Asri Mayang Sari
Editor: Suharto
Copyright © ANTARA 2021