Kalau Anggada mengabdi kepada misi kemungkaran, maka tokoh pewayangan Togog kerapkali mendapat misi pengabdian kepada penguasa angkara murka, mulai dari Rahwana sampai Duryudana.Jakarta (ANTARA News) - Benar bahwa figur Anggada ditampilkan dalam lakon "Anggada Duta" sebagai monyet kurang brilyan dibandingkan dengan Anoman. Rahwana mewartakan kabar isapan jempol bahwa ayahnya Subali dibunuh secara keroyokan oleh Sugriwa dan Rama. Buntutnya, Anggada disiram angkara murka tanpa disertai pikir panjang. Busyet!
Yang membuat urat kemarahan Anggada menegang, Rahwana meniup gosip bahwa Dewi Tara, istri Sugriwa sekarang dulunya adalah istri Subali, jadi adalah ibunya Anggada, dirampas secara paksa oleh Sugriwa. Konklusinya, busyet...busyet...busyet. Mengapa?
Rahwana dipenuhi tipu daya. Ketika Anggada diutus Rama sebagai duta ke Alengka untuk menawarkan warta perdamaian, Rahwana alias Dasamuka malahan menawarkan minuman keras (miras). Anggada sontak mabuk kemudian mengobrak-abrik balatentara Sukawati.
Setelah terlibat duel ronde demi ronde dengan Anoman, setelah kerusakan sana-sini tampak di depan mata, Sugriwa mengisahkan skenario sebenarnya, bahwa telah terjadi kesalahpahaman pada Subali. Dedengkotnya Rahwana yang melancarkan politik bumi hangus.
Kalau Anggada mengabdi kepada misi kemungkaran, maka tokoh pewayangan Togog kerapkali mendapat misi pengabdian kepada penguasa angkara murka, mulai dari Rahwana sampai Duryudana. Meski terus gagal, Togog bersetia kepada hakikat tugas, bukan semata kepada penguasa. Ia berusaha meluruskan jalan para bedebah.
Togog punya syahadat. "Alangkah sukarnya menjalankan selaksa pekerjaan. Tapi, inilah tugasku. Memang, aku merasa tak sanggup berada pada pihak yang tersulut murka, tapi aku telah berjanji. Dan setiap janji harus ditepati bukan? Yang tak menepati janjinya tak akan memperoleh kepercayaan lagi. Jagalah kejujuran. Aku sendiri tak akan berhenti, sebelum maksudku terlaksana," kata Togog seperti dikutip dari Komik Wayang Purwa 4, tulisan S. Ardisoma dan Hadis Sudarma. Sepenggal politik pengabdian.
Bagaimana narasi Anggada dan narasi Togog berdenyut bagi narasi politik yang kerap tersentuh kegaduhan. Satu lagi nukilan kisah bertajuk Roma Lautan Api. Berbekal nota empat kata bahasa Latin "Non licet esse vos" (kalian semua tidak sah), penguasa kekaisaran Roma melabel kelompok anti-Roma sebagai begundal negara. Negara dengan huruf besar merampok nyawa para "toekang kritik" yang kerap memilih jalan "nyeleneh".
Tersebutlah sederet nama penjagal manusia dari elit penguasa Roma: Kaisar Nero, Trayanus, Adrianus, Antoninus, Markus Aurelius, Septimus Severus, Maksiminus, Desius, Valerianus, dan Diokletianus. Mereka mengobarkan kebencian secara sporadis dengan menghalalkan segala cara demi mengail tujuan sebanyak-banyaknya.
Nero, salah satu haramjadahnya. Untuk meredam gunjang-ganjing terbakarnya Roma, Nero memvonis kelompok anti-Roma sebagai kelompok yang hendak melakukan aksi makar terhadap otoritas Negara.
