Bagi kita, kaum yang beragama ini, mengaitkan bencana dengan Tuhan merupakan hal yang sangat wajar, sebagai ekspresi dari paradigma dan sikap religius kita. Dan ketika Ebiet G Ade berspekulasi “mungkin Tuhan mulai bosan”, maka itu maknanya, mengajak
Setiap kali bencana alam melanda, setiap kali pula lagu Ebiet G. Ade kita putar lagi. Ebiet, dalam lagunya itu, bencana dalam perspektif hubungan antara manusia dan Tuhan. Ketika bencana-bencana itu terjadi, Ebiet, antara lain bertanya “Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga akan dosa-dosa”.

Karena kita bangsa yang religius, apa yang disampaikan Ebiet itu cukup mengena. Bahwa setidaknya bencana itu membuat manusia dibikin merenung sejenak.

Memang, banyak tafsir atas bencana yang tengah menimpa saudara-saudara kita hari-hari ini, entah itu di sekitar Gunung Merapi, pulau-pulau di Kepulauan Mentawai, banjir bandang di Wasior dan yang lain.

Ada yang mengaitkannya dengan perilaku manusia, hubungannya dengan Tuhan, ada pula yang lebih cenderung memahaminya sebagai sebuah fakta ilmiah fenomena alam.

Memang, semua bencana alam itu dapat dijelaskan secara ilmiah, ada hukum alam (sunatullah) yang berlaku. Tetapi, tentu saja, sebagai orang yang percaya Tuhan (bukan atheis), kita yakin bahwa semuanya tak lepas dari tangan Tuhan.

***
Memang belakangan ini, kita, khususnya yang yakin akan peran Tuhan dalam membentangkan semesta, menggariskan nasib sekaligus mengabulkan doa manusia, sedang digemparkan oleh pendapat Stephen Hawking, Fisikawan Inggris yang tersohor itu.

Hawking yakin bahwa keberadaan manusia dan alam semesta bukan hasil ciptaan Tuhan, melainkan muncul dengan sendirinya. Sebab ada hukum gravitasi, alam semesta bisa menciptakan dirinya sendiri.

Ia menolak teori Isaac Newton yang menyatakan bahwa terciptanya alam semesta terbentuk tidak secara spontan namun digerakkan oleh Tuhan. Ia mengklaim tidak ada kekuatan ilahiyah yang dapat menjelaskan mengapa alam semesta ini terbentuk. Hal ini dapat Anda baca di buku terbarunya, The Grand Design.

Pendapat dalam buku barunya itu memang cukup mengejutkan, mengingat dalam buku sebelumnya, A Brief History of Time (1988), Hawking tidak menafikkan kemungkinan turut campurnya Tuhan dalam penciptan dunia.

“Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap, maka hal tersebut menjadi kemenangan nalar manusia. Oleh sebab itu, kita akan mengenal Tuhan,” catatnya dalam A Brief History of Time.

***
Saya tidak akan larut dalam pandangan Hawking. Perdebatan antara kaum agama versus atheis, sudah berlangsung lama dan kelihatannya akan terus terjadi. Agama, khususnya Islam, tidak menafikan ilmu pengetahuan itu jelas.

Bahkan Al Qur’an sendiri merupakan kitab yang di dalamnya terdapat banyak petunjuk agar kita menguasai ilmu pengetahuan. Terhadap hal-hal yang tak terjangkau pengetahuan, maka agama menyediakan versi pandangannya sendiri, yang wajib diyakini oleh pemeluknya. Kaum beriman adalah yang yakin akan kebenaran agamanya.

Tetapi, keimanan seseorang akan agamanya memang akan dihadapkan pada dinamika hidup yang penuh cobaan. Keimanan yang aktual adalah yang bekerja untuk kebaikan sesama, dalam konteks kemanusiaan, cerminannya adalah ke aktualisasi-aktualisasi ibadah sosial mereka.

Amal kebaikan adalah catatan baik dari aktualitas keimanan yang aktif-dinamis itu. Mestinya kita tak boleh egois, atas nama agama, atau ritual agama, tetapi meniadakan kesalehan sosial. Agama mestinya tak berhenti sebatas simbol-simbol. Agama harus dapat menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Menurut ajaran Islam segala tindakan kita ada korelasinya dengan niat. Maka, seyogyanya segenap hidup dan perilaku kita, kita niatkan untuk ibadah. Segala sikap dan tindakan, tidak semata-mata berdimensi dunia, tetapi juga berdimensi akhirat. Kalau kita berbuat baik sebesar biji sawi sekalipun, maka catatan amal kebaikan kita itu akan membantu kita di akhirat kelak.

***
Nah, pada saat bencana melanda saat ini, terbentang peluang lebar kita untuk membantu sesama. Kalau kita tidak sempat menjadi Tim SAR atau relawan dan bagian dari pihak-pihak yang aktif di lapangan, maka kita bisa menyisihkan dan menyumbangkan sesuatu secara tidak langsung. Berbagai suratkabar dan media televisi, mengumumkan nomor-nomor rekening bantuan bencana.

Bagi kita, kaum yang beragama ini, mengaitkan bencana dengan Tuhan merupakan hal yang sangat wajar, sebagai ekspresi dari paradigma dan sikap religius kita. Dan ketika Ebiet G Ade berspekulasi “mungkin Tuhan mulai bosan”, maka itu maknanya, mengajak kita introspeksi.

Marilah kita evaluasi hidup kita. Sekaligus, marilah kita berbuat sesuatu yang riil dalam membantu korban bencana. Marilah kita manfaatkan secara optimal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan. Marilah bersatu padu dalam solidaritas kemanusiaan –tanpa membedakan agama, suku, ras, golongan. Marilah kita dorong pemerintah dan pihak-pihak terkait mengefektifkan manajemen bencana.

Solidaritas kita perlukan dengan dilandasi niat yang tulus, sehingga yang menyebar dan membesar adalah energi positif kita sebagai individu-individu, sebagai masyarakat, sebagai bangsa, sebagai bagian nyata dari kemanusiaan universal, sebagai makhluk-makhluk Tuhan...

* M Alfan Alfian,  Dosen di Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010