Jakarta (ANTARA News - Tembang "Jangan Menyerah“ dari lima personel band tuna netra Sekolah Luar Biasa (SLB) Taruna Mandiri Kuningan pada malam Anugerah Peduli Pendidikan (Jumat, 24/9) membuat suasana penganugerahan menjadi lebih menyentuh, mengingat demikian luasnya spektrum bakat dan potensi anak-anak Indonesia.

Sejumlah medali olimpiade ilmiah digondol oleh remaja Indonesia. Kepedulian kalangan swasta, media massa cetak dan elektronik, yayasan, lembaga donor asing, dan pengamat terhadap pendidikan juga diekspos dengan baik pada acara penganugerahan yang dikemas dengan apik, menjadi awal bagi menggeliatnya philanthropy (kedermawanan) pendidikan di tanah air.

Bagi orangtua yang yang mempunyai anak kelas 3 SMA, mungkin akan merinding bulu kuduknya bila mendengar rupiah hingga 200 juta (PTN kita mahal dan tak akuntabel ! tulisan Ahmad Rizali, Suara Pembaruan, 27/6/08) untuk mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi melalui program kuliah mandiri yang dicanangkan beberapa PTN terkemuka.

Dikti mensinyalir unit biaya per mahasiswa program sarjana sekitar Rp18 juta/tahun, padahal pemerintah hanya memberikan subsidi Rp4 juta. Dengan total alokasi anggaran negara untuk seluruh PTN sekitar Rp4 triliun, pemerintah hanya mampu mensubsidi operasional pendidikan tinggi berkisar 30 - 40%. Defisit harus diupayakan sepenuhnya oleh PTN.

Otonomi perguruan tinggi yang digagas pertama kali oleh akademisi Jerman Wilhelm von Humbolt sekitar tahun 1809, membuka kesempatan pada perguruan tinggi untuk secara totalitas menerapkan konsep Akademische Freiheit (kebebasan akademik) yang mencakup Lernfreiheit (kebebasan bagi mahasiswa untuk belajar) dan Lerhfreiheit (kebebasan bagi dosen untuk mengajar) bersama dengan otonomi institusi menjadi pilar penopang dasar kebebasan akademik ini.

Subsidi pemerintah yang diperuntukkan sebagai anggaran rutin (recurrent budget) dan anggaran pembangunan (investment budget) yang dialokasikan dengan sistem kompetitif dan hibah (block grant) adalah bentuk upaya reformasi budget pada perguruan tinggi.

Dulu subdisi diberikan dengan basis performance funding (berdasarkan banyaknya mahasiswa yang ditampung). Pada block grant pemberian subsidi berbasis pada performance budgeting, dengan jumlah lulusan (sarjana, master, doktor) dalam satuan waktu, lama penuntasan studi, keberhasilan berkompetisi menggaet hibah riset, dan reputasi ilmiah.

Bank Dunia (1994) mendeklarasikan “higher education was in crisis throughout the world”. Krisis ini dikaitkan dengan terbatasnya dana operasional. Pemicu krisis ini yakni: (1) membludaknya calon peserta pendidikan tinggi, (2) meningkatnya unit biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi, (3) berkurangnya alokasi dana pemerintah terhadap perguruan tinggi, (4) alasan politik lainnya.

Sinyalemen Bank Dunia ini menggugah praktisi pendidikan untuk mereposisi sifat publik perguruan tinggi, terutama terkait program studi yang ditawarkan, tidak lagi status quo dan konservatif. Konsumen pendidikan tinggi relatif paham mengapa harus memilih bidang studi tertentu, sehingga menghantarkan pengelola perguruan tinggi pun harus berupaya adaptif untuk memenuhi dinamika tersebut.

Jika pendidikan tinggi didekati dengan kriteria publik (Nicholas Barr, 1993), pendidikan tinggi tak lah bisa diklasifikasikan murni sebagai sektor publik. Ini karena pendidikan tinggi berkarakter rivalness (pasokan terbatas), excludability (ada karena pembiayaan), rejection (bukan kebutuhan massal).

Namun demikian sinyalemen ini perlu telaah lanjut agar pendidikan tak tergiring dalam suatu bisnis yang berorientasi profit dan meniadakan esensi dari pendidikan itu, berupa pencerdasan kehidupan bangsa.

