Berbagai argumentasi dilontarkan elite untuk menguatkan pandangan bahwa pemerintahan kuat harus dibangun di atas harmoni besar eksekutif dan legislatif. Sayang, elite acap melontarkan argumentasi itu dengan mengesampingkan keutuhan tafsir demokrasi
Tawaran koalisi dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Partai Golkar dan PDIP umum dipraktikan negara-negara demokrasi. Benjamin Netanyahu dan Partai Likud melakukannya kepada Partai Kadima dan Partai Buruh, sementara di India, Partai Bharatiya Janata (BJP) menjajaki koalisi besar dengan Partai Congress yang beroposisi.
Partai Buruh menerima pinangan Netanyahu karena ingin mengimbangi pengaruh ekstrem kanan pimpinan Avigdor Liberman pada sistem kebijakan politik Israel, sedangkan Kadima menolak karena ingin operasi kekuasaan dikawal check and balance dari luar kabinet.
Tawaran koalisi dari pemenang pemilu selalu diungkapkan demi membangun pemerintahan stabil, kuat dan efektif. Lainnya, untuk memperbanyak opsi manakala mitra koalisi susah dikendalikan.
Sayang, kontrol dari parlemen menjadi lemah karena pemerintahan kuat meminta syarat, dilompatinya perdebatan luas di parlemen. Inilah yang sedang terjadi di Amerika Latin.
Di Venezuela, Presiden Hugo Chavez bertindak jauh dengan mendorong amandemen UUD demi pasal "presiden seumur hidup". Nicaragua di bawah Daniel Ortega, Evo Morales di Bolivia, dan Rafael Correa di Ekuador menirunya.
Merasa cita-cita mewujudkan masyarakat sosialis terhambat oleh masa jabatan yang terbatas, mereka mendorong referendum perubahan masa jabatan presiden menjadi lebih lama.
Bahkan pemerintahan kanan Presiden Kolumbia lvaro Uribe yang koalisinya menguasai lebih dari 50 persen kursi legislatif, ikut tergoda mengamandemen konstitusi masa jabatan presiden dari dua periode, menjadi tiga periode.
AS di bawah George Bush Jr juga pernah melewati masa di mana legislatif dan eksekutif kompak, tetapi itu mendorong AS menciptakan blunder dalam isu Irak, perilaku liar perbankan, dan penahanan tersangka terorisme, yang membuat kredibilitas AS terpuruk.
Diam-diam negara-negara demokrasi kepincut oleh gaya otoriter sejumlah negara seperti China, yang bisa merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan secara efisien dan efektif, termasuk pada soal-soal kritis semisal terorisme seperti ditunjukkan Singapura.
Bahkan Obama pun sempat merangkul faksi liberal di Partai Republik demi memuluskan legislasi kebijakan-kebijakan publik sehingga rehabilitasi ekonomi AS berlangsung cepat. Tapi dia akhirnya sadar atmosfer politik demokratis mesti dibangun dari kematangan argumentasi, sekali pun itu merugikannya, seperti alotnya legislasi perlindungan kesehatan.
Manipulatif
Berbagai argumentasi dilontarkan elite untuk menguatkan pandangan bahwa pemerintahan kuat harus dibangun di atas harmoni besar eksekutif dan legislatif. Sayang, elite acap melontarkan argumentasi itu dengan mengesampingkan keutuhan tafsir demokrasi universal.
Lebih parahnya lagi, pada demokrasi pasar dan pop seperti sekarang di mana kehendak publik bisa didesain oleh para peracik pesan dan usahawan opini publik, argumentasi setengah mentah pun menjadi seolah kehendak luas publik.
"Manipulasi sikap dan perilaku massa adalah inti sistem demokrasi dan itu dilakukan oleh media massa, industri hiburan, pakar, dan pihak lainnya. Itu adalah doktrin utama kekuasaan yang dipahami elite, dan elite akan melakukan apa saja untuk itu," kata linguis dan kritikus demokrasi, Noam Chomsky.
Seorang pemuka partai besar Indonesia berkata, tak mungkin partainya beroposisi karena kader-kadernya banyak menjadi kepala daerah. Padahal, sebagai perbandingan, dari 55 gubernur di AS yang sedang dibawahi Obama, 24 diantaranya berasal dari Partai Republik yang notabene berseberangan dengan Obama.
Para presiden sistem presidensial di Meksiko, Brazil dan Filipina, juga berkuasa dengan sebagian kepala daerahnya dari oposisi, bahkan Presiden Felipe Calderon membawahi 17 gubernur asal Partai Institusional Revolusioner yang beroposisi, atau 55 persen dari total 31 gubernur di Mexico.
