Kita sebaiknya selalu ke depankan pertanyaan; ’apa yang sudah saya berikan buat anak, pasangan hidup, saudara, orangtua, bangsa dan Sang Maha Pencipta?’ Pertanyaan itu harus selalu tertanam kuat dalam setiap aktivitas kita.Suatu hari seorang pebisnis datang ke Ustadz Yusuf Mansur (Anda tentu tahu Ustadz Yusuf Mansyur bukan?). Di depan Ustadz Yusuf, sang pebisnis berkeluh-kesah.
“Ustadz, saya pikir adik saya sudah durhaka pada saya. Waktu kuliah dulu saya yang membiayai. Saat menikah saya juga yang menikahkan dan menanggung semua biayanya. Sekarang, hanya dengan bekal modal kuitansi atas namanya, dia menggugat saya ke pengadilan. Dia menggugat, rumah yang saya tempati adalah miliknya. Padahal rumah itu saya beli dari hasil tetes keringat saya sendiri. Saya nggak habis pikir, kenapa dia begitu. Saya minta wiridnya ustadz. Saya ingin agar adik saya sadar dan tidak usah membawa permasalahan itu ke pengadilan. Saya malu dengan banyak orang."
Ustad Yusuf pun bertanya, "dari mana uang yang Anda gunakan untuk membangun rumah?" Sang pebisnis menjawab, "dari jerih payah usaha saya. Saya pernah punya usaha pom bensin tapi sekarang sudah bangkrut."
“Lalu darimana modal usaha pom bensinnya?” tanya Ustadz Yusuf lagi. Sang pebisnis terdiam. Sambil menghela nafas panjang dia berkata “modal usaha pom bensin saya peroleh dari hasil penjulan tanah milik ibu saya. Saya jual tanah itu tanpa izin ibu. Ibu kecewa. Tak lama setelah itu ibu dipanggil Yang Kuasa."
"Itulah sebab musabab problem Anda. Memulai usaha dengan uang yang tidak bersih bahkan dengan cara menyakiti ibu kandung. Ironisnya, Anda belum sempat meminta maaf kepada ibu Anda dan dia sudah meninggal dunia,” jawab Ustadz Yusuf.
"Lalu saya harus bagaimana?” tanya sang pebisnis.
"Ikhlaskan rumah itu buat adik Anda. Kehidupan Anda takkan berkah dari rumah yang didapat dengan cara seperti itu," jelas Ustadz Yusuf. Buliran air mata bergulung di pipi sang pebisnis.
Dengan tersengal dia bertanya lagi, "lalu kemana keluarga saya harus berteduh?”
Ustadz Yusuf menjawab, "Allah swt Maha Kaya, pasti ada jalan yang akan Dia berikan."
Sesampainya di rumah sang kakak memanggil adiknya, "Dik daripada kita bertengkar di pengadilan dan hubungan persaudaraan kita rusak hanya karena rumah ini, aku serahkan rumah ini untukmu. Abang ikhlas, rumah ini sebenarnya milik ibu bukan milik Abang. Mulai hari ini, rumah ibu ini Abang serahkan sepenuhnya untuk kamu."
Sang adik berdiri dan kemudian memeluk sang kakak sambil berkata, "Bang, rumah ini adalah rumah Abang, ambilah. Aku tidak ingin meneruskan banding di pengadilan. Tinggalah dengan damai di rumah ini bersama istri dan anak-anak Abang. Aku bangga jadi adik Abang. Aku tak ingin kehilangan Abang......" Keduanya berpelukan penuh haru.
Kisah nyata di atas memberi satu pelajaran kepada kita. Bila kita selalu berpikir ‘apa yang akan saya dapat?’ (‘To Get’) maka yang kita peroleh adalah kegelisahan dan permusuhan. Sebaliknya, jika kita hanya berpikir ‘apa yang bisa saya berikan?’ (‘To Give) maka yang kita peroleh pastilah kedamaian, rasa hormat, rasa cinta dan persaudaraan.
Tatkala kita berpikir ‘To Get’ hakikatnya kita masih terjajah. Terjajah oleh harta, terjajah jabatan, terjajah kepentingan dan terjajah oleh gengsi. Orang-orang merdeka adalah orang yang di dalam dirinya tertanam kuat sikap ’To Give’. Bila ia memiliki harta, ilmu dan karunia lainnya ia selalu berpikir kepada siapa semua itu harus dibagi. Yang ada di kepalanya hanyalah...berbagi... berbagi...dan berbagi.
Negeri ini akan terus tumbuh, berkembang, maju dengan diliputi rasa cinta damai dan persaudaraan serta kemuliaan, bila sebagian besar kita mengembangkan sikap ’To Give’ ketimbang ’To Get’. Kita sebaiknya selalu ke depankan pertanyaan; ’apa yang sudah saya berikan buat anak, pasangan hidup, saudara, orangtua, bangsa dan Sang Maha Pencipta?’ Pertanyaan itu harus selalu tertanam kuat dalam setiap aktivitas kita.
Buang jauh sikap ’To Get’ dalam keseharian kita. Bila semua orang sudah bersikap ’To Give’ maka kita sudah boleh mengatakan bahwa kita memang sudah MERDEKA. (***)
Oleh Jamil Azzaini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009