Kalau pendidikan malah menenggelamkan kejujuran, apa jadinya sumberdaya manusia Indonesia kelak? Pandai, cerdas, profesional, modern, tapi korup, karena tradisi tidak jujur telah ditanamkan di sekolah.
Jakarta (ANTARA News) - Apakah Anda, anak Anda, atau barangkali keponakan atau tetangga Anda, lulus Ujian Nasional (UN) tahun ini? Tentu jawabnya ada dua, lulus atau tidak lulus.
Mari kita simak hasil Ujian Nasional (UN) di sekolah-sekolah kita tahun ini.
Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, ada 267 SMA/MA/SMK --51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta-- yang 100 persen siswanya tidak lulus UN.
Ada 5.795 sekolah atau 35,17 persen dari total 16.467 sekolah menengah tingkat atas di seluruh Tanah Air yang mengikuti UN, yang seluruh siswanya (418.855 orang) lulus.
Sebaliknya, 7.648 siswa berbagai sekolah seluruh Indonesia tidak lulus dan harus mengikuti UN ulang.
Itu data resmi pemerintah.
Walaupun ada UN ulang, mereka yang tidak lulus kadung jatuh mental. Sebagian dari mereka mengekspresikan kekecewaannya secara berlebihan, dari yang mengamuk di sekolah, menagis histeris, hingga mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga.
Kelihatannya sudah menjadi pola. Yang lulus bersukacita, yang tak lulus berduka. Seolah UN adalah medan uji "segala-galanya" sehingga yang tak lulus "habislah sudah."
Persoalannya, berapa persenkah siswa yang lulus dengan cara jujur dan berapa pula yang lulus secara lancung?
Saya jelas menghargai siswa yang tidak lulus karena sangat mungkin mereka jujur, ketimbang mereka yang lulus dengan cara lancung.
Dulu dalam buku Bahasa Indonesia tingkat sekolah dasar ada kisah moral tentang juara lancung.
Saya kurang begitu mengerti lancung itu maknanya apa, tahunya hanya "juara lancung," yaitu juara lewat cara-cara yang tidak jujur. Maka saya artikan cara-cara yang tidak jujur itu sebagai lancung.
Tentu saja idealnya lulus secara jujur karena siswa itu memang siap dan bisa menjawab dengan benar soal-soal yang diujikan, bukan menjiplak atau membeli kunci jawaban dari mafia pembocor soal, atau cara lancung lainnya.
Kalau melihat prosesnya, penyelenggaraan UN memang terkesan sangat menegangkan. Bayangkan, polisi diikutkan menjaga sekolah. Sepertinya gawat sekali. Tapi memang, keadaannya bisa gawat manakala kejahatan bisa muncul dari sana.
Selentingan kabar muncul, karena sekolahnya mengejar tarjet kelulusan 100 persen, ada guru yang malah ikut berbuat jahat; memberikan jawaban ke siswanya.
Sekolah-sekolah akan malu, manakala tingkat kelulusan siswanya kecil. Tetapi, sangat disesalkan jika untuk itu, segelintir otang terjebak di jalan ketidakjujuran.
Persoalannya menjadi sangat serius dan ironis, manakala ketidakjujuran justru berlaku di dunia pendidikan. Ini menyangkut mental!
Dan jika melihat kasus-kasus mafia hukum, mafia pajak, dan segala mafia kejahatan lainnya di negeri ini, maka mentalitas adalah persoalan masa depan bangsa ini.
Kalau pendidikan malah menenggelamkan kejujuran, apa jadinya sumberdaya manusia Indonesia kelak? Pandai, cerdas, profesional, modern, tapi sayang bermental korup, karena tradisi tidak jujur telah ditanamkan di sekolah.
Bangsa kita akan semakin keropos, manakala yang dominan masih tetap mentalitas lancung.
Orang kaya mendadak, menjadi demikian dermawan, dipuji masyarakat yang melihat derajat orang dari materi atau kekayaan yang dimilikinya, tapi belakangan diketahui kekayaannya itu hasil korupsi. Alamak!
Mengapa ketidakberesan-ketidakberesan itu terus berlangsung dan dianggap lazim?
Kalau kita baca "Saya Sasaki Shiraishi, Young Heroes: the Indonesian Family in Politics" terbitan 1997, tradisi lancung telah tertanam lama dalam keluarga-keluarga di Indonesia. "Keluarga" dimanipulasi sedemikian rupa sebagai pembungkus tradisi ketidakjujuran.
Shiraishi menyebutkan tiga hal tentang keluarga Indonesia, setidaknya pada masa Orde Baru.
Pertama, Indonesia adalah dunia koneksi yang maha besar. Masyarakat terbagi ke dalam "kenalan" dan "orang tidak dikenal".
Kedua, dunia koneksi dibangun berdasar gagasan "keluarga", justru karena "keluarga" adalah, dan masih menjadi, penanda kosong. Keluarga merupakan lembaga tempat struktur kekuasaan diwujudkan atas nama "cinta dan tanggungjawab".
Ketiga, kekeluargaan, gagasan keluarga atau familisme dibangun di atas pikiran keluarga, dan memfasilitasi "seperti keluarga" dalam organisasi birokrasi modern seperti di sekolah dan di kantor.
Yang ketiga itu cukup menjelaskan perilaku guru pembocor kunci soal UN demi mengangkat citra sekolah. Sang murid adalah anggota keluarga yang harus ditolong, dan sang guru adalah orangtua yang membantunya memberikan kunci jawaban.
Kita diingatkan oleh istilah sinisme "korupsi berjamaah." Mengapa berjamaah? Karena dilakukan bermai-ramai, akibat sistem sudah sedemikian rupa didikte oleh tradisi dan mentalitas lancung.
Saya kira, kita setujui saja apabila ada yang menyatakan "tidak hanya ada satu Gayus di Indonesia." Gayus yang saya maksud adalah Gayus Tambunan, pegawai pajak yang korup itu. Ia puncak gunung es untuk contoh ketidakjujuran yang muncul di antara sekian banyak yang tidak terungkap.
Penegakan hukum itu wajib, tetapi "revolusi kebudayaan" juga perlu. Maksudnya, menyuntikkan tradisi kejujuran di tengah "keluarga Indonesia."
Walaupun mengandung banyak bias feodal, konsep "keluarga" masih bisa dijernihkan sebagai konsep budaya Timur yang antikorupsi.
Dan itu harus mulai ditanamkan kepada anak-anak kita di sekolah-sekolah. Jangan menjadikan mereka "manusia robot yang cerdas", bangunlah fondasi kejujuran pada karakter mereka.
Alfan Alfian, Dosen di FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Oleh Alfan Alfian
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010