Ketiga orang itu –Attaturk, Rumi, dan Nasrudin– punya karakter sendiri-sendiri dalam khazanah Turki, dari yang kontroversial, yang lembut syair-syarirnya, hingga yang lucu kisah-kisahnya. Kadang-kadang Turki memang terlalu aneh –menurut pandangan kit

“Apa ini?”
“Ini makanan. Silakan ambil, ini lokumu, dodolnya orang Turki”
Kemudian saya mengambil satu.

Tidak seperti dodol Indonesia, misalnya dodol Garut atau jenang Kudus, dodolnya orang Turki itu warnanya putih di tengahnya ada kacangnya, kenyal dan manis.

Udara sedang jatuh di Turki.

Harian setempat memberitakan suhu jatuh 15 derajat. Saya tidak memperkirakan sebelumnya. Bibir saya kering. Dinginnya minta ampun. Kebalikan dengan di Jakarta, kalau masuk mall, mak nyes dingin, adem. Tapi, di Ankara, begitu keluar mall, rasanya seperti masuk kulkas.

Saya sedang mengambil payung ketika seseorang menawarkan lokumu. Satu orang lagi memberikan tisu. Saya adalah salah satu dari sekian puluh jamaah Hasan Tanik Camii, yang siang itu satu per satu meninggalkan masjid, sambil mengunyah lokumu.

Katanya sudah biasa ada orang yang kasih lokumu itu ke jamaah lain, baik setelah sholat ied maupun sholat Jumat –jamaah Jumat di masjid itu necis-necis pakaiannya, berjas, berdasi. Sambil berjalan di tengah gerimis yang sangat dingin itu saya pun mengunyah lokumu. Rasanya seperti yanko, makanan ringan khas dari Yogya –tapi lebih kenyal.

Saya ingat frase “Turkhish Delight” dalam novel Narnia, karya C.S. Lewis. Dalam terjemahan bahasa Indonesianya, frase itu tetap dipertahankan. Lewis mengisahkan seorang anak kecil yang terperangkap oleh perempuan penyihir sakti gara-gara kepincut oleh makanan enak bernama Turkhish Delight.

Tetapi, barangkali Turkhish Delight itu bisa diterjemahkan sebagai aneka dodol, manisan, atau permen –alias makanan-makanan ringan yang enak-enak dari Turki. Di salah satu toko Turkhish Delight di Taksim Istiklal Istanbul, saya lihat makanan ringan bermacam-macam, berwarna-warni –tetapi tentu saja tak ada wajik atau krasikan.

Saya kira ekspresi memberi lokumu ke yang lain di atas merupakan salah satu bentuk keramahan orang Turki. Mas Komar (Dr. Komaruddin Hidayat) sering bilang ke saya, orang Turki itu ramah-ramah. Saya merasakan demikian adanya, atas kebaikan teman-teman Turki saya.

***
Saat tulisan ini ditulis, sudah hampir dua minggu saya di Turki. Datang via Bandara Esenboga, Ankara, tetapi kemudian ke Istanbul, ke Ankara lagi, ke Konya, ke Ankara lagi, Istanbul lagi, dan pastinya akan pulang ke Jakarta via Ankara lagi. Maklumlah, saya berkepentingan mengejar beberapa narasumber untuk studi saya –dan keperluan lainnya.

Saya tidak akan berkisah tentang apa studi saya itu, tetapi barangkali sekedar tulisan tentang “oleh-oleh dari Turki”.

Turki adalah bangsa yang unik –tentu saja Indonesia juga unik dari kacamata orang luar. Tetapi, maksud saya, Turki punya sejarah yang kaya dan unik.

Banyak peninggalan sejarah yang memberitakan sisa pengaruh kekuasaan masa lalunya. Sisa-sisa kekafilahan Turki Utsmani masih tampak kokoh. Masjid-masjid ada di mana-mana dengan karakter arsitektural yang hampir sama: kubah-kubah raksasa dengan lampu-lampu melingkar, mimbar yang tinggi, menara-menara yang tinggi dan lancip, tempat wudhu yang nyaman, karpet-karpet yang khas, serta lengkungan-lengkungan yang sempurna dengan sejumlah kaligrafi.

