Apa makna universal dari perubahan sejarah, misalnya ketika Candi Borobudur dan Prambanan berdiri tegak di negara yang kini mayoritas penduduknya Muslim? Atau, Taj Mahal yang berdiri tegak di negara yang mayoritas penduduknya Hindu?
Apa yang berkesan kalau Anda mengunjungi sebuah kota? Gedung-gedungnya? Jalanan dan gang-gangnya? Orang-orangnya? Makanannya? Suasananya? Pertanyaan ini saya ajukan, mengingat ini sudah musim liburan anak-anak sekolah. Musimnya orang piknik.
Ada yang ke Bandung, Yogya, Bali (Denpasar dan sekitarnya), Surabaya, Lombok, Padang, Medan, Banjarmasin, Makassar dan kota-kota lain, bahkan ke luar negeri seperti Singapura dan Kuala Lumpur, Melbourne atau yang lain.
Ada juga yang umroh ke Mekkah, Madinah dan sekitarnya (pulangnya bawa kurma, air zam-zam dan oleh-oleh lainnya, yang ternyata eh, dibeli di Tanah Abang).
Yang pikniknya ke luar negeri, kebanyakan taraf hidupnya sudah jauh lebih baik. Walaupun yang tidak ke mana-mana belum tentu kehidupannya tak lebih baik. Semua tergantung konteksnya. Ada yang selama liburan, memilih di rumah atau pergi tak jauh-jauh.
Bagi orang modern, piknik, kelihatannya sudah jadi gaya hidup. Orang modern kadang ritme hidupnya suka dibimbing oleh majalah-majalah gaya hidup. Mulai urusan makanan (diet kentang), pakaian, ramalan bintang, memperlakukan anak dan suami, konsultasi ini-itu, termasuk juga menentukan tempat-tempat penting untuk berlibur.
Soal panduan berlibur, sekarang ini banyak buku yang diterbitkan untuk membimbing para traveler. Di antara buku-buku itu beberapa mengisahkan pengalaman para traveler yang beruang cekak, tetapi tetap bisa merambah ke mana-mana. Misalnya kisah tentang si A yang berkeliling ke satu atau beberapa negara dengan uang di saku yang ekstra-terbatas.
Traveler yang seperti itu termasuk yang mbambung, ada bonek-nya. Bermodal nekat, tetapi juga kekuatan komunikasi, jaringan, dan kemampuan. Bahkan konon, mereka punya komunitas tersendiri (teringat istilah Cak Nun) “komunitas para mbambung”. Para pengelana ini mengingatkan sosok-sosok seperti Marcopolo dan Ibnu Batutah.
***
Berpiknik juga mengandung unsur petualangan, sekaligus hiburan –bahkan sekaligus pencerahan. Seperti, misalnya bukunya novelis Elizabeth Gilbert “Eat, Pray, and Love”, yang sedang dibuat filmnya dengan bintang film Julia Robert. Gilberth mengisahkan pengalaman “spiritual” dan cintanya di Eropa (Italia) dan Asia (India dan Indonesia, tepatnya Bali).
Novel-novel semacam ini, belakangan banyak muncul. Suatu peristiwa piknik petualangan yang dikemas dalam bentuk novel –bahkan oleh pengarang-pengarang Indonesia sekalipun, termasuk yang mengarang novel perjalanannya ke Afghanistan. Tentang perjalanan Haji atau Umroh, misalnya juga ada beberapa.
Ada juga rekan saya yang wartawan, menulis catatan perjalanannya menjelajah Turki, dengan judul buku yang diterbitkannya “Santri Eropa”. Ia mencatat hal-hal yang unik-unik, dari sejarah hingga politik.
Kebiasaan menuliskan perjalanan memang masih cukup langka, walaupun buku tentang catatan perjalanan bertambah. Karenanya, kita pantas memberi apresiasi positif bagi para guru yang memberikan pekerjaan rumah siswa-siswanya melaporkan secara tertulis, liburannya.
Dengan mencatat, maka Anda punya peluang untuk menjadi sejarawan. Kata Edward Said, History is written by those who win and those who dominate,” tetapi perkataan itu bisa dinetralisir dengan “sejarah tandingan”, yakni sejarah yang ditulis justru oleh orang-orang biasa.
***
Dokumentasi sejarah tak lepas dari laporan perjalanan. Orang-orang Eropa sangat jarang yang mengenal dunia Timur, dan sangat terbantu oleh catatan perjalanannya Marcopolo. Ternyata, dunia Timur itu sangat memikat dan kaya nuansa.
Bangsa-bangsa Barat semakin berkeinginan untuk menguasai Timur, selaras dengan informasi-informasi dan penemuan teknologi dan kecanggihan transportasi mereka. Dalam “Orientalism” (1978) Edward Said mengupas panjang lebar penuh dengan kritik ambisi dan praktik kolonialisme Barat itu.
Lawan orientalisme atau bagaimana orang Barat memandang dan memperlakukan Timur adalah oksidentalisme, bagaimana orang Timur memandang Barat. Pada saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, banyak wisata sejarah. Barat dan Timur bisa saling belajar –dari pengalaman masa lalu.
Ketika duduk-duduk di tepian Selat Bhosporus di Istanbul sana, saya mencoba mencari makna peradaban. Keberadaan Aya Shopia bangunan berkubah besar itu adalah salah satu titik tanda karya peradaban. Sejarah menggulirkannya, dari gereja, ke masjid, akhirnya jadi museum.
Ketika mengunjungi makam “orang suci” Syeh Yusuf al Makasari di Cape Town (Afrika Selatan, yang sekarang jadi tuan rumah Sepakbola Piala Dunia), tentu saya berdecak kagum. Bukan sama kuburannya, tetapi oleh semangat dan perjuangannya. Oleh pesan-pesan kemanusiannya –yang universal.
Apa makna universal dari perubahan sejarah, misalnya ketika Candi Borobudur dan Prambanan berdiri tegak di negara yang kini mayoritas penduduknya Muslim? Atau, Taj Mahal yang berdiri tegak di negara yang mayoritas penduduknya Hindu?
Tentu ada pesan penting bahwa manusia diciptakan beragam, dengan tata cara dan hasil karya kebudayaan yang berbeda-beda –tetapi, barangkali punya filosofi yang sama. Setiap komunitas kebudayaan punya sistem budaya, simbol, mitologis, dan semacamnya sendiri-sendiri.
Manusia juga punya batas kemampuan: secanggih-canggihnya Tembok Raksasa di China, sehebat-hebatnya Menara Eifell di Paris, segagah-gagahnya patung Liberty di Amerika, atau hal-hal ciptaan manusia lainnya, tetap punya keterbatasan. Manusia tak bisa membuat menara setinggi langit, kecuali hanya “setinggi langit”, seperti yang di Dubai itu.
Piknik, tentu bukan hanya untuk melepas stres, tetapi juga memperkaya batin. Ziarah ke makam-makam Walisongo di tanah Jawa, tentu diharapkan memperkaya batin. Wisata alam, tentu juga diharapkan menyisakan pesan : betapa maha besarnya Tuhan. Dapatkah kita menciptakan Grand Canyon atau Ngarai Sianok?
Selamat berpiknik –bagi yang sedang berpiknik. (***)
* M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010