Mengurai setiap persoalan kadangkala tidak dapat dilakukan tanpa kita awali dengan definisi dan kesepakatan akan masalah bersama yang sedang dihadapi. Sebab jalan keluar atas setiap masalah baru dapat dilakukan setelah terjadinya kesepakatan atas def

Sahabat, bersama seorang kolega, Asro Kamal Rokan, kami baru kembali dari sebuah perjalanan dinas ke Spanyol, menghadiri Sidang Kantor Berita se-dunia di Madrid. Setelah sidang-sidang selesai, melalui jalur darat, kami menyempatkan diri berkunjung ke Toledo, Cordova dan Granada dipandu oleh seorang pengemudi setempat yang bernama Jose.

Saya ingin berbagi salah satu hikmah perjalanan itu. Banyak inspirasi yang kami peroleh sebagai anak bangsa yang ingin membangun Indonesia lebih baik. Semoga sedikit kisah ini dapat bermanfaat bagi sahabat.

Sabtu pagi itu, tepat pukul 09.00 kami tiba di depan antrian menuju Palacios Nezaras, bagian terpenting di dalam Istana Al Hambra, Provinsi Granada. Pada masa kejayaannya, istana megah itu bernama Istana Nasrid.

Jatah waktu kunjungan yang diperoleh adalah jam 09.30. Dalam tiket yang dibeli dengan biaya € 10, waktu kunjungan ke Palacios Nezaras dibatasi maksimal 30 menit. Waktu kunjungan bagian-bagian lain dari Al Hambra tidak dibatasi. Selain kami, banyak pengunjung dari berbagai negara berdatangan ke Al Hambra.

Sambil menunggu, kami gunakan waktu untuk mengunjungi bagian lain Istana itu, Alcazaba, benteng berwarna merah yang dulu menjadi simbol tangguhnya pertahanan Kesultanan Granada dalam menghadapi pihak-pihak yang menginginkan kejatuhannya.

Di dalam Al Hambra, kami menyaksikan ukiran-ukiran dan untaian kaligrafi kelas dunia di setiap sudut Istana, dan komposisi taman yang disertai air mancur yang indah. Ada juga Gazebo yang dapat menatap Kota Granada dari berbagai sudut. Kami membayangkan betapa para penghuninya dulu menikmati indahnya pemandangan kota sebelum padat seperti saat ini.

Untaian kaligrafi di Al Hambra mengingatkan kami pada untaian kaligrafi pada Mihrab di Mezquita, Cordoba, yang sekarang telah diubah menjadi Katedral. Bentuk kolom-kolom di Mezquita meniru kolom-kolom di Masjid Nabawi, Madinah.

Setelah setengah jam berkeliling di Al Hambra, kami keluar dan menikmati pemandangan Taman Medina dan Generalife di seberang Palacios Nezarios.

Sahabat, seperti juga sahabat telah ketahui, setelah berkuasa di Spanyol yang diawali pendaratan pasukan Thariq bin Ziyad di Gibraltar, dan selanjutnya menaklukkan pasukan Raja Roderick pada tahun 711 M, Kekalifahan Andalusia yang meliputi sebagian besar Spanyol akhirnya lepas ke tangan kekuasaan Raja Ferdinand dan Ratu Isabel pada tahun 1492 M.

Setelah lepasnya Toledo, Cordova, Sevilla dan daerah-daerah lain di Spanyol, Granada adalah pertahanan pemerintahan muslim terakhir pada waktu itu.

Ada kisah kepemimpinan yang luar biasa. Setelah memerintahkan pembakaran semua kapal yang membawa pasukannya menyeberang dari Afrika Utara ke Spanyol sesaat mendarat di Gibraltar, Thariq berpidato singkat; "lawan di depan kamu, lautan di belakang kamu, silakan pilih mana yang kamu kehendaki". Pidato Thariq itu hingga kini sering jadi salah satu pelajaran tentang kepemimpinan di berbagai pelatihan.