Argumentasi elite acap tidak mereferensi praktik positif di luar negeri, sampai-sampai demi membenarkan pandangan bahwa sistem presidensial tak memberi ruang untuk oposisi, seorang pembesar parpol di Indonesia tandas menyatakan tak ada satu pun negara yang bersistem presidensial dan parlementer sekaligus.
Padahal Prancis yang semipresidensial, mengkombinasikan kedua sistem itu. Demikian pula Taiwan, Ukraina, Finlandia, Pakistan, Rusia, Srilanka, Mesir dan Lebanon.
Eksekutif di negara-negara itu bisa dijabat oleh partai yang sama seperti Prancis atau dari parpol berbeda seperti Srilanka dan Lebanon.
Wujud komitmen politik seperti koalisi pun dipesankan terang ke publik sejak awal, bahkan sebelum pemerintah baru dibentuk atau kerja pemerintahan baru dimulai.
Di Brazil yang presidensial murni, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva yang mendapat 60,8 persen suara pada Pemilu 2006 menggandeng Jose Alencar dari parpol mitra koalisinya sebagai wakil presiden, sedangkan di Filipina, Gloria Macapagal Arroyo memberi tempat wakil presiden kepada mitra koalisinya Noli Castro dari kubu independen.
Pun dengan negara-negara demokrasi parlementer. Jerman misalnya, Kanselir Angela Merkel memberi tempat layak pada mitra koalisinya dari Partai Sosial Demokrat yang dalam pemilu September 2009 menjadi lawannya, Frank-Walter Steinmeier, sebagai menteri luar negeri, posisi pemerintahan krusial kedua di Barat.
Netanyahu memegang komitmen awal koalisi dengan tetap memberikan jatah menteri luar negeri --jabatan publik terkuat kedua-- kepada Liberman, padahal postur Partai Buruh yang berkoalisi kemudian, lebih besar daripada partainya Liberman, Yisrael Beiteinu.
Seimbang
Ibarat atlet yang memenangkan lomba, pemenang pemilu dan peserta koalisi seharusnya dianggap wajar menuntut konsesi, lewat representasi dalam kabinet atau formasi politik tertentu.
Ini soal logika dan membangun mutual trust dalam perikatan politik, sekaligus memberi ruang pada elite untuk membuktikan janji-janji politiknya selama kampanye. Itu adalah konsekuensi demokrasi.
Loyalitas politisi kepada parpol memang menjadi fokus kekhawatiran nasional, tapi memotong habis ikatan elite dengan parpol, bisa juga berakhir buruk pada demokrasi.
Parpol akan kian diperlakukan sebagai batu loncatan atau transit menuju kekuasaan dan kehilangan peluang membangun landasan ideal dan etik perjuangan politiknya, apalagi untuk mematangkan demokrasi.
Konsekuensinya, kepercayaan publik pada parpol terbunuh karena kita terus memperlakukannya sebagai etalase untuk membeli suara publik, yang hanya buka saat-saat pemilu dan dicampakkan begitu kekuasaan diraih. Demokrasi pun menjadi hampa kehilangan esensi, karena tak ada yang abai pada penguatan institusi-institusi politik.
Padahal, mengutip Doug Perkins dalam "Political Parties and Democracy; A Comparatice Analysis of Party Mobilization," demokrasi itu meniscayakan hadirnya sistem kepartaian yang kuat agar tetap hidup.
Haluan kontrak politik tegas dari Presiden Yudhoyono kepada menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II agaknya sudah cukup kuat menjadi rambu bagi pemangku kebijakan publik untuk tidak partisan.
Dari beberapa gambaran itu, adalah penting bagi elite untuk mempresentasikan kondisi-kondisi ideal politik, yang ditarik dari tafsir kekuasaan yang lengkap dan mereferensi hal-hal positif dari praktik demokrasi di luar sana secara seimbang nan pada tempatnya.
Yaitu, tafsir yang tak melulu dilahirkan dari atmosfer teatrikal dan selebritikal yang kerap senjang esensi. Sebaliknya, dikemukakan berdasarkan pengenalan mendalam elite pada realitas lokal dan kompleksitas bangsa, searif pemikiran orang-orang bijak sekelas Nurcholis Madjid dan Mohammad Hatta, dan serinci pakar-pakar sekaliber Daniel Lev atau William Liedle saat membedah Indonesia.
Semua itu diangkat agar praktik kekuasaan tidak berjalan di atas teras tafsir yang ambigu, apalagi koruptif. (*)
Oleh Jafar M Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009