Perang kurs memperlihatkan dilema besar dalam sistem keuangan global di mana dolar AS menjadi cadangan mata uang resmi dunia. Dilema itu adalah saat AS memakai referensi global ini sebagai instrumen domestiknya, maka perekonomian global terancam pera

Jakarta (ANTARA News) - Cermati "perang mata uang", maka Anda mungkin akan mendapati diri Anda terlalu naif mengklaim apresiasi rupiah sebagai indikator membaiknya perekonomian.

Mengapa begitu? Karena asumsi itu menapikan sisi lain bahwa keseimbangan perdagangan terancam akibat daya saing terpukul oleh rezim-rezim ekspor lain yang berlomba melemahkan kurs mata uangnya.

Saat ini kinerja ekspor Indonesia memang mengesankan. Agustus lalu ekspor naik 9,76 persen, sedangkan inflasi hanya 0,44 persen. Namun di tengah ekonomi global yang saling mempengaruhi tapi sedang dilanda perang kurs, kita memiliki alasan untuk tidak terlena.

Meminjam tesis editor The Weekly Standard, Irwin M. Stelzer, "perang kurs" dipicu oleh Amerika Serikat.

Menghadapi kampanye pemilihan presiden yang dimulai 3 November nanti, Barack Obama membutuhkan jualan politik baru untuk menarik simpati rakyat.

Pemerintahan ini menghadapi pengangguran yang meninggi dan sistem produksi domestik yang mandek. Obama lalu menawarkan program perluasan lapangan kerja dan memicu sektor produksi.

Federal Reserve kemudian mencetak banyak-banyak dolar AS. Akibatnya dolar melemah. Saat bersamaan, syarat masuk produk dan modal impor, khususnya China, diperketat.

Intinya, industri domestik diproteksi agar anteng berproduksi, sementara asing dipaksa berbagi insenfit bunga surat utang yang dipegangnya. Celakanya, formula itu mendorong negara lain meniru AS, demi mempertahankan daya saing.

Jepang mengintervensi pasar uang demi melemahkan yen. Singapura bergerilya lewat instrumen pajak. Brazil menggandakan pajak beli obligasi oleh asing, Thailand menarik 15 persen pajak kepada asing pembeli obligasi nasionalnya, sementara Korea Selatan melarang bank meminjam dalam mata uang asing.

Banyak negara merintih karena produk ekspornya tiba-tiba tak kompetitif lagi. Brazil tak tahan dan mengaum, "Kita berada di tengah perang mata uang. Daya saing kita tercampakkan," kata Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega.

Perang kurs memperlihatkan dilema besar dalam sistem keuangan global di mana dolar AS menjadi cadangan mata uang resmi dunia. Dilema itu adalah ketika AS memakai referensi global ini sebagai instrumen domestiknya, maka perekonomian global terancam perang harga besar-besaran.

Hubungan antarnegara pun bisa rusak. Lihat saja Jepang dan China yang bersitegang karena dipicu saling banting harga di pasar ekspor. Jepang juga menyemprot Korea Selatan karena produk-produk ekspornya kalah laku setelah Korea terus melemahkan mata uangnya.

Indonesia bisa saja merintih jika Malaysia dan Singapura mengenakan syarat-syarat lebih ketat terhadap produk dan jasa Indonesia ke sana.

Mungkin saja instrumen pajak terhadap modal masuk diberlakukan pula pada Indonesia. Itu artinya, para pengusaha Indonesia yang memarkir modal di sana tertekan, lalu mengkompensasikan tekanan itu kembali ke Indonesia.

Bisa juga kondisi-kondisi kerja ideal bagi TKI diubah atau berbuat aneh-aneh terhadap produk Indonesia seperti Taiwan terhadap Indomie. Saat itu terjadi, maka hubungan politik pun terganggu.

Inilah tesis yang salah satunya diajukan ekonom China Li Xiangyang, "Jika negara yang mengadopsi kebijakan nilai tukar (ala AS) kian banyak, maka kepentingan antarnegara akan saling bertabrakan."

Uang Panas

Perang kurs awalnya dengan mendevaluasi mata uang, lalu meminta mitra dagang menaikkan nilai produk dagangnya. Setelah itu, tarif impor dikenakan suatu negara guna melindungi industri kuncinya. Dengan cara seperti ini permintaan domestik kepada produk-produk hasil dalam negeri meningkat.

Masalahnya, saat itu terjadi, barang dan jasa ekspor satu negara hancur karena negara tujuan ekspor memutuskan membuat sendiri produk itu.

Misalnya, Anda mengekspor sepatu ke AS, tapi AS kini memproduksi sendiri sepatu. Anda terpukul kan? Inilah yang membuat China meradang.

Lalu, buah terpahit dari perang kurs adalah banjirnya "uang panas" ke sistem perekonomian yang dianggap menguntungkan dalam jangka pendek.

Banjir uang panas terjadi karena sekarang siapapun bisa memegang dolar karena harganya murah, sementara sejumlah negara seperti AS menjadi pelit memberi insentif. Akhirnya pemodal jangka pendek ini mencari pelabuhan-pelabuhan modal yang dianggapnya menarik.

Investor "uang panas" hanya datang sementara dan melulu memperdagangkan risiko. Tahun ini Anda mungkin dianggap aman, tapi tahun depan anggapan bisa berubah. Bukan karena Anda menjadi tak aman, tapi karena tempat lain menawarkan insentif lebih besar.