Ketergantungan pendidikan tinggi terhadap preferensi pemangku kepentingan ini memupus sifat konservatif pengelolaan yang didominasi oleh pemerintah, menjadi lebih populis kontemporer dengan pelibatan peserta didik, kalangan industri (pemakai alumni), dan masyarakat luas.

Sistem pendanaan perguruan tinggi yang semata bergantung pada subsidi pemerintah mungkin dianggap usang sebagai self-serving yang kurang responsif terhadap preferensi peserta didik dan tuntutan para pembayar pajak. Dengan kata lain kreativitas pengelola perguruan tinggi menjadi tumpul, karena tidak terasah seperti orang yang terus menerus dicukupi kebutuhannya tanpa melakukan terobosan berarti.

Tendensi pergeseran pembebanan pendanaan dari pembayar pajak ke peserta didik diharapkan akan lebih merefleksikan konsep hak dan kewajiban. Dari sisi praktisi pendidikan tinggi, dituntut kewajiban moral dan profesional intens untuk menularkan ilmunya ke peserta didik dengan semakin berwujud kongkritnya hubungan hak dan kewajiban ini.

Diversitas Dana Pendidikan

Namun, hendaknya tendensi bergesernya pembebanan pembiayaan kepada peserta didik ini tidak semata dimaknai sebagai mengeruk semaksimal mungkin kantong peserta didik melalui SPP, tapi harus dibarengi dengan upaya cerdas yang lebih menonjolkan karakter dan peran vital perguruan tinggi sebagai centre of excellent, inovator dan agent of change.

Jerman sebagai negara dengan sistem sosial sangat bagus, yang pendidikannya digratiskan dari TK hingga perguruan tinggi, perguruan tingginya juga masih berupaya untuk menambah pembiayaan pendidikannya untuk meningkatkan kualitas. Contohnya Universitas Bochum menyediakan segala kebutuhan mahasiswanya di dalam kampus mulai dari supermarket hingga bioskop.

Di Indonesia pun, IPB telah menggiatkan aktivitas produktif ini seperti: pembentukan unit usaha PT BLST (Bogor Life Science and Techonolgy), pembangunan Ekalokasari Plaza, dan Botani Square yang dilengkapi pojok pamer produk IPB, ruang seminar dan hotel bertaraf internasional, sehingga menjadi tempat atraktif untuk event ilmiah bertaraf internasional.

SPP yang di luar negeri dikenal sebagai tuition fee telah sejak lama diterapkan di Amerika Serikat, Australia, Inggris, Selandia Baru, Belanda, dan Jepang. Sejak tahun 1994, Rusia membenarkan perguruan tinggi memungut sejumlah dana dari peserta didiknya namun hanya 10% dari total peserta didiknya.

Pengalaman positif penerapan student loan di Kolumbia dan Republik Dominika memungkinkan sistem ini dilaksanakan di negara lain. Student loan yang diintroduksi di China (1997) bersamaan dengan penerapan tuition fee mendapat sambutan dingin dari para mahasiswa di sana.

Penerapan tax holiday pada industri yang bekerja sama dengan universitas juga cara yang patut dirintis di Indonesia. Philanthropy membudaya dengan baik di India, Argentina, dan China. Universitas Beijing berhasil membangun perpustakaan terbesar di Asia atas kedermawanan seorang konglomerat Hongkong.

Sebagian besar universitas di Meksiko menyadari bahwa universitas yang menggantungkan pendanaannya pada pemerintah semata tak akan tumbuh baik. Sebanyak 50% pendidikan tinggi di Shanghai China (1992) mengoperasikan 700 perusahaan dan menghasilkan revenue yang sangat memadai.

Selain memiliki wawasan pendidikan tinggi, kepemimpinan, dan visioner, pengelola perguruan tinggi haruslah berjiwa kewirausahaan yang dapat dimanifestasikan melalui pembangunan science park, bisnis venture, dan spin-off firma serta unit auxilary lainnya, Semua itu bisa mengalirkan dana secara periodik sebagai pendamping hibah pemerintah yang secara bertahap proporsinya dikurangi.

Dengan upaya optimal yang cerdas para praktisi pendidikan tinggi untuk mendiversifikasi sumber pendanaan, kiranya kekhawatiran akan semakin melangitnya kursi pendidikan tinggi mungkin akan dapat direduksi secara kolektif, semoga !

*)Sekretaris Eksekutif PPLH IPB

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010