Para pembangkang ini disebut-sebut sebagai kelompok yang menolak membayar pajak. Kelompok anti-Roma lebih memilih untuk mengikuti kata hati dengan menolak untuk mengkultuskan para kaisar itu. Adagium kelompok ini, menolak penistaan terhadap martabat manusia.
Ditokohkan sebagai figur yang piawai memainkan tik-tak kontra-intelijen, Kaisar Nero membentuk opini publik. Caranya, ia menciptakan masalah yang dalam kenyataannya rekayasa belaka. Mereka yang kerasukan teori konspirasi menyatakan hubungan antara penganiayaan dengan kebakaran Roma adalah tidak langsung.
Taktik ini menyihir publik. Diperlukan pembentukan tim pencari fakta (TPF) mengenai tragedi Roma Lautan Api agar keluar rekomendasi bagi tindakan mendesak.
Penganiayaan pada zaman Nero, menurut ahli sejarah yang mengajar di STF Drijarkara, Prof Dr Eddy Kristiyanto, berefek ganda. Yang pertama, ada fitnah dan dusta yang dikobarkan elite di kalangan anggota masyarakat waktu itu.
Yang kedua, siksa dan pembunuhan terhadap kelompok anti-Roma merupakan praksis yang mempunyai dasar hukum (legal formal), sekurang-kurangnya Nero membuat proklamasi untuk memenuhi hasratnya membunuh dan menghabisi kelompok oposisi Negara.
Kisah Anggada, kisah Togog dan kisah Nero diadili di hadapan pengadilan sejarah. Sejarah itu berulang (l'Histoire se repete), kata orang Prancis. Dalam sejarah ada guratan tanda-tanda zaman.
Seorang yang membaca tanda-tanda zaman mampu mengatakan apa yang sedang menghilang dalam sejarah dewasa ini. Dan lintas sejarah nomor wahid bagi peradaban yakni Don't stop on The Underdog. Jangan menyepak orang yang sudah setengah mati, jangan menindas orang yang tak berdaya.
Sejarah, dalam kebudayaan Yunani, mengandung arti visi. "Historia" berarti melihat. Histor berarti dia yang melihat, dia yang mengetahui, karena telah melihat. Histor berarti pula saksi, wasit, atau hakim. Sejauh ia tampil sebagai saksi, ia menghakimi, dengan demikian histor terkait dengan keadilan (dike). Sejarawan merapat kepada keadilan. Sejarawan mengatakan apa yang dilihatnya secara adil.
Menurut sejarawan Herodotos, tindakan manusia terus jatuh dalam lupa bersama waktu. Menurut Thucydides, peristiwa masa depan seperti sifat manusia akan tetap berjalan sama atau serupa dengan masa lalu.
"Hakekat semua hal adalah tumbuh dan lenyap," katanya. Menurut dia, satu-satunya regenerasi yang dikenal manusia yakni regenerasi alam, musim panas dan musim dingin, kelahiran dan kematian. Inilah daur sejarah manusia yang meniti ziarah peradaban sebagai saksi tanda-tanda zaman.
Politik bumi hangus yang dilancarkan Rahwana, politik kemungkaran yang diperankan Anggada dan politik teror yang diusung Nero akhirnya diadili kepada meja hijau sejarah. Anggada, Togog dan Nero disergap rezim totaliter dalam dirinya. Mengapa muncul rezim totaliter?
Filsuf perempuan Hannah Arendt menjawab rezim totaliter muncul dari ketiadaan berpikir, krisis berpikir. Kalau Anggada, Togog dan Nero memainkan tonil kehidupan sebagai birokrat, maka mereka melakonkan drama kehidupan sebagai birokrat yang tidak berpikir (thoughtless). Ketiganya melaksanakan tugasnya dengan baik, tenggelam dalam rutinitas tugas birokratis tanpa ada saat untuk berpikir dan berefleksi.
Saatnya berlomba menjadi "wong utama" dengan melihat watak ksatria. Dan Louis XIV dari Prancis berujar, "Etat, c'est moi". (*)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009