Jakarta (ANTARA News) - Alam adalah pengayom, tempat manusia dilindungi, seperti ibu menaungi anaknya. Tapi alam telah begitu terdegradasi karena manusia tak memperlakukannya sebagai ibu, dari siapa manusia belajar mencinta. "Saya selalu mengatakan alam itu ibu," kata Jatna Supriatna.

Ketiadaan cinta membuat alam menimpakan bencana kepada manusia. Kata Jatna, "Karena kita tak bijak mengelola alam."

Jatna Supriatna adalah Perwakilan Conservation International Indonesia, pakar dan aktivis lingkungan yang kiprahnya mendapat tempat khusus dalam salah satu buku terlaris internasional "Hot, Flat, and Crowded" karangan kolumnis terkemuka New York Times, Thomas L. Friedman.

Akhir Februari lalu di kampus Universitas Indonesia, kepada Liberty Jemadu dari ANTARA News, doktor bioantropologi itu memaparkan bagaimana seharusnya manusia merayu alam untuk tak lagi menghukum manusia dengan bencana dahsyat.

Tanya
: Benarkah bencana itu karena ulah manusia, bukankah bencana-bencana seperti Longsor Ciwidey jelas-jelas karena alam?
Jatna : Kita tak pernah bijak. Kerawanan longsor di Jawa itu sangat tinggi. Gunung Halimun (di Ciwidey) adalah gunung yang kelongsorannya sangat tinggi, tapi orang cenderung tinggal di tempat-tempat yang tingkat kelongsorannya sangat tinggi. Tapi, coba lihat orang (Kampung) Naga atau orang Baduy. Mereka lebih bijaksana, tak membuat rumah di tempat yang kemungkinan longsornya tinggi. Mereka tidak berlebihan.

Jawab : Bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam?
Jatna : Kita semua memerlukan alam. Udara, air, sandang pangan, papan, disediakan oleh alam, tidak dari yang lain. Kita harus bisa mengelola alam dengan baik. Oleh karena itu saya selalu mengatakan alam sebagai ibu, "The mother of earth." Ia pengayom, sama seperti kita memperlakukan seorang ibu. Tetapi kalau kita menjadi panglima untuk alam, maka akan berbeda.

Tanya :
Bedanya di mana?
Jatna
: Panglima itu mengatur, begini, begitu. Masalahnya bagaimana kalau mengaturnya salah? Lain dari itu, kita cenderung "pemerintah sentris", bahwa yang mengelola alam harus pemerintah, padahal kan tidak.

Tanya
: Bagaimana persisnya posisi pemerintah?
Jatna : Kesalahan kerap berasal dari pembuat keputusan, karena ia sering reaktif dan kurang terencana. Di sisi lain, kita sering mengambil sesuatu dari alam secara berlebihan, serakah. Nah siapa yang bisa mengontrol keserakahan? Itulah fungsi government, mengotrol keserakahan.

Tanya : Jika pemerintah tak boleh mengambil semua peran, pihak lain mana yang mesti terlibat?
Jatna : Pemerintah adalah pembuat kebijakan, tapi jangan juga menjadi pelaksana. Tak semua kepemerintahan mesti diurusi pemerintah. Check and balance perlu. Siapa yang 'membalance? Di sinilah DPR berperan. Tapi kan kawasan konservasi itu luas sekali, mana mungkin cuma ditangani DPR? Untuk itu perlu ada civil society (masyarakat madani). Belanda misalnya, konservasi dikelola oleh publik karena terlalu berat. Di AS bahkan dibagi ke daerah. Kita belum, padahal publik harus segera dilibatkan.

Tanya : Bukankah upaya seperti itu sulit, karena di zaman kini semuanya harus melewati DPR?
Jatna : Yang namanya publik kan semua pihak. Ya parlemen, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Mengapa konservasi di luar negeri bertambah, sementara di Indonesia tidak? Karena kita sering tidak konseptual. Misalnya tiba-tiba mencanangkan kebijakan aneh seperti 'doubling oil pump', menanam kelapa sawit di hutan yang masih bagus. Bagaimana ini? Itulah karena regulator dan implementer menjadi satu. Masyarakat cuma disuruh menonton.

Tanya : Itukah yang membuat kita dituduh telah merusak hutan oleh negara-negara maju?
Jatna : Begini, saya kasih analogi, semua obat berasal dari alam. Semua diproduksi alam, lalu diproduksi lagi secara massal oleh ilmuwan. Kini kita kehilangan, karena kita sering meremehkan unsur-unsur alam itu dengan berkata 'ah itu kan tidak ada gunanya' padahal kita nanti memerlukannya. Sikap inilah yang menguntungkan negara maju.

Tanya : Maksudnya?
Jatna : Mereka mendapatkan obat-obatan berharga jutaan dolar, sementara negara yang mempunyai biodiversity" (keanekaragaman hayati) untuk obat itu tak mendapat apa-apa. Di Madagaskar misalnya, ada satu jenis tumbuhan yang diambil oleh satu perusahaan AS dan dipasarkan menjadi jutaan dolar, sementara Madagaskar tidak dapat apa-apa. Mereka yang mempunyai teknologi diuntungkan, sementara yang memiliki "biodeversity" terus disalahkan. Saya katakan ini kepada Thomas, "It's not fair" (Itu tidak adil).

Jatna Supriatna mengalami pencerahan pada 1970an, bahwa konservasi itu mempunyai keinginan luhur, dan harus lebih didekati, lebih dari sekedar meneliti dan kampus. "Science' itu penting, tapi ia harus beradapatasi dengan lingkungan di mana dia berada." Thomas L. Friedman menuliskan kecerdikan Jatna Supriatna dalam mengawal Taman Nasional Batang Gadis di mana pemerintah pusat memberikan izin penambangan emas di kawasan konservasi yang membuat Jatna jatuh takut bahwa izin itu memicu terdegradasinya kualitas alam. Jatna tak mengambil jalan frontal melawan pemerintah atau menantang pengusah, tetapi dia juga tak "membakar" masyarakat. Sebaliknya, Jatna mendekati ketiganya sekaligus, dengan meyakinkan mereka bahwa tak ada yang diuntungkan dari alam yang terdegradasi. "Bahasa yang dipakai oleh masyarakat akan berbeda dengan bahasa yang dipakai pejabat dan juga berbeda dari bahasa yang dipakai LSM," katanya. "Yang satu jangka pendek, yang satunya lagi jangka panjang."

Jatna : Misalnya, kita berada di daerah komunitas muslim pesantren, ya kita harus menyesuaikan dengan keperluan mereka, misal dalam soal wudhu. Mereka mempunyai 15 ribuan santri yang tiap hari bergantung kepada sungai. Kalau sungainya kotor karena terkena polusi tambang emas, bagaimana dengan santri-santri itu? Apakah mau menggali sumur? Santri itu maunya airnya mengalir, segar, dan dingin. Tetapi kalau airnya bau, bagaimana mereka bisa berwudhu? Dari situ, saya membangunkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya menurunnya kualitas alam.

Tanya : Kita masih harus menghadapi pengusaha, bagaimana kita menarik mereka untuk terlibat dalam konservasi?
Jatna : Mereka harus mempunyai kepedulian. Mereka mengekstrak dari alam, dan mereka harus mengembalikannya ke alam. Kalau semua mempunyai pemikiran seperti ini, maka alam tidak akan rusak seperti ini. (*)

pewawancara: liberty jemadu
editor : jafar sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010