Kisah awal penaklukan Spanyol di Guadalete oleh Thariq setelah mendarat di Gibraltar itu, telah menjadi salah satu kisah keberanian terbesar di dunia, dimana pasukan Thariq yang hanya berjumlah sekitar 12 ribu mampu mengalahkan pasukan Visigoths di bawah kepemimpinan Raja Roderick yang waktu itu berkekuatan lebih dari 100 ribu orang.

Dalam beberapa catatan sejarah, kisah jatuhnya Kerajaan Gothik di bawah kepemimpinan Raja Roderick itu diawali oleh perpecahan di dalam unsur Kerajaan Gothik itu sendiri.

Kedatangan Thariq disambut dan bahkan awalnya dibantu oleh sebagian dari unsur kerajaan yang tidak puas atas kepemimpinan Raja Roderick, diantaranya adalah Oppas dan Achila, kakak dan anak dari Witiza. Witiza adalah penguasa Toledo yang diberhentikan oleh Roderick ketika ia memindahkan ibu kota Kerajaan Gothik dari Sevilla ke Toledo secara sepihak.

Selain Oppas dan Achila, Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah, juga berkonflik dengan Roderick, dan sempat meminjamkan kapalnya ke pasukan muslim. Pusat pemerintahan muslim di Afrika Utara merasa diundang untuk menaklukkan Spanyol.

Moral pasukan Roderick yang parah dan sikap apatis rakyat yang merasa ditekan bertahun-tahun memuluskan langkah pelebaran daerah penaklukan Spanyol sampai ke Toledo, Ibu Kota Gothik.

Terdapat dua tokoh lain yang berperan besar dalam penguasaan Spanyol saat itu, yakni Tharif bin Malik dan Musa bin Nushair. Pasukan Thariq dan Musa bertemu di Toledo setelah menempuh pertempuran di wilayah Spanyol dan semenanjung Iberia yang berbeda.

Kurang lebih 7,5 abad, kaum muslim berkuasa di Spanyol. Dalam kurun waktu tersebut, Toledo, Cordova dan Sevilla merupakan pusat peradaban dan pengembangan ilmu pengetahuan di Eropa.

Sebagai contoh, salah satu tokoh ilmu pengetahuan muslim yang hidup di Cordova pada masa itu, Ibnu Rusyd, amat dikenal di Eropa sebagai Averros, adalah tokoh filsafat dan perintis ilmu kedokteran. Banyak tokoh lain dalam bidang filsafat, sains, sastra, seni, arsitektur, teknologi irigasi dan teknik sipil yang menginspirasi bangsa-bangsa di Eropa yang kemudian memantik Rennaisance Eropa pada abad pertengahan.

Sejarah berulang. Ada kisah penaklukan, namun ada juga kisah keruntuhan. Kepemimpinan muslim jatuh kembali satu persatu ke tangan para penguasa wilayah Spanyol lainnya.

Kejatuhan kekuasaan muslim di Spanyol dimulai oleh jatuhnya Toledo pada tahun 1085 M, menyusul Cordova pada tahun 1236 M yang ditaklukkan oleh Raja Alfonso VII dari Castilia, dan selanjutnya menyusul Sevilla, dan Malaga oleh Raja Ferdinand. Granada adalah wilayah terakhir ditundukkan.

Kisah runtuhnya Raja Roderick rupanya tidak menjadi pelajaran bagi para penguasa muslim saat itu. Dinasti Ahmar yang saat itu berkuasa di Granada (1232-1492) tetap mendorong pengembangan peradaban namun tidak kuasa mengendalikan ego kekuasaan dan politik Istana yang membawa perpecahan.

