Orang dengan pakaian aneh itu tak lain adalah Mahatma Gandhi. Dengan pakaian yang seperti baju Ihram itu, cukup ribet juga ketika berlari. Ketika tangan Gandhi bertemu dengan tangan temannya yang sudah di pintu kereta, musibah terjadi, bahwa sandal d
Saya tak tahu bahasa bakunya apa: “sandal”, “sendal”, “srendal”, atau“srandal”. Tapi dalam tulisan ini, yang saya pakai adalah “sandal”.Tetapi kalaulah yang benar salah satu dari “sandal”, “srendal”, atau“srandal”, maklumilah saya.
Di tempat saya, di pedalaman Jawa Tengah sana, soto diucapkan “saoto”.Di tempat lain soto disebut “sroto”. Di Makassar, soto diucapkan“cotto”. Konsekuensinya, kalau Anda menyantap soto, maka Anda sedang“nyoto”, “nyroto”, atau “nyotto”.
O sungguh kaya bahasa kita. Abdurrahman bisa disulap menjadi“Ngabdulrokhman” di Jawa, Beddu Amang di Makassar. Hasan menjadi“Kasan” di Jawa dan Acan di tempat lain. Sungguh, lidah kita itudemikian fleksibel.
Sehabis sembahyang subuh di Terminal Tirtonadi Solo, seorang bapak-bapak berteriak-teriak, “Srandalku ilang, srandalku ilang”. O, ternyata sandal diucapkan “srandal”. Bayangkan kalau hidung bapak-bapak itu sedang pilek, “srandal” bisa didengar yang lain “brandal”.
***
Pada suatu Jumat, saya kehabisan sandal. Semua sandal di kantor sayasudah dipakai yang lebih dulu memakai. Kecuali, tiba-tiba sayamenemukan sepasang sandal yang masih tersimpan rapi di sebuah lemari.
Seorang teman mengatakan bahwa itu sandal almarhum. Ada kolega sayayang sudah meninggal dan tentu meninggalkan pula segudang kenangan.Dan, lumayan, sandalnya masih bisa dipakai ke masjid, Jumat itu.
Berjalan kakilah saya dengan teman kantor ke masjid siang itu. Jaraknyasekitar empat ratus meter. Masjid di seberang jalan itu sudah cukupramai dipadati jamaah sembahyang Jumat.
Sebagaimana masjid-masjid perkotaan di Indonesia, setiap Jumat ramaidengan mereka yang memanfaatkan kehadiran jamaah: berjualan apa saja,atau ada pula peminta-minta, biasanya perempuan-perempuan tua dananak-anak.
Cukup sedih melihat pemandangan demikian, semrawut plus wajahkemiskinan tersembul. Itulah salah satu gambaran realitas sosial umatIslam Indonesia, yang memerlukan jawaban tersendiri panjang lebar.
Keberadaan lembaga-lembaga zakat, infak dan sedekah, saya kira menjadidemikian penting di sini: mengentaskan kemiskinan dan memberdayakanpotensi sumberdaya umat secara elegan dan efektif.
***
Langkah saya menjadi ringan dengan sandal itu. Alhamdulillah. Sebagairasa syukur, saya membaca Al Fatihah, wabil khusus ke pemilik sandalitu, saya tujukan kepada almarhum.
Masyaallah, pikir saya, sandal saja telah menjadi pintu bagi kirimandoa kepada sang pemilik. Kemanfaatannya telah menggerakkan sangpemakainya berdoa.
Usai berdoa, saya membayangkan almarhum tersenyum. Saya teringat semasa hidupnya, kami selalu bercanda.
Kisah sandal ini saya beberkan di sebuah bedah buku, kebetulan sayajadi moderatornya. Sang penulis sudah sangat senior, seorang sesepuhkami yang berusaha mewariskan ilmunya lewat sebuah buku yangdiluncurkan kecil-kecilan saja siang itu. Ulasan dan dokumen-dokumendalam buku itu, bagi segmen pembaca sasarannya, jelas sangatbermanfaat.
Dimaksudkan untuk membesarkan hati beliau, saya mengatakan bahwa sandalsaja dapat menjadi amal jariyah ketika ia dimanfaatkan oleh orang lainterutama kalau sang pemakai memakainya untuk jalan kebaikan, apalagibuku.
Buku akan dibaca orang banyak, dimana mereka mendapat ilmu atausetidaknya pencerahan dan inspirasi untuk berbuat baik, dipakai untukmengubah hal-hal yang perlu diperbaiki sebesar-besarnya untukkemaslahatan masyarakat luas.
Al Ghazali, misalnya, lebih dikenal karena buku-bukunya, bukansandal-sandalnya. Sandal Al Ghazali mungkin dipakai oleh orang lainketika beliau meninggal. Tetapi usia pakai sandal itu terbatas. Tigatahun kemudian, sang sandal boleh jadi sudah jebol dan tidak dapatdipakai lagi.
