Mudik adalah kata yang paling sering diucapkan pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang membicarakan mudik dimana saja, di lobi, di lift, di tempat kerja, di mesjid atau mushola.
Mudik adalah kata yang paling sering diucapkan pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang membicarakan mudik dimana saja, di lobi, di lift, di tempat kerja, di mesjid atau mushola.

Sutinah, pembantu di rumah saya, sibuk menelpon teman-temannya membicarakan rencana pulang bersama untuk lebaran di kampung halaman. Para pembantu itu patungan mencarter mobil, karena naik bus atau kereta “gak asyik dan gak bisa ngerumpi”.

Tuyono, sopir saya, mendadak membeli motor bebek bekas.
“Mohon izin saya pulang mau naik motor, Pak” katanya pekan lalu.
”Tapi  kamu kan gak punya motor. Mau mbonceng koncomu?” tanya saya spontan.

Sambil garuk-garuk kepala, sopir yang berbadan tegap dan rambut cepak itu, tersipu
malu.

”Saya mau beli motor tapi duitnya kurang pak. Selain uang THR, saya pinjam satu
bulan gaji ya pak. Biar saya bisa mudik pakai motor,” katanya.

Saya tak bisa berkata tidak. Tuyono senang bukan main. Ia bisa mudik dengan motor
bekas kebanggaannya: Suzuki Shogun tahun 2004 warna biru. Pagi-pagi sebelum
menyopiri saya ke kantor, Tuyono mengelus-elus motornya.

Kadang terdengar ia bersenandung kecil. Atau, ia tampak asyik menempeli stiker di spateboard dengan penuh cinta. Ia menghitung hari mudiknya dengan suka cita.

”Aku mau mudik tanggal 17 September pakai motor,” begitu selalu dikatakannya
sehingga semua sopir di kantor saya tahu rencana mudik Tuyono ke Kendal, Jawa
Tengah, jam berapa berangkat, mau istirahat di kota mana saja dan sampai di desanya jam berapa.
       
Tuyono dan Sutinah adalah bagian dari 16,25 juta orang yang akan mudik dari Jakarta
ke berbagai daerah di Tanah Air. Menurut Menteri Perhubungan Jusman Syafi'i Djamal
jumlah pemudik tahun ini meningkat dibanding tahun 2008 sebesar 15,3 juta.

Jumlah pemudik angkutan darat bertambah dari 9,78 juta menjadi 10,24 juta orang
atau naik 4,7%. Mereka yang mudik tahun ini dengan bus 6,6 juta orang. Mereka yang
menggunakan angkutan sungai dan danau 3,7 juta orang, kereta api 3,3 juta orang.
Sedangkan yang mudik menggunakan angkutan laut 1,1 juta dan angkutan udara 1,6
juta.

Sahabat saya, seorang direktur di BUMN, juga sibuk mau mudik ke Tasikmalaya.
Selain membekali diri dengan peta jalur mudik, ia juga meminta staf yang tinggal
di Nagreg agar melaporkan situasi lalulintas di kawasan berkelok dan pusat
kemacetan itu. Pada saat mudik tahun lalu, sang direktur terjebak macet selama 11
jam di kawasan Nagreg.

Untuk apa mudik?
      
Pertanyaannya mengapa banyak orang, tak peduli pembantu rumah tangga, sopir atau
direktur, mau berepot-repot mudik lebaran?

Jawabannya pasti beraneka ragam. Bisa dijawab dari berbagai macam segi baik itu
agama, ekonomi, sosial dan budaya. Sudah banyak kajian dari ipoleksosbud hamkanas seperti itu.

Yang akan saya sampaikan di tulisan ini adalah alasan yang dilatarbelakangi kajian dari buku Thomas L Friedman yang berjudul “The Lexus and the Olive Tree (Understanding Globalization)” terbitan Anchor Book tahun 1999.

Friedman adalah kolumnis beken dari Koran The New York Times. Ia menulis bahwa di zaman globalisasi sekarang ini, meskipun orang sudah maju dan hidup dalam teknologi tinggi, tetap saja memerlukan akar rumput budayanya dan asal mula dirinya.
       
Lexus dan pohon zaitun adalah simbol yang pas untuk menggambarkan kondisi zaman globalisasi sekarang ini. Lexus yang merupakan merk mobil termahal dan tercanggih adalah simbol kemajuan. Sedangkan pohon zaitun yang banyak tumbuh di kawasan Israel dan Masjidil Aqsa adalah simbol kepurbaan atau asal muasal kemanusiaan.
       
Modernisasi, privatisasi dan pertumbuhan ekonomi, serta perkembangan teknologi
memungkinkan orang untuk menikmati kemajuan dan kehidupan yang tidak bisa lagi
dibatasi oleh ruang dan perbatasan. Tapi, pohon zaitun tetap penting.

Pohon zaitun memanifestasikan akar kita sebagai manusia, ia merupakan jangkar
tempat berlabuh kita, yang bisa mengidentifikasi kita dan menempatkan titik kita di
dunia ini. Pohon zaitun bisa berbentuk keluarga, komunitas, suku bangsa, atau yang
paling mendasar adalah tempat yang kita sebut sebagai “rumah”.

Kehangatan keluarga

Pohon zaitun adalah apa yang bisa memberikan kita kehangatan keluarga,
persahabatan, keintiman personal dan ritual, kedalaman hubungan antar pribadi,
silaturahmi, dan juga keamanan dan ketentraman diri ketika berhubungan dengan
“ayah, ibu, om, tante, kakek, nenek, cucu, sepupu, kawan-kawan masa kecil”.

Kita berjuang keras dalam kehidupan kita, meniti karier, bekerja, mencari nafkah
dan sesuap nasi. Sedikit demi sedikit kita mengumpulkan harta dan kekayaan. Kita
berkelana, bermigrasi dan pindah kota.

Di tempat baru kita menjadi sesuatu, memiliki pekerjaan, dan juga kekayaan. Tapi,
sebagai manusia, kita tidak bisa menjadi manusia yang utuh seutuhnya sendirian.
Kita tidak bisa menjadi kaya sendirian. Kita tidak bisa menjadi pintar sendirian.
Kita tidak bisa menjadi orang terhormat sendirian.

Kita baru merasa komplit dan kaffah sebagai manusia bila ada manusia lain yang
mengakui dan ikut menikmati apa yang kita miliki. Untuk itu kita membutuhkan akar,
rumah, kampung, yang bisa menjadi pohon zaitun kita.

Setahun sekali pada saat lebaran orang merasa harus mudik. Ia kembali ke pohon
zaitunnya, akar kehidupannya yang purba, dan menyiraminya dengan air yang mereka
bawa, uang yang mereka bagikan ke sanak saudara, atau sekadar kisah suka dan duka menaklukan Jakarta.
       
Kembali ke akar itulah makna mudik yang paling hakiki. Sejenak di kampung halaman
kita isi baterai kehidupan kita yang kering kerontang untuk kembali ke tempat
pengelanaan kita.

Selamat mudik dan bersukacitalah kembali ke akar purbamu, wahai manusia. (*)

Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009