kita harus melakukan revolusi mental, suatu "revolusi kebudayaan" untuk menghancurkan "tradisi" rakus dan manipulatif, dengan mengubahnya menjadi tradisi yang setimbang, adil, wajar.

Jakarta (ANTARA News) - Meskipun sudah dibangun jalan bawah tanah, pertigaan Pasar Minggu, persis depan stasiun kereta, semrawutnya bukan main. Setiap saya lewat situ, angkutan umum "ngetem" sembarangan. Lolos belok kanan ke arah tol Simatupang, pemandangan sekian tahun lalu lekat tersisa.

Para pedagang buah kaki lima jor-joran menarik pembeli. Lihatlah para penjual duku itu. Di sisi sana memajang kalimat "Duku Rp 5000", sananya lagi "Rp4500", di sudut lain menawarkan Rp2500. Ada pula tulisan "Coba cukup 1."

Itulah pemandangan perang harga di kalangan rakyat pedagang kecil kita.

Khusus yang terakhir, saya menduga ditulis karena pernah ada kejadian banyak calon pembeli yang hanya icip-icip.

Sudah tidak membeli, ambil dukunya banyak pula. Biar sama-sama rugi, mending dagangan di makan sendiri, persis penjual kacang yang memakan dagangannya sendiri karena tak ada pembeli.

Kadang mereka mempraktikkan adagium "ora payu pangan dewe," tidak laku makan sendiri. Kenyataanya, menjadi pedagang makanan memang harus siap menanggung risiko "ora payu."

Ada cerita pendek dari Putu Wijaya yang mengisahkan begini: si A mempunyai warung makan yang letaknya berseberangan dengan warung makan si B.

Entah kenapa warung B selalu laris, dagangannya habis. Warung A jual soto, sementara warung B jual sate.

Suatu hari rombongan orang piknik mampir ke warung A. Semuanya ingin sate, maka hijrahlah mereka ke warung B. Si B pun gigit jari, warungnya tidak laku lagi.

Suatu hari ada lagi rombongan orang piknik ke warung A. Mereka pesan sate. Tapi kali ini pemilik warung A bilang warungnya juga ada sate, walaupun dia harus ekspor sate dari warung B.

Dengan langkah gontai, ia diam-diam melangkah ke warung B, tetapi, tiba-tiba seluruh orang yang pesan sate berpindah memesan soto.

Benar-benar kejaiban dan rejeki nomplok.

Kisahnya sederhana, tetapi Putu Wijaya mengisahkannya dengan irama ketegangan sedemikian rupa. Rejeki sudah ada yang mengatur.

Dalam kasus perang harga duku di pinggiran jalan daerah Pasar Minggu, pola persaingannya sama. Mereka harus merayu calon pembeli sedemikian rupa dengan informasi singkat nan jelas. Yang memasang harga terendah, selalu berpikir bisa menarik lebih banyak pembeli.

Apakah memang selalu demikian?

Pembeli berasumsi, tulisan harga-harga itu per kilo. Artinya kalau ada tulisan "Duku Rp5000", maka itu diartikan sekilo harganya Rp5.000. Demikian seterusnya.

Ternyata, praktiknya tidak persis seperti itu. Penjualnya kadang dengan cekatan ambil dukunya, masukkan ke plastik, ditimbang seperlunya, lalu diserahkan ke pembeli.

Kalau Anda protes, sekilo kok ringan, dan terasa sekali timbangan telah direkayasa, penjual membela diri memang sudah sesuai dengan harga tertera.

Dan memang benar tidak ada sekilo. Yang Rp2.500, juga ternyata ukurannya bukan sekilo, tetapi anggap saja sekilo. Duaribu lima ratus saja kok minta sekilo, kira-kira begitulah jalan pikirannya.

Penjual tak merasa bersalah dengan tulisan Rp2500, karena memang tak disebutkan harga itu satuan apa. Artinya, pedagang tidak wajib memberikan barang dalam hitungan per kilo.

Definisi yang tidak begitu jelas itulah yang sering membuat repot.

Pertama, pembeli diberi informasi setengah-setengah, untuk kemudian digiring kepada asumsi bahwa harga-harga itu berlaku untuk per kilo.

Kedua, ketika pembeli protes, maka protes dengan mudah segera bida ditangkis penjual, dengan gaya ludrukan (kan tidak ada tulisannya per kilo).

Saya tidak sedang menyudutkan penjual. Mungkin ini hanya pengalaman saya saja, sudah timbangannya tidak jelas, barang yang diberikan pun jelek-jelek.

Ketika hendak protes, penjualnya malah komentar, "Jangan pelit-pelit Mas sama orang kecil." Saya hanya geleng-geleng kepala, sambil bergumam, "Wah, wah, kok bisa sampeyan berdagang model begini."

