Kalaulah boleh menambahkan ciri manusia Indonesia lain, selain yang dipaparkan oleh Budayawan Mochtar Lubis, maka saya akan mencatat bahwa “ciri manusia Indonesia lainnya, kalau Lebaran suka mudik”.Kalaulah boleh menambahkan ciri manusia Indonesia lain, selain yang dipaparkan oleh Budayawan Mochtar Lubis, maka saya akan mencatat bahwa “ciri manusia Indonesia lainnya, kalau Lebaran suka mudik”.
Ini bukan pernyataan guyonan dan kurang ilmiah (saya pernah diminta untuk lebih ilmiah lagi dalam menulis kolom, seraya dianjurkan untuk giat membaca kolom-kolomnya kolomnis New York Times), tapi ini merupakan sesuatu yang serius.
Bahkan kolomnis Thomas L Friedman pun, saya kira akan menyetujuinya. Bahwa mudik adalah persoalan serius. Bahwa ciri manusia Indonesia adalah, kalau lebaran suka mudik.
Bagaimana pun tradisi mudik Lebaran, untuk menyebut Hari Raya Idul Fitri, sudah menjadi bagian integral dari proses sosial dan sejarah bangsa. Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim (terbesar secara kuantitas), dimana kultur Kemusliman itu telah turut mewarnai tradisi bangsa.
Seorang kolega di luar negeri (tetapi masih dalam lingkup ASEAN) tersenyum simpul, mendengar rencana saya pulang kampung alias mudik lebaran kali ini. Indonesia memang lain, kata saya. Semua menumpuk di Jakarta, dan coba lihat saja waktu-waktu menjelang lebaran ini arus mudik ke luar Jakarta luar biasa.
Jakarta mendadak ditinggalkan sebagian besar penghuninya yang notabene kaum imigran, seperti saya, yang asli Klaten, Jawa Tengah.
Kalau urusannya hanya mau pulang kampung, mengapa tidak pada waktu lain, yang lebih longgar dan tak desak-desakan? Mengapa Anda terlalu mengeramatkan Lebaran? Berapa ongkos transportasi yang terbuang percuma atau berapa liter bensin yang menguap di jalan bila dibandingkan hari biasa?
Pertanyaan-pertanyaan itu berupaya mendesak saya ke pojokan, dan lantas di benak saya hadir doktrin prinsip ekonomi: betapa tidak efisien dan tidak modernnya Anda, manusia Indonesia. Anda sangat tradisional, kuno dan aneh.
Tapi saya langsung (seperti biasanya) langsung menyusun argumentasi dengan cepat menyerang baliknya dengan mengatakan bahwa justru inilah salah satu ragam kekayaan bangsa kami. Mudik itu semacam upacara yang produktif, justru kalau dilihat dari perspektif modal sosial (social capital).
Bahwa bangsa kami bertahan dan tetap besar sampai sekarang, karena kami memiliki kekuatan social capital yang istimewa. Bagaimana bisa mudik ditafsirkan demikian? Bagaimana mudik diartikan sebagai sebuah “kekuatan sosial”?
Tak perlu repot-repot menjelaskan panjang lebar, saya mengajak rekan saya itu untuk mencari penjelasan-penjelasan yang memuaskan mengenai mengapa bangsa Amerika Serikat butuh merayakan Thank Giving’s Day. Mungkin Anda langsung puas dengan penjelasan itu, karena mungkin sana-sini mencomot perspektif Max Weber.
***
Tapi, kritik soal inefisiensi mudik perlu didengar juga, dan ini serius sekali. Bahwa kalau pembangunan tak terpusat di Jakarta dan kota-kota besar lain, maka mudik nasional tentu tak seheboh hari-hari Lebaran kita saat ini. Tak perlu otoritas transportasi sibuk menambah jumlah armada kerata api tambahan. Masyarakat juga tak perlu nyinyir dengan melambungnya tiket segala jenis transportasi.
Saya sendiri, sebagai pelaku mudik selama hampir 15 tahun belakangan (dan beberapa kali terlantar di terminal “surga preman” Pulogadung, serta mengalami perjalanan 30 jam dari Jakarta ke Solo), seringkali bergumam sendiri menyalahkan Jakarta dan kekerdilan saya.
Sebagai sarjana berpendidikan tinggi yang kurang dibekali ilmu menciptakan lapangan pekerjaan di desa, saya tidak punya cukup keberanian untuk tinggal di tempat saya dilahirkan dan dibesarkan itu, kecuali harus (mau tidak mau) hijrah ke Jakarta.
Jumlah orang seperti saya banyak sekali. Kisah sarjana-sarjana yang sukses mengabdi di desa, masih kalah menarik dengan impian untuk bekerja di kota, entah Jakarta, entah yang lain. Akibatnya desa sepi pemuda, minus gairah, dan gagal menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam skala lokal. Desan menjadi sekedar lembaran nostalgia yang ditinggalkan para pemuda potensialnya.
Otonomi daerah masih belum sepenuhnya berhasil mengurangi magnit sentralitas bisnis dan kekuasaan, Jakarta. Desentralisasi dan otonomi, justru dalam praktiknya tak serta-merta menyejahterakan rakyat di daerah, karena manajemen pembangunan daerah yang salah kaprah.
Birokrat yang korup dan jor-joran kekuasaan, menyebabkan kepentingan rakyat terabaikan. Memang banyak raja-raja kecil yang lantas berurusan dengan aparat penegak hukum, tetapi belum berdampak signifikan bagi perbaikan sistem dan perilaku elite-elite politik dan bisnis di tingkat lokal.
Setiap kali saya mudik, sesungguhnya saya malu. Malu telah meninggalkan orangtua (secara fisik), jauh dari kerabat, hidup di perantauan yang kadang meninggalkan sisi-sisi kemanusiaan. Malu telah meninggalkan desaku yang subur, kaya sumberdaya alam, tetapi tetap saja rata-rata miskin penduduknya.
Malu tidak secara gentle hidup jauh dari glamor ibukota, dan begitu tergantungnya saya pada sistem yang kapitalistik, sentralistik, yang nyatanya masih memiskinkan dan memarjinalkan rakyatnya.
Saya kira perasaan saya itu, Indonesiawi sekali saat ini. Sebuah perasaan jutaan manusia Indonesia yang terpaksa menyingkir dari tanah kelahirannya (kotanya, desanya), karena “tidak ada pembangunan dan pusat-pusat pertumbuhan yang merata”, bertahan hidup, mencari kehidupan yang lebih baik, entah ke Jakarta, Kuala Lumpur, Jedah, Taiwan, Hong Kong, dan sebagainya, seperti laron yang merubung lampu petromaks. (***)
* Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, penulis buku “Menjadi Pemimpin Politik”.
Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009