Seperti Gesang, Anas itu tampilannya lembut dan kalem, sistematis dan tidak bertele-tele. Diam-diam Anas mempunyai kharisma dan citra intelektualitas yang melekat erat. Ia punya modal untuk menjadi pemimpin nasional di masa depan.

Pencipta lagu "Bengawan Solo" Gesang Martohartono telah meninggalkan kita. Sang mastro dari Solo ini wafat pada usia yang begitu sepuh, 93 tahun.

Tuhan telah memelihara namanya, Gesang, hidup abadi, bukan semata karena Gesang itu juga berarti hidup. Dia hidup di atas umur rata-rata.

"Bengawan Solo" membuat banyak orang Jepang "tergila-gila," sampai-sampai sebuah film 1950-an karya Akhira Kurosawa, mengambil "Bengawan Solo" sebagai ilustrasi musiknya. Ketika menyetel DVD koleksi film Kurosawa itu, saya kaget bukan main.

Nada-nada sederhana yang mampir di benak Gesang itu menjadi demikian akrab di Jepang, bahkan konon Kaisar Jepang pernah memberi Gesang, sosok yang lembut dan bersahaja itu, sebuah penghargaan.

Gesang adalah maestro teladan yang konsisten di dunianya. Ia tak hanya mengharumkan, tetapi juga Indonesia dengan lagunya yang luar biasa itu.

Budayawan Jaya Suprana bahkan mengusulkan Gesang dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Dari Gesang kita belajar tentang banyak hal, melampaui "Bengawan Solo" yang diciptakannya. Dan, Gesang adalah lapisan generasi Indonesia yang khas, dengan kebersahajaan dan kebijaksanaan yang tulus-ikhlas.


Tak berapa lama setelah Gesang wafat dan seluruh media massa memberitakannya, publik beralih kepada berita lain. Kali ini bukan soal "generasi tua", melainkan munculnya "generasi muda" dalam politik Indonesia.

Dia Anas Urbaningrum, yang di usinya yang ke-41 telah terpilih secara demokratis pada Kongres Partai Demokrat.

Terpilihnya Anas unik dan fenomenal, karena: (1) revolusioner; (2) menggugurkan asumsi bahwa partainya "anti-demokrasi", di mana regenerasi ditentukan oleh mekanisme dan restu sang patron (SBY).

Sejak awal, Anas terkesan tampil nekat, dalam arti hendak melawan logika politik patron itu. Hal ini dapat dipahami mengingat yang mengemuka dan dikampanyekan sebagai sosok dukungan SBY, sejak awal bukan Anas, tetapi Andi Alafian Mallarangeng, yang secara simbolik ditunjukkan oleh kehadiran Edhie Bhaskoro Yudhoyono dalam tim suksesnya.

Berbagai pihak khawatir Anas akan layu sebelum berkembang, tetapi ia malah maju pantang mundur, hingga ke babak pemungutan suara yang berlangsung dua putaran.

Anas memperoleh lawan tanding cukup berat, bukan lagi Andi tetapi Marzuki Alie, mantan Sekjen Partai Demokrat yang menjabat Ketua DPR RI.

Keduanya mempunyai akar di Partai Demokrat. Dalam perkembangannya, sebagaimana kita simak bersama, di putaran kedua pun Anas menang.

Pendukung Anas solid, dan dari jumlah suara yang dibutuhkan untuk mencapai 50 persen plus satu, 31 suara, di putaran kedua, Anas memperoleh dukungan suara di atas jumlah itu.


Saya tidak hendak mengupas dinamika kongres partai lebih jauh, saya hanya ingin bersepakat dengan pendapat bahwa Anas telah mampu menyembulkan wajahnya sebagai generasi politik dari kalangan kaum muda yang menggebrak dan memudarkan mitos gerontokrasi atau dominasi politik "kaum tua."

Ia bisa menjadi simbol dan ikon kebangkitan politisi muda Indonesia.

Tentu saja, kita menghargai dan bangga pada proses demokrasi internal di Partai Demokrat tersebut yang telah berhasil melakukan peralihan kepemimpinan secara demokratis.

Pasar politik yang semula dikhawatirkan tidak sempurna karena faktor SBY, tidak cukup terbukti pada Kongres kali ini.


Mudah-mudahan kita bisa belajar dari almarhum Gesang, sebagai simbol generasi sepuh yang bijak, dan peristiwa hadirnya pemimpin muda dalam Partai Demokrat yang adalah partai terbesar se-Indonesia saat ini.

Sebagai publik, tentulah kita tetap harus kritis. Kepemimpinan politik itu tidak diukur dari tua atau muda, tetapi oleh kompetensinya.

Dalam konteks ini, Anas memiliki kompetensi tersendiri sebagai pemimpin politik.

Mudah-mudahan atmosfer politik kita menjadi ikut terasa segar pula.

Kepemimpinan politik Anas akan terus diuji oleh berbagai tantangan, baik oleh internal partainya, maupun luar partainya. Mampukah Partai Demokrat pasca-SBY tetap bertahan dan kinclong?

Setengah jawabannya, ada pada Anas Urbaningrum, bagaimana ia piawai dalam mengelola partainya.

Seperti Gesang , Anas itu tampilannya lembut dan kalem, sistematis dan tidak bertele-tele. Diam-diam Anas mempunyai kharisma dan citra intelektualitas yang melekat erat. Ia punya modal untuk menjadi pemimpin nasional di masa depan.

Belajar dari Anas, hadirnya pemimpin muda di pentas politik, memang harus diupayakan secara sungguh-sungguh, mendobrak bahkan revolusioner. Tetapi, semua itu harus dalam bingkai demokrasi.

Bahwa peralihan generasi harus berjalan secara baik, yang muda tampil dan bangkit dengan segenap kompetensi dan kepercayaan diri yang memadai.

Kita ingin wajah kepemimpinan politik lebih segar dan membawa harapan baru. Kita menunggu Anas-Anas lain, baik di partai politik atau yang lain. (*)

Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010