WALAUPUN saya hanya bertindak menjadi moderator dalam berbagai sesi diskusi dengan para calon anggota DPR terpilih Partai Demokrat di Puncak, belum lama ini, tetapi saya memperoleh banyak kesempatan untuk berdiskusi dengan teman-teman politisi partai

WALAUPUN saya hanya bertindak menjadi moderator dalam berbagai sesi diskusi dengan para calon anggota DPR terpilih Partai Demokrat di Puncak, belum lama ini, tetapi saya memperoleh banyak kesempatan untuk berdiskusi dengan teman-teman politisi partai politik paling fenomenal tersebut.

Sebelumnya, saya membuka kesempatan pada teman-teman di facebook, minta masukan apa saja kira-kira yang dapat saya sampaikan pada para politisi calon penghuni Senayan itu.

Rata-rata masukannya berupa kalimat-kalimat yang normatif, sehingga tentu saja kalau saya sampaikan secara “apa adanya”, maka membuat saya tidak nyaman, soalnya nanti dikira menggurui.

Ketika diingatkan akan hal-hal yang normatif, tentu saja mereka paham dan mengerti. Sehingga, kalau saya harus mengatakan jangan ini, jangan itu, kesannya menggurui sekali. Soalnya inti dari pesan yang sama juga sudah disampaikan oleh pimpinan partai bersangkutan.

Soal moralitas politik penting, tetapi banyak hal lain yang juga secara proporsional harus dimiliki, sebagai bekal mereka. Dalam konteks ini banyak hal yang perlu didiskusikan. Sebab mestinya mereka itu tidak sekedar elite politik. Tapi para pemimpin politik.

Dalam buku saya “Menjadi Pemimpin Politik” (Gramedia, 2009), yang dibagikan ke peserta (mudah-mudahan mereka sempat membacanya), saya mengajak pembaca untuk memperbincangkan banyak hal. Antara lain, soal visi, keterpanggilan, kemanusiaan, kepelayanan, ketulusan, kesantunan, perjuangan, penderitaan, pengorbanan, kepahlawanan, tanggungjawab, kepribadian, keteladanan, inisiatif, inovasi, risiko, kredibilitas, integritas, amanah, trust, kemampuan, kapasitas, kompetensi.

Kemudian juga, wawasan, pengalaman, intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, totalitas, konflik kepentingan, efektivitas, skala prioritas, kharisma, mitos, obyektivitas, rasionalitas, motivasi, pemberdayaan, kerja tim, mindset, mentalitas, kultur, momentum, daya saing, dedikasi, loyalitas dan yang lain.

Saya kira basis dasarnya tetap moralitas. Tapi bekal moral yang baik saja tidak cukup. Saya pernah membaca tulisan Sosiolog Ignas Kleden, dimana dalam tulisannya itu ia berpendapat susah mengkaitkan antara moralitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kesalehan perlu bahkan harus, tetapi belum cukup. Karenanya perlu upaya belajar terus-menerus dalam rangka peningkatan kapasitas, kapabilitas, kompetensi. Kalau Anda seorang ulama saleh, dan lantas menjadi anggota DPR, maka basis moral Anda “tak diragukan lagi”.

Tetapi, kalau Anda tak mau belajar hal-hal mendasar dan teknis ke-DPR-an, dimana lembaga ini memiliki tiga fungsi pokok, legislasi, anggaran dan pengawasan (atas kebijakan pemerintah), maka tampilan Anda yang saleh saja tak berguna. Apalagi kalau kemudian statis dan tidak kontributif-partisipatif.

Karenanya wakil rakyat harus lebih keras lagi belajar dan belajar, untuk memahami dan menguasai masalah, dan kemudian mampu merumuskan berbagai solusi terbaik dan penuh rasa tanggungjawab, demi kemajuan masyarakat dan bangsa.

Kesadaran eksistensial bahwa dirinya adalah wakil rakyat, tentu terkait dengan aspek moralitas dan kemampuan teknikal. Tetapi, masih terdapat satu hal yang tampaknya mengganjal: faktor politik partai.

Hubungan antara partai politik (sebagai lembaga yang punya aturan main dan sikap politik) dengan politisi partai, kerapkali memunculkan kontradiksi. Politisi DPR kerap bersilang pendapat dengan keputusan partainya. Dinamika akan muncul di sini. Seorang politisi partai, akan dihadapkan pada banyak hal yang menuntutnya bersikap kompromistik.

Partai yang modern, terbuka dan demokratis, biasanya akan mampu menyelesaikan konflik-konflik kepentingan yang ada secara lebih baik ketimbang yang tradisional, yang menggantungkan pada sosok kharismatik dan cenderung menutup proses demokrasi internal.

Politisi partai biasanya akan segera dihadapkan pada dilema apakah dirinya wakil partai atau wakil rakyat. Jalan tengahnya, adalah mengkompromikannya. Visi partai diasumsikan selaras dengan kepentingan rakyat dan bangsa. Sehingga para politisi bisa berpartai dengan tenang.

Tapi, persoalannya, di tubuh partai pun menggejala pula oligarki politik. Ada elite kecil yang dominan, bahkan hegemonik. Mungkin sudah menjadi khas Indonesia dimana partai politik tiba-tiba menjadi semacam perusahaan pribadi, petinggi-petinggi partai adalah para manajer dan pendirinya adalah komisaris, pemegang saham utama.

Personalisasi politik partai, tentu merupakan hal yang diharamkan dalam konteks partai modern.

Di Indonesia, kecuali partai-partai tertentu, ketergantungan atas figur sentral yang kharismatik dalam partai, masih merupakan hal yang dianggap biasa. Pola-pola konfliktualnya, biasanya khas, dimana jalan keluarnya adalah satu kelompok bertahan, kelompok lain hengkang, masuk partai lain atau mendirikan partai baru. Ini sudah hal yang lain lagi.

Kembali ke bekal wakil rakyat. Bahwa bekal itu berupa kesiapan mental dan kemampuan. Bekal mental dilakukan dengan memperkuat basis moralitas politik, sementara bekal kemampuan atau teknikal, tidak akan mereka miliki tanpa serius menjadi manusia pembelajar. Harus ada akselerasi untuk menguasai masalah-masalah yang menjadi konsentrasinya, dimana orientasinya adalah kualitas hasil legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Gairah wakil rakyat harus terus menyala-nyala sebagai pemimpin politik yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dan jangan hanya sekedar menjalankan ritual 4 D (datang, duduk, dengar, dapat duit). (***)


*Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009