Menurut catatan sejarah, anak sultan dari Dinasti Ahmar yang berkuasa saat itu, Abu Abdullah Muhammad, tidak dapat menerima keputusan ayahnya yang menunjuk orang lain sebagai Raja. Abu Abdullah malah berkomplot dengan Raja Ferdinand dan Ratu Isabel untuk merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri.

Namun belakangan, setelah Abu Abdullah berkuasa, Raja Ferdinand dan Ratu Isabel menaklukkan Granada dan merebut Al Hambra, sehingga Abu Abdullah terusir ke Afrika Utara. Tercatat dalam sejarah, kisah kejatuhan Granada ini sebagai salah satu kisah paling keji dalam sejarah kemanusiaan yang tidak perlu diuraikan disini.

Sahabat, kita dapat mengambil pelajaran apa saja dari kisah itu, tergantung sudut pandang kita masing-masing. Salah satu pelajaran penting bagi kita adalah soal pengulangan sejarah kejatuhan kekuasaan di berbagai bangsa, pada berbagai generasi di dunia, tidak terkecuali pernah terjadi di negeri kita.

Kejatuhan Kerajaan Gothia, Granada dan bahkan kejatuhan Majapahit, kerajaan terbesar Nusantara pada abad pertengahan dimulai oleh persoalan di dalam perebutan kekuasaan itu sendiri.

Melibatkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah sendiri dan ego kekuasaan telah menjadi awal kehancuran berbagai bangsa di dunia. Jatuhnya Kesultanan Banten juga terjadi karena Sultan Haji bermain mata dengan Hindia Belanda.

Maukah kita belajar dari sejarah-sejarah masa silam itu untuk sama-sama membangun negeri ini? Sebab, hasrat kekuasaan yang tidak dibingkai dalam visi besar mencintai negeri ini malah akan menjadi awal kehancuran negeri kita sendiri.

Pelajaran ini dapat diletakkan dalam konteks peran pada lingkungan kita masing-masing, rumah-tangga, organisasi, perusahaan dan bahkan persoalan negara sekalipun.

Mengurai setiap persoalan kadangkala tidak dapat dilakukan tanpa kita awali dengan definisi dan kesepakatan akan masalah bersama yang sedang dihadapi. Sebab jalan keluar atas setiap masalah baru dapat dilakukan setelah terjadinya kesepakatan atas definisi masalah bersama terlebih dahulu.

Mungkin sahabat setuju dengan saya, sejatinya kita lebih memahami masalah yang sedang kita hadapi daripada orang lain di luar sana, dan sejatinya kitalah yang paling tahu jalan keluarnya.

Yang diperlukan adalah mendudukkan masalah dan mencari jalan keluar bersama dengan kepala dingin dengan bingkai besar bersama. Negeri ini tidak boleh menderita terlalu lama. Sebab, setelah krisis multi dimensi pada tahun 1997, negeri ini banyak dipuji sebagai negeri yang tahan banting. Seorang investor pernah berujar "despite the messy things happened, the good things finally prevail”.

Semuanya sangat mungkin dijalani bila kita mampu mengelola ego untuk tujuan yang lebih besar yang kita ingin raih sebagai bangsa. Kisah kejatuhan Raja Gothik, Granada, dan Majapahit dapat dijadikan cermin untuk kita hindari. Bila pun negeri ini masih utuh, boleh jadi kita terus lari di tempat.

Saat berkunjung ke Jakarta pada akhir tahun 2006, pakar strategi pengembangan daya saing bangsa, Michael E. Porter, belajar dari risetnya terhadap negeri-negeri yang kompetitif di berbagai belahan dunia, ia menyampaikan saran kepada kita agar mengolah energi untuk mendorong produktivitas dan agenda membangun kesejahteraan ketimbang saling menghancurkan dari dalam.

Sahabat, kita semua punya kesempatan yang sama untuk menentukan bulat dan lonjongnya peradaban dan masa depan negeri ini. (***)

Penulis adalah Praktisi Manajemen dan Pengamat Kepemimpinan.

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010