China memang kolosal. Negeri ini negeri besar yang suka mengadakan hal besar-besar untuk menunjukkan kebesarannya. Setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu, kali ini China kembali menggelar pertemuan tingkat dunia bagi para pemilik, pener
China memang kolosal. Negeri ini negeri besar yang suka mengadakan hal besar-besar untuk menunjukkan kebesarannya. Setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu, kali ini China kembali menggelar pertemuan tingkat dunia bagi para pemilik, penerbit, dan CEO media yang dinamakan World Media Summit atau WMS pada 9-11 Oktober 2009.
Maka tumplek blek para tokoh pers di Beijing. Ada raja media Rupert Murdoch yang juga bos News Corporation. Ada David Schlesinger, Pemimpin Redaksi Thomson-Reuters dan Richard Sambrook, Direktur kantor berita BBC London. Ada juga Steve Marcopoto dari Turner Media Corporation dan Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik Ahmad Mukhlis Yusuf yang juga Dirut Perum LKBN ANTARA.
Pokoknya ramai deh. Ada sekitar 170 CEO media yang diundang. Dari Indonesia saja, selain Ahmad Mukhlis Yusuf tampak berbatik ria pada jamuan makan malam adalah Dahlan Iskan dari Jawa Pos Group dan Budiman Tanuredjo dari Kelompok Kompas Gramedia.
Saya beruntung juga bisa hadir di hingar bingarnya WMS dan menikmati Peking Duck di negeri asalnya sendiri.
Kumpul-kumpulnya para bos industri media itu mirip North Sea Jazz Festival. Satu persatu mereka tampil di panggung. Mereka menyampaikan pandangan mengenai berbagai hal yang dihadapi media, dari mulai dampak krisis ekonomi, pengaruh revolusi teknologi informasi, sampai masa depan media di tengah gandrungnya masyarakat akan internet, blog, facebook, twitter, mySpace, Youtube, dan jaringan sosial online lainnya.
Tepuk tangan riuh rendah terdengar begitu para selebriti media itu selesai pidato. Yang paling banyak menarik perhatian tentu saja Rupert Murdoch. Boleh jadi dia adalah bintang WMS.
Itu bukan saja karena Murdoch memiliki jaringan media yang bisa diakses di lima benua, menerbitkan 175 koran di seluruh dunia termasuk New York Post dan Times of London, dan menguasai 35 stasiun televisi termasuk industri film Twentieth Century Fox dan Fox Network.
Membuat panas kuping
Murdoch menjadi perhatian karena apa yang dikatakannya cukup membuat panas kuping pemimpin China. Di tengah merebaknya isu Internet diawasi dan dibatasi, serta Facebook dan YouTube ditutup aksesnya di negeri Tirai Bambu, Murdoch justeru meminta agar China lebih terbuka PADA era digital dan globalisasi sekarang ini.
”Dunia ingin China maju. Kami memahami bahwa tak ada tantangan besar global yang kita hadapi --seperti perubahan iklim, proliferasi nuklir, terorisme dan kemiskinan-- tidak akan bisa diatasi tanpa keterlibatan aktif dari China yang makmur dan berhasil. Untuk itu membuka diri PADA era digital sangat penting bagi China,” katanya.
Murdoch memberi sejumlah saran pribadi. China, katanya, akan banyak mendapat kritikan karena posisinya di panggung dunia sebagai superpower. Tapi, sebaiknya Beijing tidak terlalu reaktif berlebihan terhadap kritikan tersebut.
”Saya punya pengalaman pribadi mengenai masalah ini,” katanya.
”Di mesin pencari Internet anda bisa lihat sendiri bagaimana kritikan dan hujatan terhadap orang yang namanya Rupert Murdoch. Tapi itu hanya mitos dan akhirnya tidak terbukti,” katanya.
Jika diketik nama Rupert Murdoch di Google, misalnya, maka akan banyak ditemukan tulisan dan artikel negatif seperti pencinta perang, pendukung pemerintahan diktator, imperialist minyak, dan pengemplang pajak.
Murdoch merasa banyak dikritik karena dia punya pengaruh besar. Hanya orang-orang yang punya posisi dan pengaruh besar yang menjadi sorotan. Bukankan pepatah mengatakan bahwa makin besar dan makin tinggi pohon, makin keras pula mendapat terjangan angin. Kalau tidak mau diterpa angin kencang, cukup lah jadi rumput yang biasa terinjak dan diinjak.
Kritikan dan hujatan
Begitu juga dengan China yang sedang naik daun. Saat China naik sebagai pemain utama di panggung ekonomi dan politik dunia, menurut Murdoch, konsekuensinya adalah kritikan dan hujatan.
”Orang-orang media yang ada di ruangan ini pasti akan mengkritik China. Nasihat pribadi saya, jangan panas kuping dan menganggap itu terlalu pribadi,” katanya.
Entah karena nasihat Murdoch atau inisiatif sendiri, Presiden China Hu Jintao bersumpah untuk lebih membuka diri kepada media di dalam dan luar negeri.
”Pemerintah akan mengawal hak-hak dan kepentingan media asing dan terus memberikan fasilitas bagi wartawan internasional yang beroperasi di negeri ini,” katanya.
Hu menjanjikan semua kegiatan dan kebijakan pemerintah akan disampaikan secara terbuka kepada publik. Ia juga mengizinkan media asing untuk meliput ke pelosok negeri itu.
”Itu kami lakukan karena media asing bisa membuat dunia memahami China dan membantu persahabatan rakyat negeri ini dengan masyarakat di luar China,” kata Hu yang dikenal sebagai arsitek China modern dan kebijakan pintu terbuka China.
Pada Januari 2007, China mengeluarkan aturan bagi peliputan Olimpiade yang memberikan kebebasan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada media asing. Wartawan-wartawan asing boleh melakukan wawancara dan meliput secara bebas seperti pada gempa bumi di Sichuan bulan Mei 2008 dan keributan etnis di Urumqi.
Saat kerusuhan meledak pada 5 Juli 2009, sebanyak 200 wartawan asing melaporkannya secara langsung dari tempat kejadian. Itulah China yang berusaha makin terbuka dan ingin dimengerti oleh dunia. (*)
Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009