Yakinkah Anda bahwa buah dari kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan oleh Tuhan? Entah dibalas dalam bentuk kebaikan yang sama ataupun dalam bentuk lainnya.
Yakinkah Anda bahwa buah dari kebaikan pasti dibalas dengan kebaikanoleh Tuhan? Entah dibalas dalam bentuk kebaikan yang sama ataupun dalambentuk lainnya. Entah balasan tersebut tiba seketika ataupun tiba padawaktu yang lain. Demikian pula balasan serupa atas keburukan. Balasanatas kebaikan atau keburukan seseorang dapat tiba pada saat di duniadan pastinya akan tiba pada kehidupan selanjutnya kelak. Sebagai orangberiman, tentunya kita yakin. Begitu kan?
Kali ini saya maubercerita tentang dua keluarga yang saya kenal baik, yang keduanyamemiliki akhlak yang terpuji. Keluarga guru dan keluarga penjual buburayam.
Saya sering mengamati para guru dan keluarganya yangsederhana, khususnya para guru yang mendidik anak-anak yangdibimbingnya di sekolah dengan kegairahan dan ketekunan yang tinggi.Mereka mencintai dan bangga dengan pekerjaanya. Guru yang mencintaipekerjaannya ini jauh lebih banyak dari yang sebaliknya. Saya selaluterkesan terhadap para guru yang terpuji ini dan selalu berusahamemetik inspirasi kebaikannya.
Saya sering membayangkanbagaimana para guru ini mendidik anak-anaknya di rumah. Terhadap anakdidiknya saja, mereka mengajar penuh cinta, tentunya dapat dibayangkanbagaimana mereka mendidik anak-anaknya sendiri.
Dengan gaji guruyang dulu belum sepenuhnya layak, adakah buah yang hilang darikebaikan-kebaikan para guru itu? Saya yakin tidak. Banyak bukti,setelah dewasa anak-anak para guru dan pendidik terpuji itu umumnyaberprestasi dan memiliki kepribadian yang tidak berbeda denganorangtuanya.
Salah satu yang saya kenal baik adalah guru kamisaat belajar di SMP 1 Pandeglang, Pak Oman. Pak Oman mendidik kamidengan penuh cinta, menemani kami saat di kelas maupun di luar kelasdengan sama antusiasnya. Di luar kelas, ia sering menempatkan dirisebagai teman. Kami sering bermain pingpong sore hari. Kadang, iaselipkan pelajaran-pelajaran moral saat bermain tersebut, meskipun iabukan guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Setahu kami, Pak Omanhidup tidak berlebihan, tinggal di rumah sederhana dan sepenuhnyamengajar di SMP tempat kami menimba ilmu.
Beberapa puluh tahunkemudian, saya mendapat kabar keempat anaknya telah berhasil menamatkanperguruan tingginya. Semuanya berhasil diterima dan tamat di perguruantinggi negeri (PTN). Semua anaknya rajin mengunjungi kedua orang-tuanyasetelah masing-masing berkeluarga dan tinggal di luar kota Pandeglang,kota Pak Oman tinggal dulu dan sekarang.
Dua tahun lalu, sayasengaja berkunjung ke rumahnya untuk bersilaturahmi sekaligus inginmenyampaikan ungkapan terima kasih atas banyaknya nilai-nilai moralyang beliau tanamkan saat di SMP. Rumahnya yang sederhana saat itusedang direnovasi atas inisiatif keempat anaknya. Pak Oman hidup sehatdan bahagia. Ada wajah berseri-seri yang saya tangkap saat jumpa denganbeliau, dan kata-kata syukur yang selalu diucapkannya. Wajahberseri-seri itu sama dengan wajah saat dulu beliau mengajar.
Terimakasih Pak Oman, bapak luar biasa. Bapak mengajarkan kami tentangbagaimana mencintai pekerjaan, layaknya bapak sedang mengukir karyaagung, sebuah persembahan terbaik kepada Sang Pencipta, Dia yang MahaMenatap. Ilmu yang Bapak berikan pada kami, Insya Allah menjadi salahsatu sumber amalan yang akan terus mengalir sebagai tambahan bekaluntuk kehidupan Bapak selanjutnya kelak, amien.
Cerita keduaadalah kisah seorang penjual bubur ayam bernama S. Kartajaya (alm),yang saya kenal pada awal tahun 90an di Bogor. Saya sebut beliau, PakKarta saja. Sejak sebelum tahun 1988, Pak Karta membina hubunganpersahabatan dengan seorang pemilik restoran yang memiliki cita rasayang luar biasa, sebuah restoran terkenal di Bogor pada tahun 80an dan90an. Tempat parkirnya selalu sesak oleh antrian mobil pelanggan.
