Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian mengusulkan kepada kementerian terkait agar wacana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau, dipertimbangkan kembali.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Kementerian Pertanian (Kementan), Hendratmojo Bagus Hudoro di Jakarta, Rabu menyatakan, wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT).
“Kami mengusulkan dipertimbangkan kembali wacana revisi PP 109/2012. Kami selalu menarik garisnya ke hulu dan tidak pernah berhenti memperjuangkan itu. Kami akan komunikasikan ke kementerian terkait, menyuarakan apa yang disuarakan petani," ujarnya dalam audiensi yang dilakukan sejumlah elemen mata rantai IHT dengan jajaran Direktorat Perkebunan Kementerian Pertanian.
Hadir dalam pertemuan secara daring tersebut, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo, Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Sriyadi Purnomo, perwakilan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), perwakilan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), dan lainnya.
Menurut Bagus, komitmen Kementan untuk mengupayakan agar wacana revisi PP 109/2012 dipertimbangkan kembali didasari oleh sejumlah pertimbangan, yakni momen untuk wacana revisi peraturan pemerintah tersebut dinilai belum pas saat ini mengingat kondisi pandemi Covid-19 telah menimbulkan kontraksi terhadap perekonomian nasional.
"Kami pertimbangkan kondisi pandemi, ekonomi sedang diuji ketangguhannya, bahkan industri yang besar pun bertumbangan,” ujarnya.
Kementan, juga mempertimbangkan dampak dari wacana revisi PP 109/2012, yang apabila diberlakukan dikhawatirkan bakal menekan penyerapan dan produksi tembakau nasional.
Diketahui bahwa dorongan revisi PP 109/2012 mencakup pembesaran gambar kesehatan sebesar 90%, larangan total aktivitas iklan dan promosi serta penggunaan bahan tambahan.
"Sekarang saja dengan cukai naik di masa pandemi, berdasarkan informasi yang kami peroleh ada penurunan produksi. Kalau nanti itu [wacana revisi PP 109/2012] akan berdampak pada penyerapan. Ini yang kita khawatirkan, bisa jadi makin tidak terserap tembakau petani,” katanya.
Di sektor hulu, wacana revisi PP 109/2012 akan berdampak terhadap hampir 500 ribu kepala keluarga (KK) petani tembakau. Apabila diasumsikan satu KK terdiri atas 4 orang, maka setidaknya ada 2 juta orang yang akan terdampak dari kebijakan tersebut.
Jumlah orang yang terdampak atas wacana kebijakan tersebut tentunya akan semakin besar apabila memperhitungkan sisi hilir dari mata rantai IHT seperti para pekerja, buruh yang terlibat di industri tembakau, distribusi hingga ritel.
Ketua Umum AMTI Budidoyo mengungkapkan, wacana pembahasan revisi PP 109/2012 saat ini tidak pas karena kondisi ekonomi yang tengah terdampak pandemi Covid-19. Sektor IHT semakin terbebani dengan wacana revisi regulasi tersebut, di tengah upaya keras pelaku IHT bertahan dari dampak pandemi dan kebijakan yang kontra produktif.
Sementara itu Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Sriyadi Purnomo dan perwakilan APCI, Mustohal menyatakan, adanya kawasan tanpa rokok (KTR) dan ketidakleluasaan menjual rokok sebagai implikasi penerapan PP 109/2012, telah memicu penurunan produksi sejak 2012 dan berlanjut hingga kurun waktu 2014-2015.
"Ada kurang lebih 27 persen penurunan produksi selain itu juga berimbas pada pengurangan karyawan. Kami meminta pemerintah melindungi kami khususnya pekerja sigaret kretek tangan (SKT), karena kami adalah padat karya yang 95 persen pekerja adalah kaum perempuan,” ujarnya.
Jika wacana revisi PP 109/2012 diberlakukan, lanjutnya, akan merugikan SKT dan diyakini memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), oleh karena itu pihaknya berharap isu-isu negatif yang beredar jangan meresahkan petani.
Baca juga: Gappri minta pemberlakuan PP tembakau dievaluasi
Baca juga: Kemenperin: Revisi PP soal tembakau tak tepat dilakukan saat pandemi
Baca juga: Produk hasil pengolahan tembakau jadi solusi tanggulangi masalah rokok
Pewarta: Subagyo
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021