Setiap bom berkekuatan besar meledak, berbagai spekulasi muncul, termasuk ketika pada Jumat, 17 Juli 2009 sekitar pukul 07.45 WIB dan beberapa menit setelahnya, ledakan dahsyat terjadi di dua hotel di kawasan Mega Kuningan yang sering dianggap seba

Setiap bom berkekuatan besar meledak, berbagai spekulasi muncul, termasuk ketika pada Jumat, 17 Juli 2009 sekitar pukul 07.45 WIB dan beberapa menit setelahnya, ledakan dahsyat terjadi di dua hotel di kawasan Mega Kuningan yang sering dianggap sebagai ikon Amerika Serikat (AS), masing-masing Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott.

Sebagaimana bom-bom lain yang meledak sebelumnya, ledakan kali ini tak lepas dari aroma teror. Sang teroris memunculkan kegaduhan, ketakutan, dan ketidakamanan. Sang teroris selalu berupaya memunculkan sensasi, dan kali ini, di tengah-tengah situasi damai dan dinamis terkendali pasca-pilpres, tiba-tiba dua ledakan besar terjadi. Masyarakat segera bertanya, ada apa ini?

Pertanyaan itu belum segera terjawab, mengingat tidak ada kelompok (teroris) yang mengaku bertanggungjawab atas ledakan itu. Aparat keamanan masih menelisik apa sesungguhnya yang terjadi di balik ledakan menggemparkan itu.

Tapi, apabila dikaitkan dengan situasi politik pasca-pilpres terdapat dua spekulasi yang merebak saat khalayak menyaksikan laporan pemberitaan berbagai media massa.

Spekulasi pertama menyebut bahwa ledakan itu ada kaitannya dengan pilpres. Spekulasi lainnya, tidak demikian, bahwa ledakan itu tidak ada kaitannya dengan pilpres.

Spekulasi pertama mengemuka dikaitkan dengan asumsi tentang adanya kelompok yang kecewa terhadap hasil pilpres. Dan ledakan ini merupakan ekspresi dari kekecewaan itu.

Tetapi spekulasi ini dibantah oleh spekulasi lainnya, bahwa mengingat pola sasaran bidiknya yang hampir sama dengan peledakan Hotel J.W. Marriott, sekitar lima tahun sebelumnya, dan mengaitkannya dengan belum tuntasnya penanganan terhadap kelompok teroris, dan lemahnya aparat keamanan (pemerintah).

Di antara kedua arus utama spekulasi itu pun, berkembang varian-varian spekulasi lain, berdasarkan pengandaian atau asumsi yang berlainan. Walhasil saat ini benak masyarakat masih diliputi oleh 1.000 kemungkinan atas misteri ledakan itu.

Dan tentu saja lagi-lagi aparat kepolisian punya tugas berat untuk menuntaskan kasus ini, menjawab pertanyaan siapa pelakunya dan apa motifnya, serta bagaimana dengan aksi sigapnya segera mampu menangkap pihak-pihak di belakang aksi peledakan itu.

Terlepas dari apakah sang teroris punya misi dan maksud politik atau tidak, peristiwa ledakan tersebut jelas berdampak politik. Ada implikasi politik yang hadir segera setelah bom itu meledak.

Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun telah memberikan komentar yang bernada politik atas peristiwa yang mengejutkan itu. Kaitannya dengan pilpres 2009, SBY mengatakan pihaknya sering mendapat ancaman. (antaranews.com, 17/7/209).

Keluhan SBY tersebut bagaimanapun secara tidak langsung memberikan pesan bahwa banyak yang tidak suka dengan kemenangannya dalam pilpres. Terhadap hal ini, kubu-kubu lain di luar kubu SBY-Boediono tampak meresponsnya secara sinis, dan berpesan agar peristiwa itu tidak dipolitisasi.

Dampak Politik

Apa saja dampak politik pasca-ledakan Mega Kuningan itu? Pertama, menambah keruhnya suasana politik pasca-pilpres, dengan merebaknya berbagai spekulasi yang satu sama lain saling bertentangan oleh pihak yang menang dan kalah dalam pilpres.

Tidak seperti bom-bom sebelumnya yang lebih dipandang secara “ideologis”, yang segera dikaitkan dengan kalangan “Islam radikal”, ledakan kali ini memunculkan kecurigaan yang lebih kompleks dan lebih politis.

Situasi ini, dalam bentuknya yang paling ekstrim adalah instabilitas politik, yang bermuara pada upaya mendelegitimasi pasangan capres terpilih.

Kedua, ledakan ini juga hendak membuktikan tesis apakah masih ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa lama, yang terhubung dalam jaringan teroris “ideologis” (Jamaah Islamiyah) ataukah tidak. Pentolan teroris yang dipercaya mampu merakit bom selama ini telah tewas dalam penyerbuan polisi ke tempat persembunyiannya di Batu, Malang, Jawa Timur, yakni dr Azahari.

Tetapi, publik masih dibayangi oleh hantu rekannya, yakni Noordin M Top, yang ditakutkan telah mampu mengkader peledak-peledak bom yang semakin canggih untuk maksud-maksud teror.

Ataukah ada kelompok lain dengan motif lain? Pihak kepolisian harus mampu membuktikannya kelak.

Ketiga, secara politik, peristiwa itu juga punya imbas atas integritas pemerintah dalam upayanya melawan teroris dan menjamin rasa aman dalam masyarakat. Bahwa pemerintah punya aparat (intelijen dan kepolisian) dan piranti yang canggih dalam mendeteksi ancaman-ancaman teror, tetapi kali ini lolos. Dengan adanya ledakan itu, pemerintah segera mendapat sorotan.

Dampak yang serius atas “gagalnya mengatasi gangguan keamanan dan terorisme” tentu saja merosotnya kepercayaan pihak asing atas situasi politik di Indonesia, dan akan mempengaruhi iklim investasi.

Citra Indonesia terkoyak dengan ledakan itu. Tentu saja pemerintahan SBY-JK dalam hari-hari terakhir ini terbebani oleh dampak ledakan Mega Kuningan. Beban berat ini akan ditanggung oleh pemerintahan SBY yang kedua kalinya, mengingat tampaknya pasangan SBY-Boediono semakin dipastikan akan memenangkan pilpres 2009, dengan perolehan suara yang fantastis yakni 60 persen, serta mampu menghentikan laju pilpres menjadi hanya satu putaran.

Dengan modal politik yang sedemikian, SBY memiliki kesempatan untuk menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dan tangkas dalam enyelesaikan persoalan.

Akankah gaya kepemimpinan SBY berubah pasca-ledakan Mega Kuningan yang membuat kita marah itu? Wallahua’lam. (***)

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009