Pesawat TNI jatuh lagi. Kali ini menimpa helikopter TNI-AD. Musibah itu adalah yang sekiankalinya terjadi dalam setahun terakhir. Sebagai bangsa dan negara, Indonesia kemudian seolah menjadi bangsa kere yang tidak punya apa-apa..

Pesawat TNI jatuh lagi. Kali ini menimpa helikopter TNI-AD. Musibah itu adalah yang sekiankalinya terjadi dalam setahun terakhir. Sebagai bangsa dan negara, Indonesia kemudian seolah menjadi bangsa kere yang tidak punya apa-apa dan tak sanggup membeli apa-apa. Padahal sebetulnya tidak demikian.

Saya bermimpi Indonesia bisa berjaya seperti sejarah kita dulu, seperti kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Goa, Bugis, Ternate, Tidore, Aceh, Demak dan sebagainya. Itu adalah nama-nama dari kerajaan besar yang membuat bangga anak sekolah sebagai bangsa Indonesia.

Saya bermimpi Indonesia bisa berjaya seperti sejarah kita dulu. Majapahit misalnya dikenal sebagai kerajaan yang mempersatukan bangsa dan negara menjadi kuat. Pengaruh Majapahit bahkan melampaui batas-batas yang kini disebut sebagai Indonesia. Kitab Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV menyebutkan wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Sumatra hingga Papua (Wanin). Majapahit juga tercatat telah memiliki hubungan dagang dengan Kamboja, Thailand, Birma dan
Vietnam dan bahkan, menempatkan perwakilannya di Cina.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan, Majapahit dikenal memiliki armada kapal cadik modern. Kapal-kapal itu dimodifikasi sedemikian dari kapal-kapal perang Kubilai Khan. Majapahit berkembang menjadi kerajaan maritim yang disegani. Tak mudah bagi negara lain, untuk menaklukkan Majapahit, meski kerajaan itu akhirnya harus runtuh karena perang saudara.

Saya bermimpi Indonesia bisa berjaya seperti sejarah kita dulu, saat Indonesia menjadi negara besar yang memiliki pengaruh kuat di dunia. Saat ribuan pejuang yang bertaruh nyawa mengusir penjajahan asing dari tanah Pertiwi.

Bagaimana sekarang? Berulang kali Indonesia dijadikan bulan-bulanan banyak negara. Ekonomi katanya lebih baik, tapi hampir sebagian besar sumber daya alam diserahkan kepada asing. Kita sebagai bangsa lalu seolah tak punya daya tawar, tak punya harga diri, karena menyerahkan negara lain ikut mengatur bagaimana sumber kekayaan harus diolah dan diproduksi.

Bukan itu saja, sudah sering kali pula, negara lain melecehkan kedaulatan Indonesia sebagai negara dan bangsa. Kasus yang terbaru adalah provokasi yang berulang-ulang dilakukan Malaysia di Perairan Ambalat. Negara jiran itu tampaknya tahu, di tengah karut-marut politik nasional saat ini dan kepemimpinan Indonesia yang lemah, Indonesia tak akan memilih jalan konfrontasi.

Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang tidak kalah dengan negara lain. Sayangnya biaya pendidikan juga tidak dibuat semakin murah, sehingga anak-anak muda yang cerdas "diambil" oleh negara lain, misalnya Singapura. Mereka disekolahkan gratis, diberi tempat, dan diikat untuk bekerja di sana.

Kasus tragis David Widjaja, mahasiswa Indonesia di Singapura yang tewas mengenaskan. Anak muda itu dikenal sebagai mahasiswa cerdas dan menemukan sesuatu yang baru yang akan dia persembahkan untuk bangsa dan negaranya. Sayang David harus mati tapi kematiannya sama sekali tak digubris oleh pemerintah meski banyak pihak yang menyebutkan David sengaja dibunuh.

Juga Manohara. Perempuan berusia 17 tahun yang mengalami penyiksaan dari seorang pangeran Malaysia. Haruskah kita tetap diam dan menganggap semua itu, seperti halnya kematian-kematian para TKI itu, sebagai urusan atau risiko pribadi? Tidakkah mereka adalah warga Indonesia yang layak mendapat pembelaan dan penghormatan sebagaimana layaknya warga negara?

Dengan semua kejadian itu, momentum Pemilu Presiden 2009, seharusnya menjadi introspeksi kita semua. Inilah saatnya untuk menghitung ulang semua kepentingan negara dan bangsa ini, apakah akan menjadi sebuah berkah bagi seluruh rakyat atau sebaliknya tetap didikte oleh negara lain (asing).

Maka pada Pemilu Presiden kali ini, sudah semestinya para capres menonjolkan ketegasan dan berani menjanjikan bangsa dan negara menjadi bangsa dan negara yang mandiri, bebas dari semua kepentingan apalagi didikte bangsa dan negara lain. Jangan lagi hanya bicara kemakmuran dan keberhasilan yang sebetulnya hanya dinikmati sebagian kecil orang.

Karena kalau hanya itu-itu saja yang dilontarkan, tentu rakyat tahu, mana pemimpin yang tegas dan membela kepentingan rakyat, mana pemimpin yang hanya menghendaki dirinya tak tercela.

Saya bermimpi Indonesia menjadi bangsa yang jaya, dihormati bangsa- bangsa di dunia. Bangsa yang beradab, berbudaya, cerdas dan tangkas. Maju perekonomiannya, adil dan makmur. Memimpin bangsa-bangsa lain, dan tidak didikte bangsa lain, menjadi bangsa yang menjadi kebanggaan dan mampu menentukan nasibnya sendiri, mandiri.

Saya bermimpi Indonesia bisa berjaya lagi seperti sejarah kita dulu. Saya bermimpi?

*Penulis adalah Managing Partner Strategic Indonesia

Oleh Christovita Wiloto
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009