Konon, Mimar Sinan, sang arsitektur terkemuka Turki Utsmani terobsesi membuat arsitektur masjid yang tak kalah megah dibanding Aya Sophia, sebuah gereja yang berdiri kokoh sebelum Konstantinopel ditaklukkan oleh Sultam Mehmed II. Konstantinopel kemudian berubah menjadi Islambul, Istanbul.

Penjelasan tentang Istanbul, bagaimana penduduknya, kegelisahan sejarahnya, terekam dari salah satu novel Orhan Pamuk, berjudul Istanbul. Pamuk adalah pemenang hadiah Nobel bidang sastra pada 2006. Dari novelnya ini, kita bisa menyimak bagaimana kota ini sempat terpuruk kemudian bangkit, termasuk bagaimana ia menjadi salah satu kota pariwisata utama Eropa.

Ya, Turki, khususnya Istanbul memang titik pertemuan, antara Barat dan Timur –yang “terpecah” secara berdampingan yang suka tampil dengan identitas “sekuler” dan yang “Islam”. Turki Asia dan Turki Eropa dipisahkan oleh Selat Bhosporus dan disambungkan oleh jembatan-jembatan panjang yang melintasi selat legendaris ini.

Namanya juga kota pariwisata, di Istanbul banyak obyeknya : Aya Sophia, Masjid Biru dan masjid-masjid lain, Grande Bazar (pasar kuno yang khas bangunannya itu), dan segala hal tentang Selat Bhosporus itu sendiri. Di Istanbul, hampir semua rumah adalah toko.

Di Grande Bazar –Jacky Chan pernah main film di lokasi ini–, ketika saya membeli kaos merah bergambar bulan sabit, benderanya Republik Turki, yang terjadi adalah tawar-menawar. Yang menawarkan adalah teman saya yang asli Turki. Melihat adegan tawar-menawar itu, saya jadi ingat hal serupa di Pasar Tanah Abang, Jakarta, atau Pasar Klewer, Solo. Harga yang diajukan pertama kali oleh penjual bisa ditekan jadi separohnya.

Toko-toko bukunya juga ramai. Bukunya bagus-bagus. Rak sejarah dan politik variatif koleksinya. Sayangnya yang berbahasa Inggris sedikit. Dalam hal perbukuan, khususnya buku-buku sastra, saya lihat jurnalnya terbit dengan seksama. Buku-buku komik juga eksis –bahkan ada tabloid khusus komik, yang sesukanya mengkarikaturkan Perdana Menteri Erdogan.

***
Kalau makanan bagaimana?

Di Jakarta, rata-rata kita hanya mengenal kebab –yang ternyata downer kebab (irisan daging plus sayur-sayuran yang dibungkus kulit dari gandum) yang ukurannya sedang-sedang saja. Di Turki kebab banyak macamnya. Ambil contoh yang pernah saya makan adalah kebab Adana –kata penjualnya ini kebab lebih pedas, tapi lidah saya tak merasakan pedas, kelihatannya tak ada cabai rawit alias “lombok ipret“ di Turki, adanya cabai hijau yang besar-besar.

Tetapi, ada makanan favorit, namanya iskander (mungkinkah yang menciptakannya pertama kali bernama Iskandar?). Dua orang teman, Ramadan Pohan dari Jakarta dan Syahrul Hidayat yang sedang kuliah di Inggris mengingatkan agar jangan lupa saya menikmati iskander itu. Mendengar namanya saja, saya seperti mau ketawa – masak kok sampai ada makanan namanya iskander, mengapa bukan Isharyanto, Ismangil, atau Istikomah.

Tapi, sungguh pesan itu sangat serius. Tak lengkap rasanya bilamana Anda ke Turki, khususnya ke Ankara kok tidak disempatkan makan iskander. Apa sih iskander itu?

Kira-kira begini deskripsinya: komposisi iskander adalah irisan daging, roti, ada juga nasinya (jangan bayangkan nasi orang Turki sama seperti nasi kita –nasi Turki dimasak pakai minyak dan sering seperti nasi yang belum masak benar alias orang Jawa bilang masih “ngletis”), ada kuah tomatnya, dan ada juga –ini yang agak aneh– yogurt-nya berwarna putih. Untuk ukuran kita, orang Indonesia, cukup besar (bahasa Jawa-nya “sak hohah”).

