Saat ini terdapat 10 golongan tarif cukai rokok. Ini terlalu banyak, sehingga sangat sulit dalam hal pengawasan.
Jakarta (ANTARA) - Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai rokok dinilai perlu didukung agar pengawasan cukai rokok berjalan efektif, karena semakin sedikit golongan tarif maka pengawasan akan semakin mudah.
“Saat ini terdapat 10 golongan tarif cukai rokok. Ini terlalu banyak, sehingga sangat sulit dalam hal pengawasan,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Kebijakan simplifikasi sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Baca juga: Ahli bantah pengangguran dan rokok ilegal karena pengendalian tembakau
Terlebih lagi, PMK tersebut sebagai turunan Peraturan Presiden Nomor 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang juga menempatkan rencana penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu kebijakan strategis pemerintah.
Bhima menjelaskan pembahasan simplifikasi struktur tarif cukai rokok sudah cukup lama dilakukan, sehingga mendesak untuk dilakukan penyederhanaan lapisan (layer) struktur tarif.
Menurut dia, dari sisi keadilan justru simplifikasi struktur tarif cukai rokok segmen sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) sangat ideal untuk diterapkan.
Meski begitu, kata Bhima bahwa kebijakan simplifikasi akan berdampak pada makin naiknya harga rokok di pasar.
“Kalau semangat cukai adalah pengendalian konsumsi rokok, simplifikasi adalah jawabannya. Jadi, tidak ada tawar menawar kalau soal simplifikasi rokok.
Baca juga: Lembaga riset harapkan penyederhanaan tarif cukai rokok
Asumsi bahwa struktur tarif cukai rokok yang ada saat ini menguntungkan perusahaan kecil itu juga tidak tepat. Kalau ada simplifikasi maka yang benar-benar produsen rokok skala industri kecil akan mendapatkan cukai yang seharusnya. Tanpa simplifikasi cukai rokok maka perusahaan besar yang akan diuntungkan,” ujar Bhima.
Sebelumnya, Senior Advisor Gender and Youth for the Director-General di WHO sekaligus Founder Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI,) Diah Saminarsih menyoroti pentingnya pengendalian maksimal terkait tembakau di Indonesia.
“Akan banyak konsekuensi apabila kebijakan pengendalian tembakau tidak dilakukan dengan baik. Terbukti dari riset CISDI yang menunjukkan adanya korelasi antara tidak efektifnya pengendalian tembakau dengan jumlah perokok yang terus meningkat,” ujar Diah.
Selain itu pelayanan kesehatan primer dan mekanisme jaminan kesehatan nasional juga menjadi prioritas.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021