Srinagar, India (ANTARA News/AFP) - Para pemimpin separatis moderat di Kashmir yang dikuasai India hari Senin menolak tawaran New Delhi untuk perundingan baru dan peninjauan keamanan, sehari setelah kelompok garis keras menolak usulan tersebut.
Rencana perundingan itu diajukan oleh Menteri Dalam Negeri P. Chidambaram setelah ia memimpin misi semua partai pekan lalu ke Kashmir yang berpenduduk mayoritas muslim, yang dilanda protes keras pro-kemerdekaan dan dikenai jam malam sejak Juni lalu.
"Langkah-langkah yang diumumkan tidak memberikan banyak janji," kata kelompok moderat dalam aliansi separatis utama Kashmir yang dipimpin tokoh separatis Mirwaiz Umar Farooq.
"Langkah itu bersifat administratif yang tampaknya diambil untuk melegakan pemerintah negara bagian yang terkepung," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Rencana itu juga berusaha "dengan sengaja mengalihkan fokus dari masalah sesungguhnya ke pemberian kompensasi dan konsesi kepada penduduk," katanya.
Rencana delapan butir Chidambaram yang diumumkan Sabtu itu merupakan prakarsa besar pertama pemerintah untuk mengakhiri bentrokan-bentrokan antara pemrotes pelempar batu dan pasukan keamanan yang menewaskan 107 warga sipil, sebagian besar akibat penembakan polisi.
Mendagri India itu mengatakan, sekelompok "mitra bicara" akan ditunjuk untuk menemui warga Kashmir dalam upaya meredakan protes, yang terbesar sejak gerakan separatis meletus pada 1989.
Chidambaram menyatakan, pemerintah negara bagian akan diminta membebaskan 225 pemrotes yag dipenjarakan karena melemparkan batu ke pasukan keamanan, dan membuka kembali sekolah serta perguruan tinggi, yang ditutup selama kerusuhan akhir-akhir ini.
Pemerintah juga akan mempertimbangkan pengurangan pasukan keamanan di Kashmir dan meninjau lagi undang-undang darurat militer di kawasan tersebut.
Selain itu, New Delhi berjanji memberikan ganti rugi kepada keluarga korban.
Minggu, pemimpin separatis garis keras Syed Ali Geelani, yang mengatur protes berbulan-bulan di Kashmir, menolak usulan tersebut dan menyebutnya sebagai tidak realistis.
Demonstrasi anti-India meningkat tajam di Kashmir sejak seorang remaja laki-laki yang berusia 17 tahun tewas setelah terkena tembakan gas air mata polisi pada 11 Juni.
Setiap kematian sejak 11 Juni menyulut kekerasan lebih lanjut meski telah ada seruan agar tenang dari Menteri Besar Kashmir Omar Abdullah. Pemuda dan remaja seringkali termasuk diantara demonstran yang melemparkan batu ke arah pasukan keamanan selama pawai.
Separatis Kashmir mengadakan pawai secara rutin, yang seringkali berbuntut kekerasan, sejak 2008. Banyak pemrotes tewas dalam pawai sejak itu, sebagian besar akibat tembakan polisi.
Kekerasan di Kashmir turun setelah India dan Pakistan meluncurkan proses perdamaian yang bergerak lambat untuk menyelesaikan masa depan wilayah tersebut.
Perbatasan de fakto memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan, dua negara berkekuatan nuklir yang mengklaim secara keseluruhan wilayah itu.
Dua dari tiga perang antara kedua negara itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.
Lebih dari 47.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.
Pejuang Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.
New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pejuang Kashmir India. Pakistan membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010