Persoalannya tentu bukan saya pelit pada orang kecil. Tetapi, bukankah ini transaksi dagang? Ada timbangannya pula.

"Sekilo kan?"

"Iya, sekilo"

Tetapi ternyata sekilo versi timbangannya, bukan sekilo sebenarnya.

Saya pikir ini persoalan serius. Dalam kasus saya, penjual itu memang telah mengurangi timbangan. Ini bukan saja tidak profesional dan merugikan pembeli, tetapi juga telah melanggar hal yang prinsipil, memanipulasi keadilan. Agama melarang keras praktik itu.

Tetapi, bagaimana kalau mereka menggunakan dalih bahwa mereka orang kecil? Merasa orang kecil, cari uang susah, mereka seolah tak berdosa merekayasa timbangan.

Yang dicontohkan yang bagus-bagus, tapi begitu pembeli setuju, dagangan yang diambil jelek-jelek.

Pembeli pun menggerundel, mencari perbandingan, 'Andai saya beli di supermarket, yang profesional dan takarannya pas."

Inilah dilemanya: kalau terlalu sering membeli barang di supermarket apalagi hipermarket alias pasar modern yang dilindungi kapital demikian besar, maka di kepala saya terngiang-ngiang anjuran para sosialis dalam seminar-seminar, bahwa "Anda telah menjadi bagian dari peminggiran pada pasar-pasar tradisional, sektor informal, yang digerakkan oleh rakyat kecil." Atau, "Anda telah membela Dinosaurus yang memangsa makhluk-makhluk kecil yang seharusnya dibela."

Ironisnya di pasar tradisional, kenapa orang sering menjumpai "mentalitas mengurangi timbangan, bukan "mentalitas timbangan" yang adil dalam bertransaski. Kenapa pula pembeli harus berpayah-payah dulu menawar, sekalipun demi sebuah pisang?

Kenapa begitu ribet? Kenapa pula pembeli harus dipaksa 'menyedekahi' penjualnya?

Kenapa yang terjadi sering antagonistik kalau bukan paradoks: yang profesional yang bermodal besar, yang bermodal kecil (dan karenanya orang kecil) malah tidak jujur.

Sebuah iklan kampanye jual beli secara jujur di televisi belum lama ini saya kira sangat positif. Iklan itu mengkampanyekan agar para penjual tidak mengurangi timbangan. Ini sangat terkait dengan kredibilitas dan kepercayaan pembeli.

Saya kira iklan itu berlaku bagi siapa saja, bukan hanya yang berprofesi pedagang, tetapi juga pengacara, akuntan, manajer, konsultan ini dan itu, dan profesional lainnya. Juga bagi politisi, birokrat, pejabat negara dan sejenisnya. Bahwa "mentalitas timbangan" lah yang seharusnya diutamakan.

Yang adil, yang setimbang, yang jujur, yang wajar.

Kalau Anda pegawai negeri golongan sekian, dengan standard gaji sekian, kok bisa mempunyai mobil mewah dan rumah megah, padahal tidak ada bisnis atau harta warisan apapun? Wajarkah hidup Anda?

Kalau Anda politisi, kok cita-citanya menebus ongkos pemilu dan meraup materi berlipat ganda dengan segala cara memanipulasi kebijakan dan kongkalingkong? Bukankah itu sama dengan mereka yang mengurangi timbangan?

Kalau Anda, apapun profesinya, sengaja atau tidak membiarkan "mentalitas mengurangi timbangan" lestari, adilkah Anda menyalahkan penjual duku yang mengurangi timbangannya itu?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengurus korupsi kelas teri atau super teri, apalagi repot-repot mengusut penjual buah yang mengurangi timbangan. Kecuali kalau penjual buah itu sangat nyata merugikan uang negara di atas satu miliar rupiah.

Polisi dan jaksa sebagai aparat penegak hukum, juga punya skala prioritas.

Rasulullah SAW memberikan teladan, berdagang tanpa pernah mengurangi timbangan. Kalau ada barang cacat, informasikan itu sejelas-jelasnya kepada pembeli sehingga pembeli tidak merasa dirugikan setelahnya.

Tidak pula beliau mengambil laba di luar kewajaran. Semuanya dilakukan secara etis dan terukur. Tidak pula mengenakan riba.

Untuk itu, tampaknya kita harus melakukan revolusi mental, suatu "revolusi kebudayaan" untuk menghancurkan "tradisi" rakus dan manipulatif, dengan mengubahnya menjadi tradisi yang setimbang, adil, wajar. Wallahua’lam.

Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010