Hati yang lapang, jiwa yang kuat, cara hidup sehat, dan pikiran yang positif adalah rangkaian keseimbangan yang menyeluruh, saling menguatkan. Keseimbangan ini harus diperjuangkan. Bukan hadiah dari orang lain, pendamping hidup kita sekalipun.

Pernahkah Anda bayangkan apa yang terjadi bila beberapa tetes tinta hitam dituangkan ke sebuah gelas berisi air bening? Bisa diduga, beningnya air akan berubah menjadi hitam, bukan?

Bayangkan pula bila sejumlah tinta yang sama kita teteskan ke lautan luas? Tak berpengaruh sama sekali.

Itulah perumpamaan kaitan antara persoalan hidup dan hati kita. Saat hati lapang seluas lautan, tetes-tetes persoalan hanya dirasakan sebagai titik-titik kecil dalam garis panjang kehidupan kita. Dapat dilalui dengan mudah.

Sebaliknya, saat hati sedang seukuran gelas, tetes-tetes masalah itu berwujud malaikat pencabut nyawa. Tak tampak secelah ruang pun untuk berkelit.

Problem is a gift, kata seorang bijak. Andai hidup adalah perlombaan babak utama, beragam persoalan merupakan rangkaian latihan yang harus dijalani agar kita tangguh, teruji, sehingga berhasil meraih kemenangan sejati.

Saya teringat kata-kata seorang penulis terkenal Naquib Mahfoudz dalam novelnya Autum Quail; ”sometimes a disaster will hit us in such a way as to lead us unawares along the right path”, terkadang suatu bencana akan menimpa kita dengan cara tertentu yang mengarahkan kita tanpa sadar ke jalan yang benar.

Saat mempunyai persoalan, kita pandang dengan tatapan jauh ke depan. Kita hadapi dengan keyakinan, nun di sana terhampar tujuan yang jauh lebih besar yang sedang diperjuangkan.

Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya, demikian janji Allah SWT. Namun, kita sering merasa kesulitan melampaui berbagai persoalan yang dihadapi lantaran mata kita kecil ketika menatapnya. Nampaknya, ini soal keyakinan dan cara pandang juga.

Palgunadi Setyawan, seorang spiritualis yang saya kagumi, pernah bercerita tentang masalah yang dihadapi cucu seorang sahabatnya. Anak itu punya masalah kelambanan refleks tangan saat berusia 11 tahun. Sang anak tak bereaksi sigap saat menerima gelas atau sesuatu dari orang lain. Cengkeramannya sering tak erat. Ia kerap menjatuhkan barang yang dipegangnya.

Dari sesi wawancara seorang dokter ahli dengan kedua orang tua sang anak, diketahui ternyata anak itu tidak pernah mengalami masa merangkak saat masih balita. Sang anak langsung bisa berdiri setelah bisa duduk. Menurut kedua orang tuanya, mereka sempat membanggakan kemampuan buah hatinya itu. Namun, ternyata ”lompatan” kemampuan itu mengabaikan sunatullah, yang seharusnya dialami oleh seorang anak untuk tumbuh sempurna.

Fisioterapis lantas memberikan terapi merangkak yang harus dijalani rutin oleh anak itu untuk membangkitkan syaraf yang diperlukan agar ia dapat melakukan refleks tangannya dengan normal.

Kisah ini membuat kita semakin yakin, segala sesuatu pasti ada jalannya, ada takarannya. Tak mungkin Tuhan memberikan persoalan tanpa jalan keluar yang menyertainya.

Mengubah cara pandang kita tentang suatu masalah, dapat membawa pada kondisi baru. Pribadi yang lebih efektif bagi diri, bagi lingkungan, dan dalam melayani orang.

Seorang sahabat dari Dunamis, Agi Rachmat, pernah berpesan; ”Lakukan apa yang bisa dilakukan dalam pengaruhmu”. Ajakannya sungguh mulia dan positif agar kita melakukan sesuatu dalam jangkauan tangan kita. Mari kira lakukan itu, sembari disertai kelapangan hati seluas lautan. Tak mungkin pula, kita mengabaikan sunatullah tanpa belajar dari proses kehidupan yang sejatinya makin mendewasakan kita. ”Sesuatu akan indah pada waktunya,” pesan sahabat saya yang lain, Hadi Satyagraha.

Hati yang lapang, jiwa yang kuat, cara hidup sehat, dan pikiran yang positif adalah rangkaian keseimbangan yang menyeluruh, saling menguatkan. Keseimbangan ini harus diperjuangkan. Bukan hadiah dari orang lain, pendamping hidup kita sekalipun. Keseimbangan di dasar lautan saja didapat setelah terjadi gempa bumi. Begitulah alam mengajarkan.

Kini, Ramadhan kita jelang. Bagi seorang muslim, Ramadhan diyakini sebagai bulan yang amat istimewa. Selain adanya Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, Ramadhan adalah fasilitas bagi manusia untuk menemukan kembali kesejatiannya. Jalan agar manusia menemukan kembali keseimbangannya.

Saat berlatih menahan diri dari makan dan minum, terasa diri ini lebih dekat dengan mereka yang kerap bertanya; ”apa yang kita makan hari ini, ayahku?”. Ada nilai-nilai kepedulian kepada mereka yang harus ditolong, yang sejatinya dimiliki oleh siapapun pemilik suara hati.

Saat menghitung dan menyempurnakan kewajiban zakat, infaq dan sedekah, termasuk zakat fitrah yang diwajibkan menjelang Idul Fitri nanti, terbayang betapa ada hak orang lain yang melekat pada apa yang diamanahkan Allah SWT pada kita.

Saat kita mendekatkan diri pada Nya melalui tambahan ibadah-ibadah ritual dan kegiatan silaturahmi, akan terasa ruhani ini makin dekat dengan Dia.

Demikian sebaliknya, saat kita memaknai Ramadhan ini dengan kering dan datar, boleh jadi bathin ini pun tak akan sedikit pun bergetar.

Ramadhan bagi seorang muslim adalah momentum penyucian diri, bulan dimana terdapat peluang memperoleh rahmat, pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Bulan dimana kita melatih diri agar menjadi sahabat terbaik bagi siapa saja, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sang Nabi adalah pemimpin dan sahabat kaum Yahudi dan Nashrani yang hidup berdampingan secara damai kala itu.

Ramadhan memberi peluang, Ramadhan menyediakan kesempatan, agar setiap kita menjadi pemenang. Ramadhan adalah bulan pelatihan holistik agar seorang muslim menjadi pribadi yang lebih berbudi pekerti, menjadi sahabat terbaik bagi lingkungannya.

Terpulang pada diri, akankah semua fasilitas yang menanti, dimanfaatkan sepenuh hati. (***)

*) Praktisi Manajemen dan Pembelajar Kepemuimpinan

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010