Didepan restoran tersebut, Pak Karta mendapat tempat untuk berjualanwarung bubur ayam atas izin sang pemilik restoran, sahabatnya. PakKarta bahkan diperbolehkan menggunakan nama restoran tersebut sebagaimerek dagang warung bubur ayamnya. Selain cita rasa bubur rumahan yangunik, ada juga pangsit yang rasanya nikmat. Saya tidak sempat menggaliinformasi, apakah Pak Karta menyewa atau tidak untuk berjualan buburtersebut, kecuali bahwa ia membangun warungnya dengan biaya sendiri.
Keadaanberubah ketika sang pemilik restoran terkenal tersebut wafat. Anak-anakpemilik resto terkenal tersebut berbeda sikap dengan ayahnya yang sudahwafat tentang keberadaan warung bubur ayam tersebut. Sang anak, pewarisrestoran tersebut meminta Pak Karta pindah dan melarang penggunaanmerek restorannya pada tahun 2002.
Dalam keadaan kebingungan,Pak Karta tiba-tiba harus pindah lokasi sekitar 200 meter dari lokasisemula dengan posisi warung agak menjorok ke dalam dari jalan raya danmemilih merek dagang yang baru, tanpa sempat memberitahu semuapelanggannya. Namun, rupanya Pak Karta cerdik dan tidak kehabisan akal.Mobil kijang merah tua tahun 70an, yang biasanya terparkir di depanwarung buburnya diparkirkan di pinggir jalan raya, sebagai penandakepindahannya. Sebagai pelanggan, saya tetap dapat mengenali kijangmerah tua tersebut, dan tetap mengunjunginya secara rutin, sama sepertibanyak pelanggan lainnya.
Cita rasa bubur ayamnya memang taktergantikan, disertai pelayanan ramah Pak Karta dan anak-anaknya.Kadang-kadang, Pak Karta juga ikut bincang-bincang dengan parapelanggannya, termasuk kami sekeluarga.
Saya hanya sempatmendapat informasi dari Pak Karta bila beliau terpaksa pindah danmengganti merek dagangnya, karena tidak diizinkan oleh sang pewarisrestoran terkenalnya, dan mengetahui bila anak-anak pemilik restorantersebut tidak ikut mengelola restoran tersebut pada saat jayanya. PakKarta pernah bercerita tentang indahnya persahabatan dengan sangpemilik restoran terkenal tersebut.
Pada tahun 2006, Pak Kartajuga wafat, menyusul sahabatnya, sang pemilik restoran bercita rasatinggi itu. Pak Karta meninggalkan warisan sikap ramah, loyalitaspelanggan dan kebaikan bagi anak-anaknya, pelanjut usaha bubur ayamnya.Setiap kami berkunjung ke tempat bubur ayam itu, anak-anaknya melayanipara pelanggannya dengan ramah, tidak berbeda dengan ayahandanya yangsudah wafat.
Bagaimana nasib restoran bercita rasa tinggi itu?Setelah ditinggalkan sang pendiri, tahun-tahun selanjutnya restorantersebut tampaknya mengalami kesulitan dan tidak mampu bersaing denganbeberapa restoran sekitarnya. Beberapa tahun terakhir, saya seringmengamati saat makan siang tiba, tidak banyak kendaraan yang terparkirdi depan restoran tersebut. Keadaan justru berbeda dengan restoran yangterletak di seberang restoran yang pernah terkenal itu, yang selalupenuh dijejali pengunjung, padahal baru berdiri awal tahun 2000an.
Puncaknya,beberapa kali kami lewati beberapa bulan terakhir, restoran tersebuttampak telah berganti nama. Apa yang terjadi sebenarnya, wallahu’alam.
Apamoral kedua kisah nyata tersebut? Anda bebas mengambil moral cerita apasaja. Yang pasti, saya menyaksikan raut wajah kebahagiaan dari PakOman; Sang Guru Terpuji itu. Saya juga menyaksikan raut wajah keramahandari Pak Karta, Sang Penjual Bubur Ayam Terpuji itu dan anak-anaknya;pelanjut warung bubur ayamnya.
Teman, saya yakin Anda semuapunya banyak kisah sejenis. Tuhan pernah berujar “Aku, sebagaimanaprasangka Hamba-ku”. Prasangka baik dan berpikir positif adalah sikapyang terpuji, sebab semua yang kita alami hari ini adalah buah dariperbuatan kita pada masa lalu.
Bila Anda setuju dengan saya,tak ada pilihan lain untuk memperbaiki masa depan diri, keluarga danlingkungan kita, baik di rumah maupun di lingkungan kerja, kecualidengan memperbaiki sikap dan tindakan kita hari ini terhadap seburukapapun sikap dan perbuatan orang lain terhadap kita, bukan?
--------------------------------
Penulis adalah praktisi manajemen, tinggal di Bogor. Email: ahmadmukhlis.yusuf@gmail.com
Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Ricka Oktaviandini
Copyright © ANTARA 2009