"Kami atas nama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang tergabung dalam FTRW Sultra sangat mendukung rencana pengalihfungsian sejumlah kawasan hutan dengan catatan tidak mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat," kata anggota FTRW Sulawesi Tenggara Solihin, di Kendari, Rabu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini berkeinginan untuk menetapkan rencana tata ruang nasional dengan merevisi tata ruang yang sebelumnya telah ditetapkan.
Namun rencana itu hingga kini belum terealisasi karena tim terpadu yang terdiri atas LIPI, Akademisi, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Bapedalda dan Dinas Kehutanan masih terus melakukan penelitian untuk nantinya dibawa ke Komisi IV DPR-RI.
Tujuan dari rencana pemerintah daerah untuk melakukan perubahan tata ruang wilayah di bidang kehutanan itu adalah untuk meminta persetujuan kepada Menteri Kehutanan terkait pelepasan sebagian kawasan hutan yang dianggap tidak produktif lagi untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
Sementara itu koordinator FTRW yang juga Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Sultra, Hartono mengatakan, rencana pemerintah provinsi untuk "memaksa" pemerintah pusat membebaskan sebagian kawasan hutan lindung (HL) yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat dinilai terlalu berlebihan.
"Harusnya pemerintah provinsi melihat lebih jauh kawasan mana saja yang harus diusulkan untuk merevisi rencana tata ruang wilayah, dari kawasan hutan lindung (HL) untuk dijadikan areal peruntukan lain (APL).
Menurut Hartono, hasil investigasi yang dilakukan di sejumlah daerah di Sultra, beberapa kawasan hutan yang diusulkan pemerintah provinsi untuk direvisi sangat tidak prosedural. Sebagai contoh kawasan HL yang untuk dijadikan APL adalah kawasan Kontu di Kabaupaten Muna, Kawasan Taman Buruh Matausu (Kolaka), kawasan Teluk Lasolo Kabupaten Konawe Utara, Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Bombana) dan Tanjung Peropa (Konawe Selatan.
Khusus kawasan Teluk Lasolu, yang rencananya pemerintah untuk menjadikan kawasan jalur transportasi laut, menurut Hartono maupun Salmia, dari Aliansi Perempuan Indonesia (Alpen) Sultra mengatakan sah-sah saja sepanjang kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan laut itu tidak dirusak.
Oleh karena itu, FTRW Sultra juga meminta kepada anggota DPRD Sultra untuk segera memanggil tim terpadu yang dibentuk pemerintah untuk melaporkan hasil kajian penelitian mereka terkait kawasan HL yang nantinya akan berupa status menjadi kawasan APL.
"Ini penting, karena DPRD sebagai lembaga pengawasan yang mengeluarkan dana untuk kegiatan Tim Terpadu itu dianggap paling bertanggung jawab bila mana dikemudian hari alokasi dana yang diperuntukkan untuk usulan revisi tata ruang dibidang kehitanan," ujarnya.
Data menyebutkan, dana yang sudah dikeluarkan Pemerintah Sultra untuk melakukan kegiatan revisi tata ruang wilayah sebesar Rp1,8 miliar pada 2010 dan untuk 2011 kembali akan diusulkan sebesar Rp1,1 miliar sehingga seluruhnya akan menghabiskan dana sebesar Rp2,9 miliar. (A056/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
kita sudah lihat banyak contoh di banyak daerah.. bgmn dengan masyarakatnya..? bgmn dampak lingkungan yg ditimbulkan dr kegiatan penambangan..? siapa yang untung..?