Saat itu terjadi, maka modal masuk segera berubah menjadi capital outflow. Ini tak akan apa-apa jika jumlahnya jutaan dolar.

Tapi, mengutip Institute of International Finance, uang panas yang gencar memburu negara-negara berkembang seperti Indonesia ini jumlahnya fantastis, 825 miliar dolar AS! Ini hampir sepuluh kali cadangan devisa RI pada September 2010 sebesar 86,2 miliar dolar AS.

Yang mengerikan adalah, dari pengalaman krisis moneter 1997, modal masuk yang datang tiba-tiba, akan keluar tiba-tiba dalam jumlah sama besarnya.

Dalam editorialnya berjudul "The Next Bubble", International Herald Tribune mengingatkan bahwa Wall Street sedang membidik aset-aset negara-negara berkembang. Oleh karena itu negara berkembang harus awas mencermatinya.

Capital inflow yang mengalir masif ini membuat negara penerima modal kelebihan uang, lalu harga barang tertekan, gelembung-gelembung aset tercipta, harga properti dan saham merangsek.

Mengapa disebut gelembung aset? Karena uang yang masuk kantong Anda, bukan karena Anda telah bekerja, tapi dari pinjaman berente yang setiap waktu ditarik dari Anda. Kantong Anda terlihat penuh, padahal isinya utang.

Bahayanya, mengutip China Post, gelembung-gelembung aset ini cepat atau lambat bakal meledak, untuk kemudian menciptakan bencana.

Distribusi asset
Kecenderungan di atas memesankan hal lain bahwa statistik ekonomi harus dibaca kritis agar tidak mengaburkan realitas ekonomi nasional sebenarnya.

Kita tak boleh lengah hanya karena performa indeks yang terus menanjak, karena fundamental ekonomi juga harus dilihat utuh. Bahkan, IMF mengingatkan Asia mengenai bahaya inflasi dan penggunaan uang panas untuk proyek-proyek domestik.

Yang juga mesti dicermati adalah konsentrasi ekonomi Indonesia sekarang di mana, mengutip Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, 56 persen aset nasional dikuasai oleh hanya 6,2 persen penduduk Indonesia.

Jika banyak dari 6,2 persen penduduk Indonesia itu ternyata tergantung pada "uang panas" (belakangan ini sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia yang fundamentalnya tidak terlalu bagus mengalami pembiakan harga yang intensif), maka saat bubble meletus, magnitudo ledakannya merusak 56 persen aset nasional.

Jika 56 persen rusak, maka 44 persen lainnya terganggu.

Semoga skenario itu tak terjadi. Tapi jika Anda menjadi tergantung pada uang panas itu atau tak henti mengiimpor karena lebih murah, maka skenario itu mungkin saja terjadi. Krisis moneter 1997 terjadi karena lengah seperti ini.

Saat ini mengimpor memang lebih realistis. Taruhlah impor beras dan tekstil. Anda mungkin lebih suka mengimpor beras dari Thailand dan tekstil dari China karena harganya lebih rendah dibandingkan harga domestik.

Anda untung, tapi saat bersamaan para petani dan perajin tekstil dalam negeri gulung tikar untuk kemudian menganggur.

Anda boleh tak mempedulikan ini, tapi bisnis jangka panjang Anda niscaya terganggu. Ingat, pengangguran bisa memicu ketidakstabilan, bahkan naiknya kriminalitas.

Terlalu banyak orang yang tidak bekerja akan membuat kegiatan investasi dan bisnis terancam, karena stabilitas politik terongrong oleh orang-orang yang tidak puas dan tersisihkan akibat tidak bekerja. Padahal Anda butuh stabilitas sosial politik demi tenangnya berusaha.

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika hanya segelintir yang menguasai ekonomi nasional--taruhlan 6,2 persen penduduk itu-- saat itu pula curiga dan stigma sosial muncul, lalu memicu konflik sosial dan kebencian antarmasyarakat.

Meminjam hipotesis Amy Chua dalam bukunya "World on Fire", masyarakat demokrasi pasar (di mana Indonesia sedang mengarunginya) memang kerap mencipta dan lalu mendidihkan kebencian antaretnis.

Jadi, di samping menarik insentif positifnya bagi perekonomian nasional, dinamika keuangan global ini mesti dicermati kritis untuk menjamin aset ekonomi tak menciptakan gelumbang. Jika pun ada gelumbung, kita bisa mengelolanya sehingga kempes tanpa menciptakan ledakan.

Krisis moneter 1997 memperlihatkan bahwa gelumbung aset yang meledak berimplikasi luas terhadap negara, dan memicu konflik bernuansa rasial yang pekat.

Oleh karena itu kita harus mencari cara agar aset nasional tak terpusat di tangan segelintir orang, sehingga saat yang satu sakit, tak menjangkiti yang lain, apalagi keseluruhan sistem.

Kita juga perlu memonitor ketat masuknya uang panas. Bank Indonesia memang diam-diam sedang melakukannya, tapi langkah lebih drastis tetap diperlukan. Bahkan para ekonom liberal seperti Uri Dadush, Direktur Program Ekonomi Internasional Carnegie Endowment for International Peace, merekomendasikan ini.

"Karena faktanya modal masuk itu mudah bergejolak dan berjangka pendek, maka intervensi mata uang untuk tujuan mensterilasasi dampaknya, mengakumulasi cadangan devisa, dan terakhir mengenakan pajak terhadap modal masuk atau kontrol devisa lainnya, adalah sah," kata Dadush. (*)

Oleh Jafar M Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010