Pak Dadang meminta kami belajar bercocok-tanam di halaman sekolah dan kadang-kadang memasaknya bareng pada sore hari untuk mengajarkan kami bahwa setiap hasil akhir ditentukan oleh awal dan proses yang harus disirami dan dirawat dengan baik.

"Pengaruh seorang guru bersifat kekal, ia tak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir" (Henry Adams)

Dalam rangka Hari Guru tahun ini saya ingin berbagi kisah seorang guru luar biasa yang telah membangun dasar-dasar kreativitas di sebuah kota kecil di bagian terbarat Pulau Jawa, Pandeglang. Guru luar biasa itu bernama Dadang Muwardi. Pada Agustus tahun ini beliau pensiun.

Suatu hari tiga puluh dua tahun lalu, Pak Dadang memerintahkan agar kami mengatur tempat duduk dalam posisi letter U. Kami menurut saja. "Biar semua saling melihat dan berhadapan," ujarnya. Pak Dadang adalah guru kelas 6 SDN 4 Pandeglang, sekolah kami.

Kami laksanakan instruksi itu dengan gembira. Tentu saja, saat itu kami tidak tahu maksudnya. Jadilah kami semua "duduk di depan", seperti layaknya kelas sebuah pelatihan eksekutif sekarang. Saat itu, praktik pengajaran yang ia lakukan sangatlah tidak lazim. Sebagai guru, dia mengajar di tengah kelas, bukan di depan seperti lazimnya kelas yang lain.

Setiap hari, Pak Dadang mengajar berbagai mata pelajaran yang kami suka. Kami bisa belajar matematika seharian, kalau kami bilang ingin belajar matematika. Begitu juga mata pelajaran lain. Namun, ia memberi syarat, semua mata pelajaran wajib ada jatahnya dalam seminggu.

Kami juga sering diajak main bola, mencari cacing, mancing bareng, bercocok tanam, latihan kepemimpinan dan serangkaian kegiatan lapangan lainnya. Hasil dari bercocok tanam boleh dibawa pulang ke rumah untuk dimasak. Kami bergantian jadi komandan upacara bendera dan latihan baris-berbaris. Entah mengapa, aku paling sering kebagian tugas membaca teks Pancasila.

SDN 4 Pandeglang bukan sekolah alam, namun kami punya "kebebasan" seperti itu di bawah bimbingan Pak Dadang. Tak jarang kami pulang malam ke rumah, karena kegiatan bareng bersama beliau. Para orang tua tidak ada yang mempersoalkan, setelah masing-masing pernah mengecek ke sekolah kami.

Masa-masa itu merupakan salah satu masa kanak-kanak yang paling menyenangkan, sebelum akhirnya aku harus pindah sekolah karena ayahku pensiun dan menamatkan setengah tahun terakhir SD di sekolah yang lain. Saat itu ada tambahan setengah tahun pelajaran, akibat kebijakan Mendikbud baru, Prof. Daoed Joesoef.

Hari Minggu (29/11) kami murid-murid Pak Dadang (kini 60 tahun) menjenguknya di rumahnya. Beliau menderita stroke menjelang pensiun dari tugas mengajarnya pada Agustus 2009. Entah apa penyebab strokenya, nampaknya mengajar dan bergaul dengan murid-muridnya adalah panggilan hatinya.

Beliau pensiun sebagai pengajar senior di SDN 9 Pandeglang. Pak Dadang beristri Ibu Eneng dan dikaruniai satu putra, Faris (13 tahun), duduk di kelas 2 SMP. Kini, Pak Dadang terpaksa menggunakan tongkat, namun tetap antusias menerima kedatangan kami, murid-muridnya.

Teman, Lagi-lagi, banyak orang biasa melakukan tindakan-tindakan luar biasa. Tiga puluh tahunan lalu, Pak Dadang menggunakan metode pendidikan yang amat langka saat itu yang bertujuan melatih kreativitas anak-anak. Praktik metode itu masih langka di zamannya. Dia punya ide dan keberanian mewujudkan idenya. Menurutnya, ide tersebut diizinkan oleh Kepala Sekolah SDN 4 waktu itu, Bu Larasati, yang kini sudah wafat.

Aku ingat wajah Bu Larasati itu, karena beliau teman ayahku. Ayahku pernah cerita riwayat pertemanannya dengan Bu Laras saat di HIS. Wajahnya manis keibuan dan selalu tersenyum bila menatap anak-anak didiknya. Ide dan keberanian Pak Dadang didukung oleh kepemimpinan Bu Larasati, yang menghadirkan kreativitas di sekolah kami.

Belakangan, saat di SMA, kami diperkenalkan metode pendidikan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun, praktik CBSA di sekolah kami tidak "sebebas" saat kami diasuh Pak Dadang itu.

Yang paling aku ingat saat praktik CBSA adalah murid diminta menulis bahan pelajaran di papan tulis, yang lain menyalinnya. Kadang-kadang, kami gantian membacakan dan mengulang bahan pelajaran, yang lain mendengarkan dan mencatatnya.

Pada hari minggu itu, kami yang datang menjenguk Pak Dadang menyampaikan terima kasih atas ilmu yang beliau tanam kepada kami. Insya Allah, ilmu yang bermanfaat bakal menjadi salah satu amalan tak terputus kelak, amien.

Pengaturan meja dan bangku berbentuk U saat itu tak terasa telah membentuk dasar-dasar egaliter pada kami, anak didiknya. Kami tidak dilarang berdebat dan saling berdiskusi. Aku pernah dilarang duduk sebangku terus dengan salah satu temanku, Machsus Thamrin (sekarang wartawan senior ANTV).

Machsus adalah bintang pelajar saat itu. Pak Dadang rupanya ingin aku lebih percaya diri dengan sebangku dengan yang lain. Pak Dadang juga menganjurkan kami menjenguk Shanty, salah satu teman kami yang sedang sakit ke rumahnya pada jam sekolah. Dia mengajarkan kasih tanpa kata-kata, melainkan dengan perbuatan.

Pak Dadang meminta kami belajar bercocok-tanam di halaman sekolah dan kadang-kadang memasaknya bareng pada sore hari untuk mengajarkan kami bahwa setiap hasil akhir ditentukan oleh awal dan proses yang harus disirami dan dirawat dengan baik.

Banyak pelajaran yang kami peroleh dari beliau, tak terhitung. Kami yakin, Allah SWT, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan membalas semua budi baiknya.

Teman, Minggu lalu kita telah merayakan Hari Guru, mari kita ingat ketulusan dan kebaikan mereka dalam mendidik kita. Sungguh tak ternilai budi baik mereka, meski kadang mereka sendiri melupakan budi baik itu, karena mereka senang dan ikhlas melakukannya, subhanallah. (***)

Praktisi Manajemen, Pengamat Kepemimpinan, tinggal di Bogor

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009