Tetapi, bagaimana dengan buku-bukunya? Lebih awet dan “abadi” bukan?
***
Sebelum kembali ke soal buku, soal sandal ini saya temukan kisah unik Mahatma Gandhi di buku komik alias graphic novel “Chicken Soup for the Soul” yang digambar oleh komikus Korea Kim Donghwa.
Judulnya “Sepasang Sandal”. Ceritanya begini. Kereta api butut itusudah berjalan pelan, dan ketika makin cepat, seorang pria di salahsatu pintu itu berteriak, “lebih cepat sedikit” sambil mengulurkantangan ke seseorang dengan pakaian khas dan kacamata bulat, yang sedangterengah-engah berlari.
Orang dengan pakaian aneh itu tak lain adalah Mahatma Gandhi. Denganpakaian yang seperti baju Ihram itu, cukup ribet juga ketika berlari.Ketika tangan Gandhi bertemu dengan tangan temannya yang sudah di pintukereta, musibah terjadi, bahwa sandal di kaki kanannya tersangkut danterlempar.
Sehingga ketika sudah di atas kereta, sandal sang pejuang kemerdekaanIndia itu tinggal satu, di kaki kirinya. Gandhi berjongkok. Ia ambilsandalnya dan segera melemparnya keluar. Temen-temannya terheran-heran,dan menanyakan mengapa Gandhi melakukan itu.
Gandhi menjawab, “Yah, bayangkan saja orang yang mengambil sandal tadi.Orang itu tidak akan bisa menggunakan jika hanya ada satu sandal. Namunsekarang, sepasang sandal itu akan berguna bagi siapa pun yangmengambil dan memakainya”.
Kita tahu bahwa, Gandhi tidak hanya meninggalkan sepasang sandal dalamkisah di atas. Ia juga meninggalkan buku, dan catatan banyak orangtentang dirinya dan pandangan-pandangannya yang dibukukan.
***
Dalam sebuah acara bincang-bincang tokoh dengan seorang kiai kondang,sang kiai mengatakan, “Menulislah. Ikatlah ilmu dengan tulisan, denganbuku”. Sang kiai gemar menulis hikmah-hikmah dalam bentuk puisi-puisi,esai-esai, bahkan buku-buku serius. Sang kiai itu adalah Gus Mus aliasKH Mustofa Bisri dari Rembang.
Sangat masuk akal, dan suatu imbauan yang mendasar dan penting. Metodepewarisan ilmu yang paling efektif adalah dengan menuliskannya. Sebagaiagama peradaban, semangat Islam dalam pewarisan ilmu itu dapatdirangkum dalam satu kata : luar biasa.
Pada zamannya, para intelektualnya adalah orang-orang pembelajar,orang-orang terbuka. Para pencari ilmu itu tekun sekali, dan tak lupameninggalkan catatan-catatan penting untuk generasi setelahnya.
Ibnu Ruyd, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Ghazali, Ibnu Batutah, IbnuKhaldun dan Ibnu-Ibnu yang lain (semoga termasuk juga kolega saya IbnuHamad, profesor muda ilmu komunikasi Universitas Indonesia), merupakansosok-sosok ilmuwan lintas peradaban.
Peradaban Barat sekarang ini, catat Mas Profesor Ahmad Suhelmi, seniorsaya di UI, tak lepas dari sumbangan peradaban Islam juga, selain tentusaja antara lain Yudeo-Kristiani. Buku pernah menjadi penanda peradabanIslam. Tercatat juga kemunduran peradaban Islam terjadi tatkalaperpustakaan-perpustakaan dan buku-buku dihancurkan oleh seranganBarbar.
Harus kita akui bahwa Barat kemudian lebih maju pada kenyataannya dalammerawat peradaban buku. Tapi kini, kita tengah berada dalam era digitalyang revolusioner.
Silakan saja Anda membayangkan, seandainya semua buku zaman peradabanbuku Baghdad itu sempat dipindai sedemikian rupa, di-PDF-kan, dandi-online-kan di internet. Sedap bukan?
Saya sendiri sebagai pengguna buku sangat tertolong oleh revolusie-book. Seorang teman di Harvard atau di Kyoto sering saya mintaitolong mencarikan buku-buku yang telah dipindai diringkas dalam formatdigital dan bisa di-email-kan kapan saja, dengan kecepatan waktu sampaidalam hitungan detik.
Di Indonesia ini, budaya buku masih terbatas. Perpustakaan kita masihbanyak yang konvensional. Saya paling jengah mengunjungi perpustakaandengan sistem katalog, bukan swalayan. Soalnya, kita tidak tahubarangnya. Judulnya bagus, kalau wujudnya belum kita lihat, setelahdiambilkan petugas, bisa-bisa bukan buku yang kita harapkan.
Dan kini perpustakaan itu cukup ada di laptop kita masing-masing –atau piranti e-book lain yang makin lama makin canggih. (***)
* M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta, dan Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010