Dijamin, sekali makan makanan yang bernama iskander itu langsung kenyang –betul-betul “minta ampun”, saya sendiri sepertinya, melihat gambarnya saja merasa sudah kenyang alias “kemlekeren”. “Desa mawa cara, negara mawa tata”, setiap tempat ada khasnya masing-masing. Dan, o, betapa mewahnya tempe.

Minumannya, Anda bisa pesan airan, minuman yang terbuat dari yogurt yang gurih-asin rasanya. Buahnya? Anda bisa beli apel atau anggur, tetapi pikir dulu kalau mau pisang. Pisang termasuk buah yang mewah.

Saat saya hadir acara donor darah di Kedutaan Besar RI di Turki, makanan yang disuguhkan antara lain arem-arem yang pembungkusnya alumunium foil –benar-benar mewah. Persoalannya adalah, tak ada daun pisang di sana.

Tentu masih banyak variasi makanan lain yang bisa diceritakan. Tetapi, tak seperti Mas Bondan Winarno, saya bukan jurnalis kuliner. Yang jelas, jangan mengada-ada, misalnya coba cari gudeg, tengkleng, atau brongkos. Ini Istanbul/Ankara Bung! –bukan Solo/Yogya.

***
Kesan saya, Ankara tidak seramai Istanbul –walaupun Ankara sebagai ibukota negara juga ramai. Sistem transportasinya jauh lebih baik ketimbang Jakarta. Trem-trem bawah tanah tertata dengan baik. Kebanyakan warga sana, ke mana-mana naik angkutan umum.

Pada jam-jam sibuk, bis-bis dan trem-trem penuh sesak. Tetapi, penumpangnya tampak tetap aman tanpa khawatir kecopetan –bandingkan dengan guyonan di Jakarta, bahwa jumlah pencopet di kereta, lebih banyak ketimbang penumpangnya.

Ketika saya ke Istanbul-Ankara atau Ankara-Konya pulang pergi, bisnya sangat nyaman. Bahkan bis yang eksklusif menyediakan layar hiburan untuk kita pilih apa mau menyetel lagu-lagu atau film –seperti di pesawat-pesawat itu. Kondekturnya memberi air putih dan teh/kopi –tentu saja juga tak ada asongan atau pengamen yang menyelonong masuk.

Sepanjang kanan kiri jalan antar-kota yang bebas hambatan itu, pemandangannya monoton saja. Bukit-bukit di sana rata-rata gersang. Pepohonan hanya satu dua. Indonesia masih tampak lebih hijau, ketimbang pemandangan Turki dari atas pesawat.

Hal-hal yang informal di Turki, kesannya formal bagi kita. Di jalan-jalan mereka necis-necis berpakaian. Yang lelaki kebanyakan pakai jas sekaligus dasinya. Yang perempuan juga berpakaian “formal” –baik yang berjilbab maupun yang rambutnya warna-warni.

Soal pakaian ini, kalau kita baca sejarah Turki modern, tak lepas dari revolusi Mustafa Kemal Attaturk yang ingin meninggalkan masa lalu menggapai masa depan dengan menjadikan Turki meniru model Barat. Termasuk berpakaian. Fez, kupluk Turki, dilarang. Modernisasi dan Westernisasi hampir sama.

Kenecisan berpakaian ini juga hadir di sektor informal. Sopir, kondektur, penjual lotere, penjual roti, apapun, biasa berjas –bahkan tukang bersih-bersih bis pun berjas.

Bandingkan dengan bapak-bapak kita di Jawa yang memakai jas manakala menghadiri pesta pernikahan atau acara formal lainnya –itupun jasnya dipadukan tetap memakai sarung dan kopiah (kupluk), dan merokok “pas-pus”.

***
Formalitas juga tampak di kantor-kantor partai politik.

Untuk kepentingan mengejar narasumber penelitian saya, pada hari yang sama, saya datangi dua kantor partai di Ankara. Yang satu AKP, partainya pemerintah. Satunya lagi CHP partai oposisi.

