Ketua Koperasi Pengrajin Batik Tulis Lasem, Santosa, di Rembang, Kamis malam, mengatakan, kenaikan harga kain katun selama sepekan terakhir September 2010, kemungkinan besar disebabkan oleh menipisnya stok kain tersebut di pasaran.
"Namun, kami khawatir, terjadi aksi borong kain katun oleh pemodal besar untuk dikirim ke luar negeri. Jika itu benar terjadi, maka pengrajin batik bisa kelimpungan," katanya.
Dia mencontohkan, untuk kain katun jenis prima yang semula harga per yard atau tiap 90 centimeter hanya seharga Rp5.400, sudah sepekan ini naik menjadi Rp6.400 per yard.
Jenis primis dari Rp8.750 per yard menjadi Rp9.250 per yard dan jenis kereta kencana dari Rp14.864 per yard menjadi Rp16.486 per yard.
Akibatnya, kata dia, saat ini pengrajin hanya mengerjakan pesanan sesuai permintaan dan tidak terlalu berani membuat persediaan lebih.
"Biasanya, saat harga kain masih stabil, kami mampu menyediakan cukup banyak pilihan bagi para pelanggan. Namun kami belum berpikir untuk menaikkan harga batik tulis lasem," katanya.
Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Rembang, Sudirman mengatakan akan segera membantu para pengrajin untuk mengupayakan solusi atas kenaikan harga kain di pasaran.
"Kami akan segera melakukan kontak langsung dengan sejumlah produsen kain katun yang pernah menjalin kerjasama dengan para pengrajin sebagai pemetaan awal untuk menentukan langkah kami berikutnya," katanya.
Setelah diperoleh keterangan cukup mengenai penyebab kenaikan harga kain katun, misalnya karena aksi borong pemodal besar, maka pihaknya akan segera menyampaikannya kepada pemerintah agar melakukan tindakan tegas.
"Namun jika ternyata penyebabnya adalah karena kelangkaan kain katun yang selama ini diperoleh pengrajin sebagian besar dari daerah Surakarta, maka kami akan bantu pengrajin untuk memperoleh akses penyuplai kain katun dari daerah lain di Indonesia," katanya.
Oleh karena itu, dia mengimbau para pengusaha untuk tidak resah dengan keadaan ini. (ANT-168/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010