Kantor AKP besar dan mewah, dengan beberapa polisi bersenjata berseliweran di sudut-sudutnya –mungkin takut ada teroris masuk. Di depan kantor itu tempat parkir. Salah satunya ada bis yang bergambar Erdogan, pembesar partai yang kharismatik. Bis itu bertuliskan EVET, yang artinya YA. Rupanya itu sisa-sisa kampanye referendum konstitusi yang akhirnya dimenangkan kubu EVET.

Mau masuk ke kantornya, pemeriksaannya serius, seperti mau masuk ke bandara. Bahkan uang receh pun harus dikeluarkan dari saku. Berkali-kali saya masuk, disuruh keluar lagi, masuk lagi –karena alarmnya bunyi. Ternyata masih ada sebuah uang logam di saku saya –untung bukan bom.

Pelayanan di kantor AKP sigap, profesional –kalau bukan malah robotik. Saya ditanya dari mana, maunya apa. Kalau mau interview dengan siapa, dan sebagainya. Semua bisa saya jelaskan.

Tak lama sudah ada kepastian. Keesokan harinya, pejabat AKP sudah bisa saya temui untuk interview. Kali ini di kantornya di Gedung DPR-nya Turki di Ankara. Penjagaannya tak kalah ketat.

Sementara itu kantor CHP lebih longgar bagi tetamu. Maksudnya, tak ada penjagaan seketat kantor pusat AKP. Resepsionisnya menyuruh kami menunggu, dan ditanya mau teh apa kopi. Kopi, jawab saya –tentu saja kopinya hanya secangkir kecil, kopi Turki.

Urusan juga mudah di kantor ini, meskipun tidak dapat terselesaikan pada hari yang sama. Memang, ketika saya katakan bahwa penelitian saya soal politik di Turki, banyak yang “terperangah”. Politik masih dipandang isu yang sensitif oleh orang Turki kebanyakan –tentu saya sangat memahami hal itu, karena sejarah politik Turki tak lepas dari tekanan rezim-rezim yang berkuasa alias “negara”.

Tapi dengan orang politik, saya bisa bebas bertanya –walaupun jawaban-jawabannya, tentu saja banyak yang terkesan formalistik.

***
Kita tak kurang khazanah juga sesungguhnya. Kalau di Konya ada makamnya Kiai Jalaluddin Rumi, di kita ada makam para wali dan tersebar di mana-mana.

Makam Rumi terawat dengan baik, bahkan dimuseumkan dengan karcis senilai 2 Lira –kira-kira 12 ribu Rupiah. Makam sufi bermadzab cinta ini, berada dalam sebuah bangunan mirip masjid.

Di sebelah museum itu ada masjid, namanya Masjid Sultan Selim (Sultan Selim Camii), berdiri tahun 1560-an. Di seberang museum terdapat pemakaman umum dan di sebelah sananya lagi makam pahlawan.

Suasana pemakaman umum di sana, tampak seperti galeri benda-benda antik. Kijing-kijingnya ditandai dengan papan-papan batu bertuliskan siapa gerangan jenazah yang dikuburkan. Sangat beda dengan kuburan di Makkah atau Madinah, misalnya, yang hanya padang pasir saja, tak ada penandanya.

Karena waktu terbatas, salah satu hasrat yang belum kesampaian adalah mengunjungi makamnya sufi paling lucu, Nasruddin Hoja –setelah sudah saya kunjungi makamnya Attaturk dan Rumi.

Ketiga orang itu –Attaturk, Rumi, dan Nasrudin– punya karakter sendiri-sendiri dalam khazanah Turki, dari yang kontroversial, yang lembut syair-syarirnya, hingga yang lucu kisah-kisahnya. Kadang-kadang Turki memang terlalu aneh –menurut pandangan kita.

***
Sambil mengunyah lokumu, tulisan ini di tulis. Sebutir lokumu dari Ankara –mengingatkan Dodol Garut atau Jenang Kudus kita. Omong-omong, barangkali saja sejarah hubungan Nusantara-Turki Usmani, juga bisa ditelusuri dari dodol-dodol itu. Tapi, saya bukan sejarawan –cuma sekedar penikmat dodol. (***)


*) M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010